Bijak Melihat Singkil

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 16 Oktober 2015

Sumber Foto: http://beritagar.id/
Mendengar nama Singkil, tentu kita akan terkenang pada sosok ulama besar yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan empat ratu. Beliau adalah Syaikh Abdurrauf As-Singkily, penulis Kitab Miratul Thullab. Nama Syaikh Abdurrauf As-Singkily atau yang lebih dikenal dengan Syiah Kuala telah diabadikan sebagai nama salah satu perguruan tinggi ternama di Aceh (Unsyiah).

Baru-baru ini nama Singkil kian populer di mata publik Indonesia pasca terjadinya “tragedi berdarah” yang menyebabkan satu korban meninggal dan beberapa lainnya luka-luka. Sejumlah media mengabarkan bahwa massa dari pihak muslim melakukan pembakaran terhadap salah satu gereja di Singkil. Aksi pembakaran gereja tersebut berujung pada bentrok antar warga dan menyebabkan jatuhnya korban di pihak muslim.

Kononnya aksi pembakaran gereja di Aceh Singkil pada 13 Oktober 2015 dipicu oleh semakin bertambahnya gereja ilegal di daerah tersebut. Hidayatullah.com melansir pernyataan dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI) yang menyebut bahwa ada 24 gereja ilegal di Aceh Singkil. Dengan demikian, keberadaan gereja ilegal di Singkil bukanlah mitos, tapi fakta yang tidak bisa ditutupi. Menurut informasi yang berkembang, sudah ada kesepakatan antara warga dengan Pemkab Singkil bahwa gereja ilegal tersebut akan dibongkar pada 19 Oktober 2015. 

Ada riwayat yang menyebut bahwa pada tahun 1978/1979 sudah ada kesepakatan antara pihak Muslim dan Kristen bahwa pihak Kristen hanya dibenarkan mendirikan satu gereja besar dan empat gereja kecil. Namun pada kenyataannya, gereja ilegal di Singkil terus bermunculan.

Tentu sangat tidak masuk akal jika di daerah yang penduduknya mayoritas muslim terdapat banyak gereja. Kondisi ini tentunya akan melahirkan tanda tanya besar di kalangan umat Islam. Wajar saja jika kondisi ini menumbuhkan kecurigaan akan adanya agenda-agenda terselubung sehingga memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. 

Informasi terakhir menyebut bahwa pelaku penembakan terhadap Samsul dari kelompok Islam yang meninggal dunia telah berhasil ditangkap oleh aparat Kepolisian (acehterkini.com). Sebelumnya Serambi Indonesia juga mengabarkan bahwa pihak kepolisian juga telah menangkap dua orang pelaku penyebar sms provokasi yang menyebabkan terjadinya bentrok. Kononnya pasca bentrok, Polres Aceh Singkil juga telah menatapkan beberapa orang tersangka dalam kasus pembakaran gereja tersebut (news.detik.com). Serambi Indonesia memberitakan bahwa tiga orang tersangka sudah ditahan.

Di sisi lain, pasca tragedi Singkil, media sosial juga dipenuhi oleh komentar-komentar miring yang cenderung memperkeruh suasana dan bahkan menyudutkan umat Islam. Ada segelintir pihak yang menyebut bahwa Aceh tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. Pernyataan ini merupakan statemen yang absurd karena telah menafikan fakta dan tidak melihat akar persoalan secara komprehensif. Seandainya masyarakat Aceh tidak toleran tentunya semua gereja di Aceh akan dibongkar, tapi kenyataannya hubungan antara muslim dan non muslim di Aceh sangat harmonis. Umat non muslim bebas beribadah sesuai agamanya masing-masing tanpa ada gangguan dari masyarakat Aceh.

Adapun kasus Singkil lebih bersifat insidentil akibat belum terealisasinya keinginan masyarakat. Lagi pula, masyarakat muslim di Singkil pun sudah sangat toleran terhadap non muslim. Terkait toleransi di Singkil, teman penulis (Ramli Cibro) menceritakan bahwa kehidupan keagamaan di Aceh Singkil berjalan sangat harmonis antara Islam dan Kristen. Uniknya masyarakat di Singkil juga berasal dari satu keturunan meskipun berbeda agama. Kedua belah pihak hidup rukun dan saling menghargai.

Meskipun berbeda agama, penganut Islam dan Kristen di Singkil bisa hidup bersama dalam satu lingkungan. Ada beberapa penganut Kristen yang tinggal di kampung mayoritas muslim dan mereka saling menghormati. Ada juga kampung yang mayoritas Kristen, tetapi mereka bisa hidup berdampingan dengan umat Islam yang tinggal di kampung tersebut.

Memang di masa lampau pernah terjadi beberapa insiden kecil antara Islam dan Kristen di Singkil, tetapi insiden tersebut tidak sampai merusak keharmonisan di antara mereka. Buktinya, ketika ada pesta perkawinan dan juga peristiwa kematian, mereka saling mengunjungi satu sama lain, meskipun mereka memeluk agama yang berbeda. Begitu pula ketika ada perayaan hari-hari besar nasional, mereka merayakannya bersama-sama. Demikian cerita dari teman penulis.

Informasi menarik lainnya, pasca “kerusuhan” di Singkil pada 13 Oktober lalu, di daerah tetangganya Subulussalam, umat Islam dan Kristen justru menjaga mesjid dan gereja bersama-sama. Fakta ini juga menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh sangat toleran dan bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.

Penegakan Hukum 

Aksi pembakaran gereja ilegal di Singkil beberapa hari lalu, hanya dalam hitungan detik langsung menjadi isu nasional dan ditanggapi secara beragam oleh masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, tanpa harus menunggu lama, pihak kepolisian juga sudah berhasil menangkap para tersangka. Tentu hal ini berbeda dengan penyelesaian kasus pembakaran mesjid di Tolikara beberapa waktu lalu yang terkesan lamban.

Kita berharap pihak kepolisian dapat bertindak adil dalam penegakan hukum di Singkil. Kita mengakui bahwa aksi pembakaran gereja yang dilakukan oleh umat Islam adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum, tetapi kita juga harus adil dalam menilai, karena mendirikan gereja ilegal juga pelanggaran hukum yang juga harus ditindak tegas. 

Namun demikian, sebagai umat Islam, kita harus menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama. Segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus diselesaikan secara bermartabat melalui musyawarah, bukan dengan kekerasan. Aksi kekerasan hanya akan merugikan kita semua. Seperti dikabarkan oleh media bahwa beberapa sekolah di Singkil sempat ditutup dan proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung karena kondisi saat itu yang tidak kondusif. Demikian pula arus pengungsian ribuan masyarakat akibat kerusuhan juga akan menjadi persoalan tersendiri di kemudian hari. Oleh sebab itu butuh ketegasan pemerintah, tidak hanya dalam “mengurus” pelaku pembakaran, tetapi juga dalam menjaga kenyamanan masyarakat dengan cara menertibkan seluruh gereja ilegal yang ada di Singkil agar kejadian yang sama tidak lagi terulang.

Di akhir tulisan ini kita berharap kedua pihak agar saling menahan diri dan tidak mudah terprovokasi dengan informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya. Di sisi lain, kita juga berharap tokoh-tokoh agama dari kedua pihak untuk membimbing umatnya agar tidak terpengaruh dengan paham-paham radikal yang dapat merusak persatuan masyarakat. Semoga saja keharmonisan bisa terajut kembali. Damailah Singkil! Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments