Stiker dan Dilema Politisi

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 03 November 2015

Ilustrasi. Sumber: thebreakthrough.co
Baru-baru ini, sebagian pengguna media sosial (medsos), khususnya facebooker di Aceh diramaikan dengan ragam komentar terkait sosok “stiker” yang kononnya telah berhasil “menghebohkan” Kabupaten Aceh Jaya. Kisah ini berawal dari komentar Wakil ketua DPRK Aceh Jaya di media yang mempertanyakan stiker listrik gratis berlambang Partai Aceh yang terpasang di sejumlah rumah penerima bantuan. Menurut wakil ketua DPRK Aceh Jaya, listrik gratis tersebut merupakan dukungan dana dari APBK yang dianggarkan sejak 2014 lalu hingga 2015 (aceh.tribunnews.com/01/11/2015).

Pasca pernyataan dari wakil ketua DPRK tersebut, media juga mengabarkan bahwa ketua Partai Aceh Kabupaten Aceh Jaya mengatakan program listrik gratis di Aceh Jaya untuk warga kurang mampu merupakan program Partai Aceh yang dijanjikan pada masa kampanye dulu. Fraksi Partai Aceh di DPRK Aceh Jaya juga menegaskan bahwa tidak semua penerima listrik gratis di Aceh Jaya ditempel stiker berlambang Partai Aceh (PA). Penempelan stiker PA di meteran listrik rumah tersebut hanya berlaku untuk pendukung (konstituen) PA saja. Sementara penerima listrik gratis yang dianggap kurang mendukung, PA tidak menempel stiker tersebut di meteran listrik rumah (aceh.tribunnews.com/03/11/2015). Demikian kabar yang berkembang di media.

Apa Itu Stiker?

Sebelum terlalu jauh melangkah, akan lebih baik jika kita pahami dulu apa itu “stiker”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “stiker” didefinisikan sebagai lembaran kertas kecil atau plastik yang ditempelkan. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern, tentu kita tidak merasa asing dengan sosok “stiker” ini. Bagi kita yang rajin beli kerupuk atau kue anak-anak, sudah pasti sangat akrab dengan sosok “stiker” yang ada dalam bungkusan makanan ringan tersebut. 

Hasil penelusuran saya via google, kebanyakan sejarawan memperkirakan bahwa awal penggunaan stiker untuk pedagang Eropa bermula di tahun 1880-an. Pada tahapan selanjutnya, stiker merupakan bagian umum dari industri periklanan. Kononnya ide stiker pertama kali digunakan oleh orang Mesir kuno untuk mengiklankan harga produk mereka di pasar (sweetelvira.com). Adapun manfaat stiker sebagaimana dirangkum oleh binasyifa.com, adalah untuk tanda bukti diri atau simbol; sebagai alat keamanan; alat untuk iklan; keperluan seni; dan sebagai hiasan. Dengan demikian, pahamlah kita, bahwa “stiker” yang “diributkan” beberapa hari lalu bukanlah barang baru.

Sebagai Identitas 

Sebenarnya aksi “penempelan stiker” di beberapa rumah penerima bantuan listrik gratis Aceh Jaya adalah tindakan yang wajar saja jika ditinjau dari “neraca politik”. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa salah satu manfaat stiker adalah sebagai alat iklan. Dalam dunia politik, iklan merupakan satu media penunjang yang mampu mendongkrak popularitas sebuah partai politik. Sederhananya, jika tidak mau beriklan, maka jangan berpolitik!

Fenomena “tempel stiker” sebenarnya sudah sangat lazim ditemui di mana-mana. Lihat saja ketika musibah gempa tsunami menimpa Aceh, semua bantuan yang masuk ke Aceh selalu saja dilengkapi dengan stiker sebagai identitas si pemberi bantuan. Bisa dipastikan tidak pernah ada bantuan “misterius” yang datang tanpa stiker.

Selain itu, dalam pergaulan sosial di kampung-kampung, kita pun sudah sangat akrab dengan sosok stiker dalam pengertian yang luas. Lihat saja ketika ada pesta perkawinan di kampung-kampung, tidak ada tamu yang membawa kado misterius tanpa menulis namanya. Penulisan nama pemilik kado dalam arti yang luas memiliki kesamaan dengan stiker ditinjau dari segi tujuan – yaitu sebagai identitas. Demikian pula dengan “budaya” amplop yang diberikan kepada tuan rumah pada acara pesta. Jika isi amplopnya “tebal” bisa dipastikan si pemilik amplop akan menulis namanya dengan perasaan “bangga”. Sebaliknya, jika amplopnya “tipis”, maka persoalan tulis nama harus dipikir ulang. Begitulah. Bahkan untuk sedekah di mesjid pun, terkadang kita meminta agar nama kita diumumkan. Sekali lagi – ini soal identitas! Apa yang terjadi di Aceh Jaya baru-baru ini, tentu tidak keluar dari teori ini.

Namun demikian, fenomena “tempel stiker” menjadi tidak wajar ketika dana bantuan tersebut berasal dari anggaran publik semisal APBK. Ini adalah pesoalan etika, dan dalam kondisi tertentu adalah “kejahatan”. Hal ini sama saja seperti soal amplop dan kado. Bagaimana jadinya jika seorang teman yang berhalangan hadir ke acara pesta menitipkan amplopnya pada kita. Kemudian amplop si teman tersebut kita tuliskan nama kita tersebab kondisi kantong kita pada hari itu yang lagi “kempis” – hanya untuk “gaya” di hadapan tuan rumah. Apakah pantas?

Dilema Politisi

Dalam dunia politik, persoalan bantuan terkadang menjadi semacam dilema, apalagi jika bantuan tersebut bersumber dari anggaran daerah. Adalah wajar (dalam konteks politik) jika seorang politisi berhajat agar bantuan dan program yang digagasnya diketahui publik, khususnya konstituen. Setidaknya hal tersebut menjadi modal politiknya ke depan. Namun di sisi lain, bantuan tersebut memakai anggaran daerah (negara) sehingga “tidak etis” jika ada klaim individual atau kelompok. Ini adalah dilema!

Janji-janji politik di masa kampanye memang harus ditepati. Jika tidak ditepati, tentu kepercayaan publik, khususnya konstituen akan hilang. Sebagaimana telah disebut di awal tulisan ini, bahwa aksi penempelan stiker yang dilakukan oleh salah satu partai di Aceh Jaya adalah sebagai bukti realisasi dari janji kampanye mereka. Dalam hal ini, stiker berguna untuk meyakinkan publik, khususnya konstituen bahwa janji itu telah dipenuhi.

Karena ini sebuah dilema, saya merasa sulit membuat kesimpulan. Antara identitas dan etika. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AcehTrend
loading...

No comments