Istana Wali

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 08 Desember 2015

Sumber Foto: aceh.tribunnews.com
Sulit dibayangkan bagaimana jadinya hidup ini jika tanpa wali. Tentu kita akan menemui banyak kesukaran dalam kehidupan tanpa sosok wali. Siswa di kelas tentu akan kocar-kacir jika tidak dikawal oleh wali kelas. Jika orang tua kita meninggal, dalam kikuk harta warisan pun mesti melibatkan wali. Pernikahan calon pengantin pun akan gagal total jika tanpa restu dan kehadiran seorang wali. Semegah apapun sebuah kota akan kacau-balau tanpa dipimpin oleh seorang wali kota. Bahkan, dunia musik pun akan layu tanpa kemunculan Wali Band. Demikian besarnya peran wali dalam kehidupan ini. Tersebab itulah, jangan menghina, mengejek dan membenci sosok wali.


Mengingat pentingnya peran wali, maka jangan sekali-kali mengecewakan wali, baik wali kelas, wali nikah, wali kota atau pun wali-wali lainnya. Jika para wali kecewa, maka kita akan ditimpa kerugian besar. Durhaka kepada wali kelas, tentu kita tidak bisa naik kelas. Durhaka kepada wali nikah, resikonya tidak jadi kawin. Durhaka pada Wali Band, konser akan batal, atau sekurang-kurangnya tiket jadi mahal, demikian seterusnya.

Wali Nanggroe

Beberapa waktu lalu, sebuah media lokal di Aceh menghadirkan satu kabar menakjubkan terkait istana Wali Nanggroe yang kononnya menghabiskan dana 100 milyar. Harga yang lumayan murah untuk bangunan semegah itu. Saya pernah beberapa kali memandang bangunan itu dari kejauhan, bukan baru-baru ini, tapi satu atau dua tahun lalu. Awalnya saya mengira bangunan itu adalah markas tentara, tetapi seorang teman memberi tahu kepada saya bahwa bangunan itu adalah istana wali. Setelah mendengar penjelasan dari teman tersebut, saya pun berhajat ingin naik ke puncak istana dan berteriak “WOW” – sebagai ekspresi ketakjuban yang tak terbendung.

Baru-baru ini, seperti diriwayatkan oleh media, Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah alias Abu Doto kononnya mengkritik kualitas bangunan yang katanya tidak sesuai harapan, alias jauh dari impian dan rencana awal. Pasca komentar Abu Doto, perbincangan di media sosial pun menjadi ramai. Sebagian kalangan melemparkan kritik atas megahnya bangunan itu di tengah kondisi rakyat yang morat-marit. Sebagian lagi ada yang meminta agar KPK untuk masuk guna memastikan ada tidaknya indikasi korupsi, tanpa mempersoalkan etis tidaknya bangunan itu berdiri di Aceh.

Saya melihat ada dua hal yang penting dipertanyakan. Pertama, layakkah bangunan semegah itu berdiri di Aceh di tengah kondisi perekonomian rakyat yang masih labil, di mana masih ada rakyat yang belum memiliki gubuk sekali pun, dan bahkan ada yang terpaksa tinggal di bekas kandang binatang seperti kisah Bang Groen yang pernah dipublis oleh Edi Fadhil via facebook beberapa waktu lalu. Kononnya, dana yang sudah terpakai mencapai 100 milyar, dan masih akan bertambah puluhan milyar lagi hingga bangunan itu selesai. Di mana titik temu antara kemegahan dan kemakmuran itu? Tentunya pertanyaan ini tidak perlu diajukan jika nantinya sebagian bangunan dari istana wali itu dijadikan sebagai rumah kost gratis bagi rakyat, atau minimal dijadikan sebagai “markas” pembagian THR lebaran.

Kedua, persoalan kualitas. Kenapa baru sekarang gugatan itu muncul? Apa baru siuman? Atau karena jatah “kue” yang berkurang? Pak Madi kampung saya saja yang kemarin membangun rumah semi permanen terlihat lebih kritis dari pejabat itu. Pak Madi menyuruh tukang untuk membongkar pondasi gubuk kecilnya hanya karena ada akar kayu yang ukurannya lebih kecil dari ibu jari di bawah pondasi. Pak Madi takut jika nanti akar kayu itu membusuk, maka pondasinya akan bergeser. Nah, bagaimana pula pejabat kita mengkritik proyek yang sedang menunggu “gunting pita”? Kenapa Pak Madi lebih cerdas?

Di akhir tulisan ini saya ingin sampaikan, jangan sampai bangunan itu mengecewakan wali, karena wali itu seperti saya uraikan di atas, punya peran penting! Tapi jangan tanya apa perannya, saya tidak bisa jawab. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Aceh Trend
loading...

No comments