Rezim Mu’tazilah dan “Konflik” Mazhab di Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 26 Agustus 2015

Sumber Foto; Fb Serambi Mekkah
Dalam bukunya, Muhammad Ahmad menyebutkan bahwa kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang berarti memisahkan diri. Sedangkan Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Sebagian ulama menyebut bahwa nama Mu’tazilah adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang dari luar golongan Mu’tazilah. Adapun orang-orang Mu’tazilah sendiri lebih senang menggunakan nama Ahlut Tauhid wal ‘Adl.[1] Pendapat lain, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution dari Ibn Al-Murtadha, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah sendirilah yang memakai nama tersebut dan bukan diberikan oleh orang lain.[2] Menurut Syahrastani, firqah Mu’tazilah disebut juga dengan kaum Qadariyah, akan tetapi Mu’tazilah sendiri menyatakan bahwa sebutan tersebut mubham sehingga mereka menolak disebut Qadariyah.[3]

Aliran Mu’tazilah lahir lebih kurang tahun 120 H, di Kota Bashrah. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah pimpinan Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.[4] Aliran Mu’tazilah diangkat sebagai mazhab resmi negara pada masa Khalifah Al-Makmun. Saat itu, keberadaan mazhab Mu’tazilah ini ditentang oleh kalangan Muhadditsin (Ahlul Hadits/Sunni).[5]

Dalam rangka menancapkan pengaruh Mu’tazilah, Khalifah Al-Makmun memerintahkan untuk melakukan al-mihnat (pemeriksaan) terhadap keyakinan yang dianut oleh setiap pejabat dan pembesar pemerintahan, khususnya pejabat dan pembesar lembaga peradilan (hakim). Al Makmun juga memerintahkan agar dilakukan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat. Menurut Joesoef Sou’yb, tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Al Makmun ini adalah sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai Amirul Mukminin dalam memelihara kemurnian agama Islam.[6]

Akibat pengaruh dari seorang tokoh besar Mu’tazilah, Ahmad bin Abi Daud yang saat itu betindak sebagai Hakim Agung, Khalifah Al-Makmun pun melancarkan aksinya untuk memaksakan Mazhab Mu’tazilah kepada kaum muslimin yang saat itu mayoritas Sunni. Tindakan yang dilakukan oleh Rezim Mu’tazilah ini pada prinsipnya sangat bertentangan dengan slogan yang sering dikampanyekan oleh Mu’tazilah sendiri, yaitu kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat (free will and free act).[7]

Khalifah Al-Makmun memaksa seluruh tokoh-tokoh agama untuk mengakui bahwa Alquran adalah makhluk yang merupakan salah satu keyakinan Mu’tazilah. Dalam pemeriksaan tahap pertama, seluruh tokoh agama yang terdiri dari Ahlul Hadits dan Fuqaha menolak keyakinan Alquran sebagai makhluk. Mendengar jawaban-jawaban tersebut, Khalifah Al-Makmun kembali mengeluarkan peringatan keras agar membunuh siapa saja yang tidak mengakui Alquran sebagai makhluk.

Saat itu dilakukan kembali pemeriksaan terhadap 30 orang tokoh agama yang terdiri dari kalangan Kehakiman (Al-Qudhat), kalangan Ahlul Hadits (Muhadditsin) dan kalangan ahli hukum (Fuqaha). Akibat ancaman keras dari Khalifah, akhirnya 26 orang tokoh Sunni tersebut mengakui Alquran sebagai makhluk. Adapun empat tokoh lagi tetap mempertahankan prinsipnya dan tidak mengakui Alquran sebagai makhluk. Empat tokoh tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Sajjadat, Imam Al-Qarairiri dan Imam Muhammad bin Nuh. Keempat tokoh tersebut akhirnya dimasukkan dalam tahanan. Namun keesokan harinya, Imam sajjadat mengakui Alquran sebagai makhluk dan keesokan harinya lagi, Imam Al-Qarairiri juga membuat pengakuan serupa. Dengan demikian, hanya tinggal dua tokoh saja yang tetap berpendirian bahwa Alquran bukan makhluk. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Muhammad bin Nuh.[8]

Melalui suratnya, Khalifah Al-Makmun memerintahkan agar kedua tokoh keras kepala tersebut dibawa kepadanya. Namun dalam perjalanan menghadap Khalifah di Tarsus, tersebarlah berita bahwa khalifah Al-Makmun telah wafat. Akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh dibawa pulang ke Baghdad. Namun dalam perjalanan pulang ke Baghdad, Imam Muhammad bin Nuh jatuh sakit dan wafat. Dengan wafatnya Imam Muhammad bin Nuh, saat itu hanya tinggal Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan teguh mempertahankan keyakinan Sunni sehingga akhirnya ia dikenal sebagai Imamnya Ahlussunnah.

