Hasan Tiro “Telah Mati”

(Refleksi 39 Tahun GAM: 4 Desember 1976 – 4 Desember 2015)

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 06 Desember 2015

Dr. Muhammad Hasan Di Tiro
Sumber Foto: www.republika.co.id
Bagi penggemar Nietzsche, tentu tidak asing dengan satu kalimat heboh yang menyatakan bahwa “Tuhan Telah Mati”. Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf besar yang lahir di Roken Jerman pada tahun 1844 Masehi. Ungkapan “Tuhan Telah Mati” (God is death) yang dikemukakan Nietzshe dalam The Gay Science tentunya bebas ditafsirkan sesuai selera, meskipun jauh dari maksud Nietzshe itu sendiri. Namun sayangnya, tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengupas atau pun menafsirkan ungkapan God is death ala Nietzshe. Tulisan ini dengan segala keterbatasannya, berhajat untuk memperbincangkan pesan-pesan Hasan Tiro, proklamator Gerakan Aceh Merdeka yang kononnya secara kebetulan juga seorang pengagum Nietzshe.

Hasan Tiro adalah seorang intelektual muda yang dengan penuh semangat berupaya untuk menanamkan idiologi Keacehan bagi masyarakat Aceh yang menurutnya telah melupakan sejarah. Aceh yang dalam pandangan Hasan Tiro adalah satu bangsa yang pernah hidup merdeka dan memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia harus bangkit untuk melawan “penjajahan baru” yang dalam dalam istilahnya disebut sebagai “kolonialisme Jawa”. Gagasan Aceh Merdeka yang dimunculkan oleh Hasan Tiro sebagaima dicatat oleh beberapa penulis, awalnya tidak begitu mendapat sambutan dari rakyat Aceh. Namun pada tahapan selanjutnya memasuki era 90-an, dukungan rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan GAM pun mengalir deras. Munculnya dukungan luas dari masyarakat Aceh kepada Hasan Tiro dan GAM telah menjadikan sosok Hasan Tiro sebagai tokoh legendaris di Aceh yang hampir tidak ada tandingannya kala itu. Mungkin cuma sosok Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh yang dapat mengalahkan kharisma Hasan Tiro pada era 90-an.

Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin oleh Hasan Tiro adalah satu gerakan perlawan politik yang kemudian memilih pendekatan militer untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat seperti sediakala sebelum perang Aceh-Belanda tahun 1873. Setelah melalui berbagai fase perjuangan dan perundingan, akhirnya Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro bersedia berdamai dengan Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 dengan “kata kunci” Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah perdamaian berjalan beberapa tahun, tepatnya pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro pun menghembuskan nafas terakhir dalam usia 84 tahun dengan menyandang status sebagai warga negara Indonesia, Allahummagfirlahu.

Hasan Tiro adalah tipe intektual yang tidak hanya pandai berceramah dan mempengaruhi massa dengan retorika, tetapi dia juga seorang “diplomat” yang mahir dan lihai. Tidak hanya itu, Hasan Tiro juga seorang penulis yang baik yang selalu menulis gagasan dan pikirannya. Hasan Tiro semasa mudanya ketika berdiam di New York pernah menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Hasan Tiro juga menulis buku Demokrasi Untuk Indonesia. Tradisi menulis yang dipraktekkan Hasan Tiro ini layak diwarisi oleh para generasi penerus di Aceh.

Pesan Hasan Tiro

Dalam bukunya Aceh Di Mata Dunia yang diterjemahkan oleh Haekal Afifa (2013: 98), Hasan Tiro menulis:
 “…kita harus mengetahui bahwa kita semua senasib tapi perilaku kita individual (nafsi-nafsi), perilaku peuglah putjoek droe (egois) tanpa memikirkan nasib Aceh. Jika seperti itu, Aceh tidak akan berhasil dan ini tidak ada akhirnya. Tidak ada orang Aceh yang bisa kaya jika yang lain masih miskin. Tidak ada orang Aceh yang selalu senang, jika yang lain susah. Tidak ada orang Aceh yang makmur, jika dapur (ekonomi) yang lain tidak berasap (menderita)”.
Kalimat singkat yang dituliskan Hasan Tiro di atas menggambarkan satu model kebersamaan yang harus dimiliki oleh masyarakat Aceh. Hasan Tiro secara tegas mengecam perilaku individualisme yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok dengan mengabaikan kepentingan orang banyak (rakyat). Hasan Tiro juga mengecam perilaku para pengumpul kekayaan yang mengabaikan kehidupan masyarakat kecil, fakir miskin dan anak yatim. Menurut Hasan Tiro kemakmuran itu tidak akan pernah ada tanpa didukung oleh perbaikan ekonomi rakyat.

Para “pewaris” Hasan Tiro tentu punya tanggung jawab besar untuk mewujudkan impian beliau. Dalam suasana damai, pesan-pesan Hasan Tiro harus diwujudkan dalam aksi nyata oleh generasi setelahnya. Cita-cita Hasan Tiro untuk memerdekakan Aceh harus tetap hidup, tentunya dengan penafsiran baru yang lebih relevan. Jika sebelum damai Hasan Tiro bercita-cita ingin memerdekakan Aceh dari Indonesia dalam konteks teritorial, maka pasca damai cita-cita ini harus diinterpretasikan kembali dalam pengertian yang lebih luas, yaitu memerdekakan rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.

Dalam konteks kekinian, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah terciptanya lapangan kerja, sehingga tidak ada lagi TKI berstatus ilegal asal Aceh yang mati tenggelam sia-sia di lautan karena mencari sesuap nasi di negeri orang. Kemerdekaan yang nyata adalah dengan perbaikan fasilitas dan pelayanan kesehatan sehingga tidak ada lagi bayi yang kekurangan gizi. Kemerdekaan adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan, tidak hanya di perkotaan, tapi juga di pelosok desa. Jalan menuju “kemerdekaan” itu adalah dengan melahirkan produk hukum (qanun) yang pro pada kepentingan rakyat, bukan melulu qanun tentang simbol sebagai alat membusungkan dada, tapi rakyat mengikat perut menahan lapar. Kemerdekaan itu dengan membangun rumah bagi para dhu’afa dan faqir miskin, bukan justru membangun “istana” dengan biaya ratusan miliar, sedangkan rakyat kecil terpaksa tinggal di bekas kandang binatang, seperti yang dialami Bang Groen, warga Aceh Utara yang lima tahun terpaksa tinggal di kandang sapi (Fb Edi Fadhil, 03/11/15).

Aroma merdeka hanya akan terasa dengan menciptakan suasana yang kondusif dengan membasmi segala bentuk pungutan liar sehingga para investor tidak ragu hatinya untuk menanamkan investasi disebabkan gangguan dari oknum “hantu” yang tidak bertanggung jawab. Kemerdekaan adalah dengan membebaskan proyek-proyek pemerintah dari iuran-iuran tak jelas yang menyebabkan kualitas dari proyek itu menjadi rendah. Kemerdekaan itu adalah dengan menghentikan aktivitas-aktivitas “preman kantoran” yang merusak birokrasi.

Di akhir tulisan ini, saya mengajak kita semua, khususnya masyarakat Aceh, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang notabene diisi oleh para mantan kombatan GAM untuk merenung sejenak. Sudahkah pesan-pesan Hasan Tiro itu diwujudkan dalam aksi nyata, atau impian itu masih sekedar konsep teoritis yang hanya hidup di awang-awang? Atau jangan-jangan pesan-pesan yang diwariskan Hasan Tiro “telah mati” seiring dengan kepergiannya beberapa tahun lalu? Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments