Surat Edaran Kapolri dan Kebebasan Yang Terbatas

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 07 November 2015
Ilustrasi. Sumber: the-unpopular-opinions.tumblr.com
Beberapa hari lalu, tepatnya 8 Oktober 2015, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengeluarkan surat edaran terkait ujaran kebencian. Menurut surat edaran tersebut, sebagaimana dilansir rappler.com, ujaran kebencian adalah tindakan pidana yang berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan tersebut memiliki tujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial.

Dalam surat edaran dimaksud, jejaring media sosial (medsos) menjadi salah satu sarana yang dipantau terkait penyebaran ujaran kebencian tersebut. Menanggapi keluarnya surat edaran Kapolri ini, Komisioner Komnas HAM RI Manager Nasution seperti dikabarkan news.detik.com, menilai bahwa gagasan Kapolri menerbitkan surat edaran tersebut adalah baik. Tapi dia berharap agar jangan sampai surat edaran tersebut justru mengekang kebebasan berpendapat. Media Serambi Indonesia (07/11/15) juga menyebut bahwa surat edaran Kapolri terkait ujaran kebencian telah memunculkan kecemasan publik. Ditakutkan jika surat edaran tersebut disalahgunakan oleh penegak hukum dalam rangka membungkam kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam konstitusi.

Fenomena Medsos

Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantarkan kita dalam ruang yang “tanpa batas”. Di abad modern seperti sekarang ini, jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan untuk menjalin komunikasi dengan siapa pun, termasuk dengan mereka yang bermukim di “kutub utara” sekali pun. Kita bisa berhubungan dengan siapa saja, tanpa terhalangi oleh status sosial dan perbedaan kelas. 

Media sosial semisal facebook dan twitter telah memberikan kemudahan yang luar biasa. Berkat media sosial, seorang “petani kampung” bisa saja menyapa tokoh dunia semisal Barac Obama hanya dengan satu komentar di facebook. Demikian pula dengan tulisan “anak kampung” yang bisa tersebar luas dan dibaca oleh ratusan dan bahkan ribuan orang hanya dengan satu postingan di facebook atau twitter. Benar-benar menembus batas! Demikianlah suasana kehidupan di tengah arus peradaban teknologi yang terus melaju.

Namun di sebalik itu, keberadaan media sosial juga telah memberi kesempatan kepada semua pihak untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan, mulai dari teror, cacian, penghinaan, provokasi dan pembunuhan. Bahkan tindakan makar pun bisa digerakkan via media sosial. Berbagai bentuk provokasi dan ujaran kebencian via media sosial bukanlah isapan jempol semata, tetapi ia adalah fakta yang tidak bisa ditutupi. Keberadaan akun-akun palsu di media sosial membuat para penebar kebencian dan caci maki terkesan “aman saja” dan kurang tersentuh hukum, meskipun aturan tentang kejahatan media sosial telah menjelma dalam UU ITE. Persoalannya tidak hanya pada penegak hukum, tetapi lemahnya kesadaran hukum rakyat juga menjadi salah satu sebab aksi-aksi tersebut tetap lestari.

Memaknai Kebebasan

Media mengabarkan bahwa surat edaran dari Kapolri disambut secara pro-kontra oleh publik. Bagi pihak yang pro berdalil bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penebar kebencian, teror dan pencemaran nama baik sangat penting diperhatikan guna mencegah terjadinya konflik sosial, menjaga hak-hak masyarakat dan juga menciptakan ketertiban umum.

Sebaliknya, pihak yang kontra mengajukan argumen bahwa surat edaran tersebut akan mengekang kebebasan berekspresi yang telah diatur dalam konstitusi. Sebagian pihak juga merasa khawatir jika surat edaran tersebut nantinya disalahgunakan oleh aparat penegak hukum, sehingga aroma “orde baru” akan semerbak kembali di negeri ini.

Jika kita menyimak pro kontra ini, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kata kunci adalah “kebebasan”. Artinya, jika aturan tersebut dijalankan secara “liar”, maka kebebasan akan punah dan sirna dari bumi pertiwi. Demikian pula jika aturan tersebut tidak diterapkan maka para “penghasut”, khususnya di media sosial yang “maha bebas” itu akan terus mengabaikan etika dan moral dalam berekspresi sehingga tercipta kebebasan yang tanpa batas dan destruktif.

Tersebab itu, kebebasan haruslah dimaknai secara benar dan tepat sehingga ia tidak bias dan multi tafsir. Kita sepakat bahwa kebebasan yang positif itu harus dihargai karena kebebasan semacam ini memiliki legalitas dalam syara’ dan dilindungi pula oleh undang-undang. Allah Swt telah menganugerahkan akal bagi kita untuk berkreasi dan berekspresi, demikian pula pasal-pasal dalam konstitusi juga mengizinkan kebebasan ini dijalankan. Sebaliknya kita juga harus dengan tegas “menggungat” kebebasan yang bersifat negatif karena kebebasan serupa ini dicela oleh syara’ dan juga dilarang oleh konstitusi.

Dalam kajian filsafat sebagaimana dikemukakan oleh Mufid (2009), kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif dan dia ada sebagai konsekwensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Di sisi lain, secara filosofis, menurut Keraf (1987), kebebasan juga diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan merealisasikan diri secara penuh. Dari dua penjelasan ini dapat dipahami bahwa kebebasan yang bersifat positif lebih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. 

Terkait dengan kebebasan ini, rasanya sangat relevan jika saya juga mengutip perkataan seorang tokoh muslim Turki, Bediuzzaman Said Nursi:
kebebasan yang indah itu terwujud dan dihiasi tingkah laku yang baik menurut syariat. Kebebasan untuk bersikap tidak patuh dan berperilaku culas, itu tidak dapat disebut kebebasan; itu kebinatangan; itu tirani setan; itu budak yang diperintah oleh roh jahat. Kebebasan umum merupakan hasil dari bagian kebebasan individu. Ciri kebebasan adalah ketika kita tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain” (Sukran Vahide, 2007: 99).
Menyikapi Surat Kapolri

Di akhir tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk melihat surat edaran Kapolri secara objektif, cermat dan juga kritis. Ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, materi surat edaran. Secara umum materi surat ini bersifat “netral” dan multi tafsir. Dalam kondisi normal materi surat ini setidaknya mampu menekan mental para penghasut dan provokator yang berkeliaran di luar sana, dan juga bisa menjadi media untuk menyadarkan para “penjahat” media sosial agar berhati-hati sehingga ujaran kebencian, fitnah, pencemaran nama baik dan provokasi dapat diminimalisir. Tapi dalam kondisi “tidak normal” materi surat tersebut bisa saja berubah wujud sebagai “azimat” dan “mantera” untuk membungkam “kebenaran”, terlebih lagi jika kritikan publik berbenturan dengan kepentingan penguasa.

Kedua, pelaksanaan (implementasi) surat edaran. Hal ini terpulang kepada kebijakan penguasa dan juga kebijaksanaan penegak hukum. Surat ini bisa saja digunakan sebagai alat untuk menjerat “penjahat” seperti penghasut, penebar kebencian dan provokator. Dalam waktu bersamaan surat ini bisa pula digunakan untuk menjerat “orang-orang baik” yang bersebelahan dengan penguasa, seperti aktivis anti korupsi, aktivis kemanusian dan publik pada umumnya.

Akhirnya hanya kepada Allah kita kembali. Semoga saja surat edaran Kapolri yang “kontroversial” itu bisa menjadi “rahmat” bagi masyarakat Indonesia yang telah berhasil menumbangkan “rezim otoriter” pada era 1998. Kita juga senantiasa berdoa kepada Allah agar pemimpin negeri ini tidak “salah jalan” sehingga surat edaran tersebut menjadi “laknat” di era reformasi yang sudah berlangsung selama 17 tahun. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments