Merampas Harta Rakyat

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 November 2015

Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Sumber Foto: liputanislam.com
Syaikh Muhammad Al-Ghazali (2005) dalam salah satu bukunya meriwayatkan satu kisah yang patut disimak. Cerita ini mengisahkan tentang ketamakan seorang Dhahir Pipris, wali negeri Syam dan Mesir yang hidup di zaman Imam An-Nawawi. Pada suatu ketika, Dhahir Pipris berkeinginan untuk memerangi tentara Tartar yang saat itu sudah memasuki daerah Syam. Dhahir Pipris meminta kepada para ulama Syam untuk berfatwa agar ia diperbolehkan mengambil harta benda milik rakyat untuk digunakan sebagai bekal dalam peperangan melawan tentara Tartar. Pada saat itu seluruh ulama Syam menyetujuinya, kecuali Imam Nawawi. Ketidaksetujuan Imam Nawawi ini disebabkan oleh kehidupan Dhahir Pipris yang mewah dan berfoya-foya dengan hartanya. Peperangan dengan tentara Tartar hanya dijadikan sebagai alasan untuk merampas harta rakyat.

Ada dua pesan yang dapat diambil dari kisah Pipris dan Imam Nawawi di atas. Pertama, ketamakan seorang penguasa yang dengan kekuasaannya ingin merampas harta rakyat dengan alasan jihad. Untuk menutup “kebejatannya”, si penguasa tersebut terlebih dahulu mencari “azas legalitas” terhadap aksinya dengan cara meminta para ulama untuk berfatwa sebagai bentuk justifikasi sehingga umat bisa “dibodohi”. Dengan adanya “azas legalitas”, maka tindakannya akan sah di mata hukum, dan rakyat pun akan tunduk dan patuh.

Kedua, ramainya pendukung tidaklah menjadi bukti bahwa kebenaran ada di sana, dan menyelisihi pendapat mayoritas juga bukan merupakan aib. Tentu sangat tidak patut jika kita menuduh Imam Nawawi sebagai “pengkhianat” hanya karena beliau tidak setuju terhadap tindakan Pipris dan tidak mungkin pula kita menyebut beliau sebagai “pecundang” karena berbeda pendapat dengan mayoritas ulama saat itu.

Jika ditinjau dalam konteks kekinian, tentu jumlah “Pipris” itu lebih banyak, dan sosok “Imam Nawawi” adalah minoritas yang berada di ambang kepunahan. Memang para politisi kita saat ini tidak lagi menggunakan fatwa ulama sebagai alat justifikasi disebabkan kondisi zaman yang telah berubah. Dalam peradaban modern, aksi menipu dan merampas harta rakyat bisa dilakukan dengan melahirkan berbagai regulasi yang sesuai kepentingan penguasa. Ingin menambah gaji tinggal buat aturan, ingin “studi bandit” tinggal buat aturan, ingin tambah tunjangan tinggal lahirkan aturan, ingin jadi “sosok keramat” semisal “wali” tinggal buat qanun, dan seterusnya. Dengan adanya “azas legalitas”, maka yang “haram” pun menjadi “halal” di mata hukum. Tentang apakah aturan itu patut dan pantas adalah “tidak penting”.

Di zaman ini untuk menguras uang rakyat bisa dilakukan melalui cara terselubung dengan menciptakan program-program yang dalam pandangan awam terlihat pro rakyat sehingga rakyat pun terlena. Keputusan yang dilahirkan tidak berdasarkan manfaat, tetapi berdasarkan pendapat mayoritas fraksi yang kebanyakan adalah “fraksi Pipris”. Ketika palu telah jatuh, maka jalan untuk menguras uang rakyat pun terbuka lebar. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah dimuat di Aceh Trend
loading...

No comments