Jihad Semesta Melawan Narkoba

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Januari 2016

Ilustrasi. Sumber Foto: forum.kompas.com

Beberapa waktu lalu, tepatnya 11 Januari 2016, alhmadulillah saya mendapat kesempatan mengikuti Seminar Nasional dengan topik “Memaknai Jihad Kontemporer” di Tiara Hotel Medan. Yang menjadi pemateri saat itu Prof. Dr. Din Sjamsuddin, mantan ketua umum PP Muhammadiyah dan dipandu oleh Dr. Dedi Sahputra. Seminar tersebut dilaksanakan dalam rangka HUT Harian Waspada ke 69.

Dalam seminar tersebut, Din Sjamsuddin mengulas berbagai rupa jihad kontemporer seperti jihad iqtishadi, jihad tarbawi, jihad siyasi dan beragam jihad lainnya yang memungkinkan untuk diterapkan di zaman modern seperti sekarang ini. Meskipun Din Sjamsuddin telah mengurai rupa-rupa jihad kontemporer dalam bentuk tindakan nyata untuk melakukan perubahan dalam segala bidang, namun beliau juga tidak menampik tentang pentingnya jihad qitaali (perang). Tapi di abad modern ini, menurut Din Sjamsuddin, jihad dalam makna perang merupakan domain tentara, meskipun dalam kondisi tertentu kita pun akan terlibat di dalamnya. Saya melihat Din Sjamsuddin lebih memaknai makna jihad kontemporer sebagai semangat untuk melakukan perubahan.

Pasca seminar, setelah makan siang, dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan kepada beberapa tokoh Waspada 2016 yang diserahkan oleh pemimpin umum Harian Waspada. Dari Aceh penghargaan tersebut di antaranya diterima oleh Zaini Abdullah (Gubernur Aceh), Illiza Sa’aduddin Djamal (Walikota Banda Aceh) dan Amiruddin Idris (Rektor Umuslim Bireuen). Namun sebelum acara tersebut dimulai, ada pidato menarik dari Wakapolda Sumut yang mengulas tentang Narkoba. Dari penjelasan beliau dapat disimpulkan bahwa Narkoba sudah menjadi bencana yang kian mengancam generasi di tanah air. Narkoba sudah masuk ke segala lini dan “menyerang” siapa saja tanpa pandang bulu, mulai dari remaja, orang dewasa, laki-laki dan perempuan, orang miskin dan orang kaya, pejabat dan masyarakat kecil, dan bahkan Narkoba juga menyerang aparat penegak hukum itu sendiri. Bahaya Narkoba di Indonesia telah masuk dalam tahap kronis dan memprihatinkan.

Jihad Semesta

Hampir setiap hari kita disuguhkan berbagai berita terkait pengedaran Narkoba, baik media cetak, online maupun televisi. Bahkan akhir-akhir ini para bandit Narkoba sudah nampak naik daun, di mana telah muncul keberanian untuk melakukan aksi perlawanan kepada petugas penegak hukum. Kematian seorang polisi beberapa waktu lalu sudah cukup membuktikan bahwa para bandit Narkoba sudah mulai pasang badan untuk melanggengkan bisnis haramnya tersebut.

Tentang bahaya Narkoba, tentunya tidak ada khilafiyah, di mana barang haram tersebut telah menjadi salah satu media perusak generasi dan pembunuh kewarasan. Kesuksesan pedagang Narkoba dalam menjalankan bisnisnya memang telah berhasil menciptakan sekumpulan orang kaya baru. Dalam waktu bersamaan, kesuksesan ini juga telah berhasil merusak dan memporak-porandakan kehidupan sosial masyarakat, di mana kejahatan demi kejahatan akibat Narkoba ini terus meningkat. Untuk itu diperlukan perlawanan serius yang melibatkan semua pihak dalam rangka membabat habis bandit-bandit Narkoba yang telah memakan banyak korban dari segala usia.

Untuk melawan bandit-bandit Narkoba tidak cukup hanya melibatkan pihak kepolisian, tetapi dibutuhkan “jihad semesta” dari seluruh elemen masyarakat, di mulai dari orang tua, guru di sekolah, tokoh masyarakat dan juga ulama. Jihad semesta terhadap bandit Narkoba tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja, tetapi juga dibutuhkan upaya penyadaran yang dilakukan sejak dini dan juga sanksi moral (sanksi sosial) sehingga “ruang ekspresi” para bandit tersebut dapat dibatasi.

Selama ini, para bandit Narkoba, baik produsen, distributor dan konsumen hanya disasar oleh penegak hukum, tetapi mereka masih bebas “berekspresi” dalam lingkungan masyarakat dan komunitas lainnya. Di sebagian tempat (silahkan diteliti), para gembong Narkoba justru memiliki “kedudukan tinggi” dalam masyarakat. Dengan bermodal “kedermawanan palsu”, para gembong Narkoba bisa bebas beraksi tanpa ada rasa ketakukan sedikit pun. Para gembong narkoba menciptakan hubungan yang “harmonis” dengan masyarakat setempat sebagai salah satu upaya perlindungan, sehingga posisi mereka menjadi aman. Oleh sebab itu, tidak perlu heran jika ada gembong Narkoba yang menjadi donator mesjid dan membantu fakir miskin. Berkat kedermawanan palsu ini, akhirnya mereka terselamatkan dari incaran penegak hukum. Aksi “pemanjaan” seperti ini dari sebagian masyarakat tentunya akan membuat gembong Narkoba tersebut naik daun.

Jika memang kita konsisten ingin memberantas Narkoba, maka segenap elemen masyarakat harus terlibat dalam jihad semesta melawan Narkoba dengan menutup rapat ruang ekspresi para gembong Narkoba tersebut. Rumah tangga sebagai institusi pendidikan awal harus mampu memberikan bimbingan kepada anggota keluarganya agar menjauhi Narkoba. Perhatian orang tua terhadap anggota keluarga merupakan cara paling mudah dan paling murah untuk meredam pengaruh Narkoba. Jika ada anggota keluarga yang terlibat jaringan Narkoba, orang tua harus tegas untuk menolak segala fasilitas yang diberikan kepada mereka, khususnya fasilitas yang berasal dari hasil bisnis Narkoba. Jangan ada lagi orang tua yang bersedia dihajikan oleh anaknya dengan menggunakan uang haram hasil Narkoba. Demikian pula, seorang istri juga harus menolak dinafkahi dengan uang hasil Narkoba. Selain itu, orang tua harus benar-benar selektif ketika hendak menikahkan anaknya sehingga tidak jatuh ke tangan pecandu Narkoba. Pola ini merupakan cara ampuh untuk menutup ruang ekspresi gembong Narkoba dalam lingkungan keluarga.

Dalam lingkungan masyarakat jihad semesta ini bisa dilakukan dengan keterlibatan perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Jika ada warga desa yang terindikasi sebagai gembong dan pengguna Narkoba maka perangkat desa harus mencabut status kependudukannya. Perangkat desa harus berani membatasi pelayanan administratif terhadap pengguna Narkoba sehingga ruang ekspresinya menjadi terbatas. Demikian juga dengan tokoh-tokoh agama dalam setiap kesempatan harus terus mengkampanyekan bahaya Narkoba kepada masyarakat. Pengurus mesjid harus tegas menolak segala bantuan yang berasal dari gembong Narkoba. Hal ini penting untuk menghindari tindakan kamuflase yang dilakukan oleh gembong Narkoba. Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan sosial harus bebas dari keterlibatan gembong Narkoba yang terkadang berlagak sebagai donatur.

Para ulama dan tokoh agama harus menunjukkan sikap yang tegas terhadap para pengguna Narkoba. Jika ada pengguna atau pun pengedar Narkoba yang meninggal dunia, sebaiknya tokoh agama dan ulama tidak hadir dalam penyelesaian jenazah. Pengurusan jenazah pengguna Narkoba baiknya diserahkan kepada beberapa orang yang dianggap mampu (memahami pengurusan jenazah) tanpa dihadiri oleh tokoh agama dan ulama. Ini adalah bentuk sanksi moral, agar menjadi pembelajaran bagi para bandit Narkoba. 

Jihad semesta melawan Narkoba juga harus digalakkan di lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi. Kecanduan Narkoba merupakan penyakit menular yang bisa menyebar melalui pergaulan. Siswa dan juga mahasiswa yang terindikasi menggunakan Narkoba harus diserahkan kepada lembaga terkait untuk dilakukan pembinaan. Jika para pecandu Narkoba ini dibiarkan berbaur dengan orang lain, maka kecanduan tersebut akan menular kepada siswa lainnya. Tindakan ini bukanlah upaya diskiriminasi, tapi aksi penyelamatan.

Demikian juga dengan para pejabat dan politisi yang terindikasi menggunakan Narkoba juga harus ditertibkan oleh pihak terkait. Selain itu, sanksi moral juga harus diterapkan agar ruang ekspresi pengguna Narkoba menjadi terbatas. Meskipun bentuk jihad semesta ini nampak ekstrim, tapi ini adalah upaya alternatif dalam rangka meminimalisir meluasnya pengaruh Narkoba. Kita hanya punya dua pilihan; membiarkan pengaruh Narkoba terus menjalar, atau terlibat aktif berjihad melawan. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments