Ijazah Palsu dan “Bencana” Moralitas

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 23 Oktober 2015

Ilustrasi. Sumber Foto: rri.co.id
Palsu dan dusta adalah dua kata yang meskipun berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang erat. Kepalsuan merupakan sebuah produk yang muncul dari kedustaan. Kita tentu sering mendengar istilah janji palsu, sumpah palsu, beras palsu dan uang palsu. Kemunculan janji palsu, sumpah palsu, beras palsu dan uang palsu tersebut tentu tidak bisa dipisahkan dengan kedustaan para pelakunya. Berawal dari kedustaan, kemudian melahirkan kepalsuan dan akhirnya mengantarkan pelakunya pada “neraca moralitas”, di mana publik berhak memberi penilaian dengan “tinta merah”.

Untuk melahirkan produk-produk palsu tersebut bisa dilakukan secara personal dan bisa pula secara kolektif yang melibatkan banyak pihak. Di antara produk palsu yang muncul dari tindakan personal adalah janji palsu (politisi), sumpah palsu (tersangka/saksi di pengadilan) dan uang palsu (penjahat). Adapun produk palsu yang dihasilkan secara kolektif adalah sertifikat palsu, proyek palsu (fiktif) dan ijazah palsu. 

Dalam negara hukum, beberapa bentuk kepalsuan sebagaimana tersebut di atas, baik yang dilakukan secara personal maupun kolektif seperti uang palsu, sertifikat palsu, proyek palsu (fiktif) dan ijazah palsu secara normatif haruslah berhadapan dengan hukum (pidana). Tidak ada “khilaf hukum” dalam kasus ini karena hal tersebut telah diatur secara tegas dalam undang-undang.

Adapun janji palsu yang sering dijadikan sebagai komoditi oleh para politisi tidak dapat dihukum (pidana) karena tidak adanya azas legalitas yang mengatur hal tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan nullum delictum poena sine prae via lege (tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa ada peraturan terlebih dahulu) (Syarifin, 2008: 27). Meskipun terbebas dari jeratan hukum pidana, namun janji palsu dan tindakan yang serumpun dengannya tetap dianggap sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut melanggar etika dan moralitas dalam kesadaran hukum masyarakat.

Namun demikian ada beberapa kasus palsu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pelanggaran hukum seperti gigi palsu dan kaki palsu. Perbuatan-perbuatan dimaksud tidak mengakibatkan kerugian bagi siapa pun dan bahkan membawa manfaat bagi “pelaku” dan “korbannya”. Oleh sebab itu tindakan ini bisa dilakukan oleh siapa pun karena perbuatan tersebut terbebas dari hukum pidana, dan juga tidak ada pelanggaran etika di dalamnya. 

Ijazah Palsu dan Moral 

Di antara produk palsu yang paling heboh saat ini adalah ijazah palsu. Kasus ijazah palsu ini sudah menjadi semacam “fenomena umum” di Indonesia. Belakangan ini beberapa media giat mengabarkan berbagai kasus ijazah palsu dan bahkan wisudawan palsu. Media juga menyajikan informasi tentang beberapa perguruan tinggi yang disinyalir melaksanakan perkuliahan secara tidak normal dan terkesan palsu. Di satu sisi, fenomena ijazah palsu yang terbongkar akhir-akhir ini telah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia.

Selain merusak citra dunia pendidikan, kasus ijazah palsu yang marak akhir-akhir ini kononnya juga melibatkan para politisi, bahkan berkembang informasi bahwa ada beberapa kepala daerah yang terindikasi menggunakan ijazah palsu. Maraknya penyebaran ijazah palsu di Indonesia secara tidak langsung juga menjadi isyarat betapa lemahnya sistem database kita, khususnya lembaga pendidikan sehingga kecolongan demi kecolongan terus terjadi.

Jika dicermati, kehadiran ijazah palsu tidak terlepas dari “dua rukun”, pertama pemilik ijazah dan kedua penerbit ijazah. Jika kita meminjam teori fungsionalisme, maka kita akan menemukan adanya simbiosis mutualisme dalam kasus ijazah palsu. Dengan kata lain, selama para “pemburu” ijazah palsu itu masih ada, maka selama itu pula para “penerbit” ijazah palsu akan tetap eksis. Sebaliknya, ketika “pemburu” ijazah palsu sudah tidak ada lagi, maka pihak penerbit ijazah palsu tersebut juga akan “musnah” dengan sendirinya.

Selanjutnya, apabila ijazah palsu digunakan oleh para politisi untuk turut serta dalam pemilu, dan yang bersangkutan terpilih sebagai pejabat publik semisal anggota DPR, bupati, walikota atau gubernur, maka pihak yang terlibat juga akan bertambah. Dalam hal dugaan ijazah palsu pejabat publik, pihak KPU atau KIP selaku penyelenggara Pemilu juga bertanggungjawab atas lolosnya ijazah palsu dimaksud, baik karena kesengajaan maupun akibat kelalaian.

Di sisi lain, keberadaan ijazah palsu pejabat publik juga tidak dapat dipisahkan dari rusaknya moralitas, baik pemilik ijazah palsu, penerbit (lembaga pendidikan) maupun pihak penyelenggara pemilu sehingga ketiga pihak tersebut patut dipertanyaakan moralitasnya oleh publik. Pupusnya budaya malu juga ikut mendorong laris manisnya ijazah palsu di pasaran. Padahal budaya malu itu merupakan salah satu cabang keimanan yang harus tertanam dalam benak kaum muslimin. Namun godaan syaithan terkadang membuat kita lalai sehingga terperosok dalam perilaku amoral.

Untuk membasmi ijazah palsu di negeri ini tidak cukup hanya dengan penegakan hukum semata, tapi dibutuhkan upaya penyadaran kepada masyarakat melalui pendekatan religius. Masyarakat kita harus disadarkan bahwa menggunakan ijazah palsu adalah suatu ‘aib dan bahkan pelakunya berdosa, karena perbuatan tersebut sama saja dengan penipuan (kedustaan).

Dalam menyikapi menjamurnya ijazah palsu, peran ulama dan tokoh-tokoh agama sangat dibutuhkan guna memberikan pencerahan kepada umat. Meskipun persoalan ijazah palsu tidak dibahas secara detil dalam kitab-kitab klasik, tapi perbuatan tersebut jelas sangat bertentangan dengan substansi dari syariat itu sendiri. 

Kasus Bireuen

Aceh sebagai “wilayah syariat” yang tidak lama lagi akan menerapkan Qanun Jinayah juga tidak terbebas dari kasus ijazah palsu. Beberapa waktu lalu, pihak kepolisian berhasil membongkar kasus ijazah palsu di Banda Aceh yang memakai kop dan stempel Universitas Syiah Kuala.

Baru-baru ini, isu ijazah palsu juga kembali berhembus di Kabupaten Bireuen yang beberapa hari lalu baru saja merayakan HUTnya yang ke 16. Media mengabarkan bahwa ada sebagian kalangan yang meragukan keabsahan ijazah Bupati Bireuen. Dalam menyikapi isu ini, beberapa elemen mahasiswa di Bireuen juga telah melaksanakan demonstrasi guna menuntut kejelasan isu tersebut. Namun pasca demonstrasi, kononnya para mahasiswa justru dibully di media sosial.

Sampai saat ini, polemik terkait dugaan ijazah palsu Bupati Bireuen masih menjadi perbincangan hangat di keda-kedai kopi. Kasus ini telah menjadi semacam “dilema” yang menyita perhatian publik karena isu tersebut juga telah “menyeret” nama Dayah Mudi Mesra yang merupakan lembaga pendidikan tradisional terbesar di Kabupaten Bireuen, dan bahkan di Aceh.

Jika kita melihat hasil investigasi yang disajikan oleh beberapa media, khususnya Pikiran Merdeka (edisi 92), nampak jelas berbagai “keanehan” pada dokumen dimaksud. Namun berbagai “kejanggalan” yang terdapat dalam dokumen ijazah tersebut sudah diklarifikasi oleh pimpinan Mudi Mesra yang menyatakan bahwa ijazah Bupati Bireuen adalah asli. Tapi sayangnya, komentar dari pimpinan Mudi Mesra terkait keaslian ijazah Bupati Bireuen pada kenyataannya juga belum mampu meredam polemik yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya komentar-komentar miring di media sosial. Informasi terakhir sebagaimana dilansir oleh beberapa media, dugaan ijazah palsu tersebut bahkan sudah dilaporkan ke Mendagri.

Benar tidaknya dugaan ijazah palsu tersebut merupakan tugas pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan. Namun di sebalik itu juga berkembang “rumor” bahwa mencuatnya kasus ijazah palsu Bupati Bireuen sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu guna kepentingan politik 2017. Terlepas dari isu-isu yang berkembang, sebagai masyarakat awam, kita percayakan saja kasus ini kepada penegak hukum. Akhirnya hanya kepada Allah kita kembali untuk mempertanggungjawabkan amal kita. Semoga “tidak ada dusta di antara kita.” Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Pikiran Merdeka

loading...

No comments