Sepeninggal Khalifah Al-Makmun, mihnat terus dilanjutkan oleh Khalifah Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Kekerasan demi kekerasan dalam rangka pemaksaan Mazhab Mu’tazilah kepada kaum muslimin terus berlanjut. Mu’tazilah berhasil menjadi mazhab resmi negara selama 34 tahun dan baru berakhir pada saat jabatan Khalifah dipegang oleh Al-Mutawakkil. Pada saat Khalifah Al-Mutawakkil berkuasa, beliau menghapuskan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantikannya dengan mazhab Sunni.[9]

Demikian sekelumit kisah Mu’tazilah yang pernah memimpin dunia Islam pada masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Sebagaimana telah maklum, bahwa Daulah Abbasiyah telah berhasil mengantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaannya di masa klasik, di mana saat itu Eropa dan dunia Barat masih “terlelap” dari tidur panjangnya. Pada masa Abbasiyah pula lahir dan hidup para mujtahid besar seperti Imam Syafi’i Rahimahullah. Pada masa ini pula muncul para filosof dan ilmuan terkemuka dalam dunia Islam. 

Namun dalam perjalanan sejarahnya, Daulah Abbasiyah di bawah kepimpinan Mu’tazilah telah pula menoreh noda hitam yang mengundang kebencian kaum muslimin. Penjelasan singkat di atas setidaknya dapat memberi gambaran kepada kita semua bagaimana ekstrimnya Mu’tazilah dalam menyebarkan mazhabnya dengan pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan melalui “tangan-tangan” pemerintah. Ulama-ulama Mu’tazilah telah berhasil dengan sukses mempengaruhi para Khalifah untuk menyebarkan pahamnya. 

Sosok Khalifah yang “lugu” dan ‘awam” agama telah berhasil dijadikan sebagai alat oleh ulama-ulama Mu’tazilah untuk memaksakan mazhab mereka kepada rakyat. Sebagaimana diakui sendiri oleh Khalifah Al-Makmun bahwa tindakannya tersebut adalah untuk menyelamatkan aqidah kaum muslimin yang menurutnya telah syirik karena tidak mengakui Alquran sebagai makhuk. Dengan alasan inilah para khalifah Abbasiyah (Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq) melakukan berbagai kekerasan dan bahkan pembunuhan. 

Untuk mengetahui pokok-pokok pemikiran Mu’tazilah secara lengkap dapat dilanjutkan dengan membaca buku-buku Teologi/Tauhid/Ilmu Kalam dan kitab-kitab tentang Mu’tazilah. Dan secara ringkas dapat juga membaca tulisan saya yang berjudul Teologi Mu’tazilah.

Mu’tazilah dan Aceh

Mungkin akan timbul pertanyaan dari para “agresor”, apa hubungannya Mu’tazilah dengan Aceh. Saya jawab, bahwa TIDAK ADA HUBUNGAN antara Mu’tazilah dengan Aceh. Catat ini! Hal ini penting ditegaskan karena bukan tidak mungkin para “agresor" akan mempelintir isi tulisan ini guna melancarkan fitnah.

Dalam konteks Teologi, secara lahiriyah TIDAK ADA penganut Mu’tazilah di Aceh. Sebagaimana telah maklum bahwa ada lima ajaran pokok Mu’tazilah yang dikenal dengan Ushulul Khamsah. Menurut tokoh-tokoh Mu’tazilah, seseorang baru dapat disebut sebagai Mu’tazili apabila dia mengakui kelima ajaran pokok tersebut. Apabila dia mengakui empat ajaran dan menolak satu ajaran saja, maka orang tersebut bukanlah Mu’tazilah. Dilihat dari sisi ini maka hampir dapat dipastikan bahwa TIDAK ADA yang namanya Mu’tazilah di Aceh. Bahkan Harun Nasution yang oleh sebagian pihak disebut-sebut sebagai Mu’tazilah bukanlah Mu’tazilah hakiki, karena (sepanjang bacaan saya yang terbatas) tidak ada bukti yang otentik bahwa Nasution menganut Ushulul Khamsah. Harun Nasution hanya menyerap pola pikir rasional yang merupakan satu ciri khas Mu’tazilah. Seorang Mu’tazilah itu cenderung berpikir rasional, namun tidak setiap yang berpikir rasional itu dapat disebut sebagai Mu’tazilah.

Beberapa Kasus Terakhir di Aceh

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa acara dakwah yang akan diisi oleh ulama Yaman gagal dilakukan di Mesjid Pulo Raya Pidie karena tidak adanya izin dari pemerintah setempat. Demikian pula dengan acara serupa yang direncanakan dilaksanakan di Pidie Jaya juga gagal. Saat itu berkembang isu, bahwa ulama Darul Hadits Yaman tersebut adalah Wahabi Radikal. Tidak begitu jelas, apakah pelarangan acara ini di Pidie dan Pidie Jaya disebabkan oleh isu “RADIKAL” tersebut atau oleh alasan-alasan lain yang tidak diketahui. Wallahu A’lam.

Pengepungan Ma'had As-Sunnah
Sumber Foto: Fb Serambi Mekkah
Baru-baru ini, Aceh kembali dihebohkan dengan berkembangnya informasi “pengepungan” Ma’had As-Sunnah di Lampeuneurut Aceh Besar. Informasi ini pertama kalinya disebarkan melalui media facebook oleh akun Serambi Mekkah – sebuah akun “misterius” yang tidak jelas “sanad-perawinya”. Dalam pemberitaan tersebut, Ma’had As-Sunnah diklaim sebagai lembaga pendidikan Wahabi sehingga harus ditutup. Oleh para “pengepung”, diberikan waktu tiga hari kepada pengelola untuk mengosongkan Ma’had.

Menurut informasi yang berkembang, salah satu dalil yang dijadikan dasar hukum untuk penutupan Ma’had As-Sunnah adalah Fatwa MPU Aceh tahun 2014 yang meminta agar pengajian Salafi di Mesjid Pulo Raya, Titeu dihentikan karena dianggap menyesatkan. Menurut pengakuan Salafi di Pulo Raya bahwa pasca keluarnya fatwa tersebut mereka sudah mengirimkan surat kepada MPU Aceh untuk diadakan dialog, tapi (masih menurut mereka) MPU menolak (tidak menanggapi). Benar tidaknya pengakuan ini wallahu a’lam. Tapi, oleh para “pengepung” Ma’had As-Sunnah menyatakan bahwa Ma’had tersebut memiliki hubungan dengan Salafi di Pulo Raya sehingga harus ditutup.

Sebelumnya aksi hampir serupa juga terjadi di Banda Aceh, di mana beberapa ormas telah berhasil dengan sukses merubah tata laksana ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman. Dalam kasus Baiturrahman ini juga tidak terlepas dengan isu Wahabi yang oleh sebagian pihak disebut-sebut telah menguasai Baiturrahman. 

Pola Gerakan Massa dan Penguasa

Aksi pelarangan (pembatalan) dakwah yang terjadi di Pidie dan Pidie Jaya merupakan salah satu bentuk keterlibatan pemerintah (negara) dalam menyikapi perbedaan pemahaman keagamaan. Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh pemerintah Pidie dan Pidie Jaya memang dapat “dimaklumi”, mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun di sisi lain, sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia, pemerintah tidak bisa membatasi dakwah keagamaan, kecuali jika mereka sudah terbukti sesat (menyimpang).

Berbeda dengan pelarangan dakwah di Pidie dan Pidie Jaya yang melibatkan pemerintah, aksi yang terjadi Mesjid Baiturrahman pada bulan Ramadhan lalu dan aksi “pengepungan” Ma’had As-Sunnah di Lampeuneurut baru –baru ini adalah salah satu bentuk keterlibatan rakyat yang lebih tepat disebut sebagai “gerakan massa” (atau massa yang digerakkan?). Gerakan yang melibatkan massa memang sulit dibendung dan akan berkonsekswensi pada lahirnya akibat yang cenderung destruktif

Saya ingat dengan satu kasus “mengerikan” yang terjadi beberapa tahun lalu di Kecamatan Peulimbang Kabupaten Bireuen. Sepintas dapat dibaca dalam tulisan saya “Mazhab Hamok dan Tragedi Peulimbang”. Penyelesaian berbagai bentuk dugaan penyimpangan melalui kekerasan seolah telah menjadi hal yang “lumrah” di negeri ini. Fitnah, pemukulan, penyerangan, perusakan harta benda, pembunuhan dan pembakaran seakan telah menjadi cara paling “ampuh” untuk menyikapi berbagai dugaan penyimpangan yang sebagian besarnya tidak pernah dibuktikan secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.

Tudingan sesat yang diringi dengan aksi kekerasan terus terjadi dari waktu ke waktu. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Aksi penjemputan paksa terhadap para terduga pengikut Millata Abraham beberapa tahun lalu di Bireuen juga telah menjadi ajang untuk membalas dendam pribadi dengan cara memanfaatkan kesempatan. Kita tidak memungkiri bahwa Millata Abraham adalah SESAT DAN MENYESATKAN, tapi kita juga jangan sembarangan menuduh seseorang sebagai pengikut ajaran tersebut tanpa didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Seharusnya, sebagai negara hukum, khususnya Aceh yang masyarakatnya dikenal religius dan telah pula melaksanakan Syariat Islam, maka sudah sepatutnya para terduga sesat (menyimpang) itu dihadapkan ke meja pengadilan, bukan justru “dikeroyok” ramai-ramai oleh massa. Jika memang mereka terbukti SESAT maka negara berhak menghukum mereka sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula sebaliknya, jika tidak terbukti, maka pemerintah harus berjiwa besar dan nama mereka (tertuduh sesat) harus DIPULIHKAN seperti semula. 

Negara sebagai wadah perlindungan bagi rakyat seharusnya mampu menyelesaikan berbagai persoalan terkait “konflik” keagamaan secara beradab dan bermartabat, bukan justru melakukan pembiaran terhadap berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh massa. Jika negara lalai, maka kerusakan demi kerusakan akan terus merajalela. 

Di sisi lain, ulama sebagai “warasatul anbiya” juga harus mampu bersikap arif dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan yang ada dengan memberikan nasehat-nasehat yang “sejuk” kepada umat. Ulama harus mampu mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, bukan justru “melibatkan diri” dalam “pertikaian”. Apa yang dilakukan oleh ulama-ulama Mu’tazilah di masa lalu sudah cukup menjadi “noda hitam” dalam sejarah. Ulama Mu’tazilah di masa lalu telah menyulut permusuhan dengan cara mempengaruhi khalifah. Fatwa bahwa Alquran makhluk yang dikampanyekan oleh ulama-ulama Mu’tazilah telah mengakibatkan korban berjatuhan, di mana banyak orang dipenjara, dan bahkan dibunuh. Demikian pula penyiksaan demi penyiksaan pun dilakukan sebagaimana yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh Rezim Mu’tazilah dilandasi oleh satu keyakinan bahwa AQIDAH UMAT ISLAM HARUS DISELAMATKAN.

Dalam kondisi tertentu, dengan alasan ingin menyelamatkan akidah umat, terkadang negara yang disokong oleh faksi mayoritas juga melakukan berbagai “kedhaliman” sebagaimana halnya pada masa Mu’tazilah. Keterlibatan negara yang terlalu jauh dalam persoalan-persoalan keagamaan akan berdampak pada rusaknya keberagaman. Demikian pula dengan isu penyeragaman mazhab yang diserukan oleh sebagian pihak juga akan mempermulus jalan bagi munculnya stempel-stempel sesat terhadap pihak-pihak yang berbeda. Penyeragaman mazhab tidak lebih hanyalah satu upaya untuk mempertahankan hegemoni mayoritas.

Semoga saja, perbedaan pemahaman agama (mazhab) yang terjadi di Aceh saat ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempraktekkan politik devide et impera sehingga kita saling “mengacung pedang” sesama anak bangsa. Kita juga berharap agar isu-isu ini tidak dimanfaatkan oleh para politisi demi kepentingan politik kelompok tertentu. Wallahu Waliyut Taufiq. [] 

Endnote:

[1]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 163. 
[2]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. 5, hal. 42. 
[3]Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Sekte-Sekte Islam; Bagian tentang Sekte-Sekte Islam dalam Kitab Al-Milal wan Nihal, terj. Karsidi Diningrat, (Bandung: Pustaka, 2004), cet. 2, hal. 57. 
[4]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam…, hal. 163. 
[5]H. M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah dan Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1982), hal. 151. 
[6]H. M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah dan Peranannya…, hal. 152. 
[7]H. M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah dan Peranannya…, hal. 160. 
[8]H. M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah dan Peranannya…, hal. 170. 
[9]H. M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah dan Peranannya…, hal. 181.
loading...

No comments