Memerdekakan Damai Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 16 Agustus 2015

Bagi Aceh, bulan Agustus sangatlah “istimewa”. Pada bulan Agustus, ada dua momen besar yang diperingati oleh masyarakat Aceh. Pertama adalah HUT Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus. Peringatan HUT RI ini telah dimulai sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sampai dengan saat ini. Kedua adalah peringatan Damai Aceh yang diperingati pada 15 Agustus setiap tahunnya. Ini adalah “tradisi” baru pasca penandatangan Memorandum of Understanding (MoU Helsinky) antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 silam. 

Tepat pada 15 Agustus 2015, telah genap sepuluh tahun usia damai Aceh. Sedangkan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2015 juga telah genap berusia 70 tahun. Usia 10 tahun damai Aceh jika disandangkan pada manusia, maka usia tersebut terbilang masih sangat belia. Adapun usia 70 tahun RI jika disematkan pada manusia, maka usia tersebut telah masuk katagori sepuh. Maka sudah sewajarnyalah seorang yang “sepuh” harus mampu mengayomi anak kecil yang berusia 10 tahun. Demikian pula, “anak-anak” yang baru berusia sepuluh tahun pun harus mampu menghormati “orang tua” yang telah sepuh. Dengan kata lain, sikap saling mengerti antara pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat tentunya akan semakin memperkokoh perdamaian. 

Merdeka dalam Damai

Penandatangan MoU Helsinky pada 15 Agustus 2005 adalah awal dari damai Aceh setelah dilanda “perang” dan konflik panjang selama 29 tahun. Konflik Aceh antara GAM dan RI (1976-2005) telah membuat kondisi keamanan Aceh menjadi tidak menentu. Ketegangan antara Aceh dan Jakarta di masa lalu telah mengakibatkan kerugian yang tak terkira. Banyak nyawa melayang, yatim berhamburan, janda “membludak”, rumah-rumah dibakar, gedung sekolah menjadi abu dan berbagai kerusakan lainnya. Tersebab itulah, damai yang telah berusia sepuluh tahun ini mesti disyukuri oleh segenap masyarakat Aceh.

Damai Aceh yang terajut sepuluh tahun silam tidak hanya menjadi rahmat bagi masyarakat Aceh, tetapi kenikmatan damai itu juga dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian sudah sepatutnya damai ini terus dijaga agar tetap lestari. Berbagai bentuk kekerasan, baik aksi kriminal maupun benturan antar partai politik di musim pemilu sudah semestinya diakhiri agar keindahan damai tidak terusik.

Tanggung jawab untuk merawat damai berada di pundak seluruh masyarakat Aceh, bukan hanya tugas mantan GAM/KPA atau Partai Aceh. Isu “merdeka” yang didengungkan oleh GAM di masa “perang” sudah saatnya diterjemahkan dalam arti yang lebih luas. Pasca damai Aceh, hampir seluruh pimpinan daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) telah berhasil “dikuasai” oleh mantan GAM. Demikian pula anggota perwakilan rakyat (DPRA/DPRK) juga didominasi oleh para mantan kombatan dan juga mantan-mantan elit GAM, bahkan kursi pimpinan DPR Aceh dan juga beberapa DPR Kabupaten juga diisi oleh mantan GAM.

Menurut data BPS pada tahun 2014, persentase penduduk miskin Aceh adalah 18,05%, sedikit menanjak dibanding dengan persentase penduduk miskin pada 2013 yang berjumlah 17,60% (aceh.bps.go.id). Dengan demikian, sudah saatnya pemimpin Aceh (Gubernur/ Bupati/Walikota/DPR) memerdekakan rakyat Aceh dari “bahaya” kemiskinan. 

Angka kematian ibu melahirkan di Provinsi Aceh juga masih dikategorikan tinggi. Hal tersebut disebabkan kurang meratanya pendistribusian tenaga-tenaga medis terutama tenaga dokter spesialis pada daerah- daerah terpencil. Salah satu penyebab kematian ibu ketika melahirkan disebabkan faktor keterlambatan penangganan (rri.co.id). Di era damai seperti sekarang ini, pemerintah Aceh juga harus mampu meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga masyarakat Aceh benar-benar merasakan “merdeka”.

Sementara itu jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada Februari 2015 menurut BPS Aceh mencapai angka 7,73 %, lebih tinggi 0,98 % bila dibandingkan dengan TPT pada Februari 2014 yang hanya sebesar 6,75 % (acehnews.net). Untuk ke depan pemerintah Aceh juga harus mampu mencari solusi untuk “memerdekakan” Aceh dari pengangguran.

Dalam mengisi masa-masa damai, pemerintah Aceh hendaknya tidak “lalai” dan tersibukkan dengan agenda-agenda yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Pemerintah Aceh harus “gigih” dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana halnya “kegigihan” yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam memperjuangkan bendera Aceh (bintang bulan). Simbol dan bendera itu memang penting sebagai “identitas” sebuah daerah, tapi kesejahteraan rakyat jauh lebih penting untuk diperhatikan.

Apa untungnya jika bendera Aceh (bintang bulan) berkibar di seluruh penjuru negeri, tapi rakyat menangis “menginkat perut” menahan lapar? Apa pula hebatnya kita punya lembaga “ini itu” semisal WN, tapi pengangguran merajalela? Semuanya harus berjalan beriringan, simbol diperjuangkan, dan rakyat pun harus diperhatikan. 

Penulis juga ingin menitip pesan kepada pemimpin Aceh agar jangan hanya “menjenguk” rakyat di musim pemilu. Pada saat pemilu tanpa malu-malu kita berkata kepada rakyat: “nanti kamu pilih saya ya!” Tapi ironisnya, ketika pemilu sudah usai dan kita telah berada di tampuk kekuasaan, kita justru menjadi “amnesia”. Seharusnya, ketika hajat politik telah terpenuhi, kita harus kembali kepada rakyat yang memilih kita dan bertanya: “bagaimana perasaanmu selama aku pimpin?”

Rawat Damai

Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk terus merawat damai Aceh agar tetap “kekal” hendaknya. Segala bentuk tindakan dan perilaku yang bisa merusak damai sudah semestinya ditinggalkan. Jika ada aspirasi yang belum terpenuhi, baiknya disampaikan secara elegan sesuai prosedur dan tidak melawan hukum. Jangan ada lagi pihak-pihak yang membuat “kegaduhan” sehingga merusak perdamaian yang sudah terbina. 

Semoga saja sepuluh tahun damai Aceh dapat membuat kita lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak. Wallahu Waliyut Taufiq. Dirgahayu Republik Indonesia.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments