Apa Yang Kita Dapat Dari Tsunami?

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Desember 2015 

Khairil Miswar (Penulis)
Foto Di Ulee Lheu Pasca Tsunami Tahun 2005
Kemarin (26/12/15) dan juga hari ini, beranda facebook masih dipenuhi oleh beragam status dengan topik yang sama – tsunami. Hampir semuanya bercerita tentang duka yang terjadi sebelas tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2004. Harian Serambi Indonesia hari ini (27/12/15) juga memasang foto seorang gadis yang sedang menitikkan air mata, pas di halaman depan Koran itu. Saat itu, Aceh dilanda gempa hebat dan disusul dengan gelombang tsunami yang dahsyat. Saya banyak mendengar cerita tentang keganasan gelombang tsunami dari beberapa teman saya yang selamat. Saya sendiri tidak sempat menyaksikan bencana hari itu, karena pada 26 Desember saya berada di Bireuen. Saya berangkat ke Banda Aceh pada 27 Desember, sehari setelah tsunami. Saat itu saya masih sempat menyaksikan tumpukan-tumpukan mayat dan wajah kota yang hancur. Saya menyaksikan kerusakan yang luar biasa, yang tidak pernah terduga sebelumnya. Alhamdulillah keluarga saya selamat dan tidak ada yang menjadi korban hari itu. Tapi saya kehilangan beberapa teman dan sahabat terbaik. Allahummagfirlahum. 

Pada 26 Desember 2015, genap sebelas tahun (menurut ukuran tahun Masehi) peristiwa dahsyat itu telah berlalu. Di sebagian tempat dilakukan peringatan untuk mengenang tragedi tsunami tersebut. Baik sengaja atau pun tidak, kisah pilu sebelas tahun lalu kembali dikenang dan disebut-sebut. Padahal, seiring perjalanan waktu, luka tsunami itu sudah mulai mengering. Di satu sisi, upacara peringatan tragedi tsunami tersebut akan mendorong sebagian kita untuk merenung sejenak atas musibah yang menimpa orang-orang yang kita sayangi, kita mendoakan mereka agar diampuni dosanya dan diterima di sisi-Nya. Namun di sisi lain, upacara peringatan yang dilakukan setiap tahun, diakui atau pun tidak akan mengguris luka lama, dan kita pun kembali larut dalam duka, tanpa sengaja air mata pun kembali menetes pada setiap 26 Desember. Kondisi ini akan terus terulang dari tahun ke tahun, tidak berkesudahan.

********
Mari menghapus air mata sembari bertanya kepada diri sendiri: apa yang kita dapat dari musibah tsunami? Jika pertanyaan ini diajukan ke hadapan kita, tentu kita akan memberikan jawaban yang berbeda. Seorang (maaf) “pengusaha” barang bekas (broek-broek) akan menjawab bahwa barang bekas milik korban tsunami yang berserakan, khususnya di Banda Aceh telah berhasil memberinya rupiah. Bahkan dalam siklep siklap (seketika) ada yang kaya dengan hasil broek-broek. Jika pertanyaan ini kita ajukan kepada sebagian masyarakat, mungkin ada yang menjawab bahwa dia telah mendapatkan rumah dan aneka bantuan, meskipun “mungkin” dia sendiri tidak termasuk korban tsunami. Kita tanya kepada anak-anak muda “cerdas”, jawabannya berkat tsunami mereka bisa kerja di NGO asing dengan gaji yang wah. Begitu pula jika pertanyaan ini kita ajukan kepada Martunis, tentunya dia punya jawaban sendiri. Demikian seterusnya. Hanya itu? Adakah yang lain?

Kita yakin bahwa ketika gelombang tsunami itu datang dan menghantam apa saja yang ada di depannya, semua orang larut dalam tasbih dan takbir. Semua terlihat lemah dan tidak berdaya menghadapi takdir yang berlaku. Pada hari itu, pelaku maksiat pun bertakbir dan koruptor juga larut dalam zikir. Sekarang, mari kita bertanya , sudahkah para pelaku maksiat bertaubat? Sudahkah para koruptor berubah?

Beberapa waktu lalu, kononnya sejumlah muda-mudi melakukan pesta miras di salah satu hotel di Banda Aceh. Bos sabu-sabu juga semakin ramai saja di Aceh. Aksi pembunuhan juga masih terjadi di beberapa tempat. Praktik mesum pun tidak menunjukkan gejala akan berkurang. Lalu pelajaran apa yang kita dapat dari musibah tsunami yang setiap tahun kita peringati? Setiap 26 Desember kita hanya mengguris luka dan mengenang yang telah pergi, sedang kita sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Jika begitu, sia-sia saja. Wallahul Musta’an.

Foto di Depan Kapal Apung Tahun 2005
Artikel ini sudah diterbitkan di Aceh Trend
loading...

No comments