Ketika Kekerasan Menjadi Tabi’at

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 23 September 2015

Ilustrasi. Sumber Foto: www.sorotnews.com
Yang Pah Kupeh Sige” (cocoknya kupukul sekali), “nyan yang pah tapak tajoek” (cocoknya kita tendang). Kalimat-kalimat serumpun ini sudah sangat sering kita dengar di kedai-kedai kopi, khususnya di Aceh. Ia adalah kalimat-kalimat sederhana yang saya, anda dan mereka ucapkan sehari-hari. Ketika amarah telah memuncak dan akal telah mati, maka mulut pun “berpuisi” dengan kalimat-kalimat itu. Tak puas hanya berucap, terkadang berlanjut pada aksi. Kekerasan itu bermula dari hati tersebab benci, kemudian turun ke mulut dengan caci dan akhirnya bermuara ke “kaki”, maka terjadilah pemukulan, pembunuhan, pembantaian, pengusiran, perusakan dan bahkan pembakaran.

Motif kekerasan itu pun sangat beragam, mulai dari motif politik, ekonomi dan bahkan agama sekali pun. Meskipun agama, khususnya Islam sangat menentang kekerasan, namun apa hendak dikata, banyak pemeluknya yang abai dan dibuai amarah. Demi memperoleh kedudukan politik, insan-insan “lemah akal” tidak segan-segan melakukan kekerasan. Demi memperoleh harta dan kekayaan (ekonomi) maka lahirlah perampok dan pembunuh yang setiap masa mengintai mangsa. Ironisnya lagi, ada segelintir umat beragama yang “menjual” dalil-dalil agama demi melegalkan kekerasan terhadap pihak lain.

Di Aceh sendiri, aktivitas kekerasan bukanlah barang baru. Untuk menulis riwayat kekerasan di Aceh mungkin akan menghabiskan kertas berjilid-jilid. Lihat saja berapa banyak masyarakat pribumi (Aceh) yang dibantai oleh jenderal-jenderal Belanda di masa lalu. Kita juga telah membaca di buku-buku sejarah, bagaimana pasukan Cumbok melakukan berbagai kekerasan terhadap rakyat pada awal-awal kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan “kekerasan baru” dalam revolusi sosial. Pada tahun-tahun berikutnya kita juga telah membaca dan mendengar riwayat pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI di Aceh. Tidak berhenti di situ, berbagai adegan kekerasan terus berlangsung pada masa-masa pergolakan DI TII di Aceh. Episode kekerasan juga berlanjut pada saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasca damai, fenomena kekerasan juga menghiasi panggung politik di Aceh. Kantor partai dibakar, baliho dirusak, caleg diancam, para pekerja yang mencari “sesuap nasi” di tanah ini juga tinggal nama tertembus peluru. Tidak hanya itu, kekerasan berbau agama juga sempat terjadi di beberapa tempat di Aceh, di antara kasus yang paling mengerikan adalah pembunuhan dan pembakaran hidup-hidup terhadap Tgk Aiyub Syakubat cs di Kecamatan Peulimbang beberapa tahun lalu yang diduga menganut aliran sesat.

Aksi kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Negara sebagai pelindung bagi masyarakat juga tidak jarang melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Kekerasan juga sering dilakukan oleh kelompok-kelompok politik dengan tujuan kekuasaan. Demikian pula dengan masyarakat secara personal juga tidak luput dari tindakan kekerasan dengan berbagai motif sebagaimana telah disebut di awal tulisan ini. Bahkan anak sekolah pun sudah semakin “gemar” dengan kekerasan, seperti aksi tawuran yang terjadi di Bireuen beberapa waktu lalu.

Baru-baru ini, media mengabarkan bahwa seorang bocah berusia enam tahun meninggal setelah sebelumnya dibakar oleh tetangganya di Pandrah Kabupaten Bireuen. Rasanya tidak ada kata-kata yang pantas disematkan kepada pelaku pembakaran tersebut selain kata “biadab”. Seakan kita telah begitu akrab dengan kekerasan. Seolah-olah setiap masalah itu hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan. 

Tanpa kita sadari kekerasan telah menjadi tabi’at yang melekat pada diri kita. Jika tabi’at kekerasan melekat pada manusia-manusia atheis yang tidak mengenal agama mungkin masih bisa “dimaklumi” karena mereka sama sekali tidak terikat dengan norma-norma agama. Demikian pula jika kekerasan menjadi “tradisi” bagi manusia-manusia primitif yang belum mengenal peradaban, mungkin tidak ada yang perlu ditanyakan. Tetapi ketika kekerasan dilakukan oleh insan-insan beragama dan berwajah religius, ini tentunya akan menjadi pertanyaan besar. Tentunya tidak berlebihan jika kita menyebut para pelaku kekerasan sebagai “pengkhianat” agama, karena ajaran agama penuh dengan kasih sayang dan anti kepada brutalisme apalagi tindakan barbarian yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang miskin peradaban. Terlebih lagi Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin.

Jika sebagai umat beragama kita masih menganggap bahwa kekerasan adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah, maka marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, sudahkah kita beragama dengan benar? Wallahu A’lam. Selamat Idul Adha!

Artikel ini sudah diterbitkan di Juang News
loading...

No comments