Berjilbab, Kenapa Harus ke Aceh?

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 31 Mei 2015 

Ilustrasi: Sumber: news.fimadani.com
Kalau mau pakai jilbab pindah ke Aceh! Begitulah sepotong kalimat yang kononnya diucapkan oleh Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, beberapa waktu lalu. Dalam tulisan singkat ini, saya tidak ingin berpanjang-panjang kalam. Karena berhadapan dengan sosok “tegas”, maka kita pun harus tegas. Kita langsung saja ke pokok persoalan.

Begini. Pada saat saya membaca statement dari panglima TNI, saya melihat ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, jilbab dan kedua, Aceh. Dua variabel ini menjadi penting untuk dikritisi guna menghindari “sesat pikir” dari sebagian pihak di negeri ini. 

Untuk tahap pertama, saya ingin melakukan analisis sederhana terkait statement dari Jenderal Moeldoko tentang jilbab dan hubungannya dengan Aceh. Sebagai masyarakat Aceh, saya menilai, bahwa kalimat “mau pakai jilbab pindah ke Aceh” akan bermuara kepada dua kesimpulan. 

Pertama, kalimat tersebut bermakna “memuji”, karena sampai saat ini cuma Aceh-lah yang telah diberikan hak oleh undang-undang untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Artinya, kalimat tersebut mengandung satu isyarat bahwa Jenderal Moeldoko secara tidak langsung telah mengakui “kekhususan” Aceh. Terlebih lagi, dalam perspektif historis, pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan kelanjutan sejarah masa lalu, di mana Aceh tempo dulu merupakan pusat Islam di Nusantara. Jika analisis ini benar, sebagai masyarakat Aceh, tentunya saya patut “berbangga”.

Kedua, kalimat tersebut bermakna “ejekan”. Analisis ini mungkin sedikit ekstrim, tapi tidak lebay. Kalimat “mau pakai jilbab pindah ke Aceh” secara tidak langsung juga bisa memunculkan sinyal “negatif”. Artinya, kalimat tersebut adalah sindiran kepada Aceh yang selama ini mungkin terlalu “banyak merengek” kepada pemerintah Pusat. Dalam perspektif “Jakarta”, pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah sebuah kompensasi bagi Aceh guna meredam konflik. Karena syariat Islam adalah sebuah “kado politik” bagi Aceh, maka provinsi lain jangan ikut-ikutan meminta hak yang sama. Dengan kata lain, pembolehan pemakaian jilbab bagi wanita yang merupakan satu bentuk pelaksanaan syariat menjadi tidak wajar jika diterapkan di luar Aceh, terlebih lagi di institusi negara semisal TNI. Begitu.

Namun demikian, perlu saya tekankan, bahwa dua kesimpulan di atas hanya asumsi saya, yang bisa benar dan berpotensi pula untuk salah. Kecuali itu, juga tidak tertutup kemungkinan adanya tafsiran lain yang lebih tepat.

Meng-Acehkan Jilbab

Untuk tahap kedua, saya ingin mengupas statement Moeldoko dalam konteks yang lebih luas. Jika dicermati, pernyataan Moeldoko terkait jilbab tentunya akan menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan kaum muslimin Indonesia. Secara tidak sadar, Jenderal Moeldoko telah “mengurung” dirinya dalam pola pikir sempit.

Bagi mayoritas kaum muslimin, berjilbab bagi wanita adalah satu kewajiban yang ketentuannya telah diatur dalam agama. Adapun pendapat sebagian pihak yang menyatakan bahwa jilbab tidak wajib – baiknya kita abaikan saja dalam tulisan ini. Untuk masalah jilbab, saya lebih sepakat dengan pemahaman “ortodoks”, bahwa jilbab itu adalah wajib bagi muslimah, titik!

Bagi kaum mulimin dan muslimat yang sepakat bahwa jilbab itu wajib, maka dengan sendirinya pernyataan Moeldoko dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk “pengebirian” hak-hak beragama. Sebagai seorang Panglima yang hidup di negeri Pancasila, tentunya Jenderal Moeldoko harus “hafal Pancasila”. Indonesia memang bukan negara agama, tapi mayoritas penghuni Indonesia adalah orang-orang beragama. Bahkan, suksesnya Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat tidak terlepas dari peran besar kaum muslimin di masa lalu. Tentunya akan sangat lucu, ketika negara ini telah berdiri, hak-hak kaum muslimin menjadi sulit untuk diterapkan.

Pernyataan Moeldoko bahwa TNI wanita yang mau pakai jilbab harus pindah tugas ke Aceh adalah pernyataan yang absurd. Melalui pernyataannya, secara “tidak sadar” Moeldoko ingin “meng-Acehkan” jilbab. Seolah-olah jilbab hanya berlaku di Aceh, sedangkan di daerah lain tidak. Saya melihat, bahwa pernyataan Jenderal Moeldoko terkait jilbab hanyalah keputusan emosional tanpa didasari oleh alasan logis. Bagaimana jadinya, jika seluruh TNI wanita ingin berjilbab, apakah semuanya akan dipindahkan ke Aceh?

Jika ditinjau lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin keputusan Panglima TNI terkait jilbab akan berimbas kepada praktek-praktek agama lainnya (sekedar asumsi). Seandainya jilbab dianggap dapat menganggu aktivitas seorang TNI wanita – sebut saja begitu, maka shalat tentu akan sangat “mengganggu” lagi. Jilbab itu hanya sekali atau dua kali pakai dalam sehari, adapun shalat itu lima kali sehari-semalam. Demikian pula dengan puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, bukankah ritual ini juga akan mengganggu aktivitas? Apakah anggota TNI yang shalat dan puasa juga harus “diangkut” ke Aceh? Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab secara logis oleh pimpinan TNI. 

Kisah Si Do dan Basyariyah

Aturannya sudah kita buat. Tak ada larangan. Kalau mau pake jilbab, tinggal pindah ke Aceh. Selesai persoalan”. Membaca kalimat ini saya jadi ingat satu kisah teman saya di kampung. Ada seorang pemuda, sebut saja namanya Si Do. Sehari-hari Si Do bekerja sebagai supir labi-labi (mobil sudako). 

Alkisah Si Do sangat mencintai seorang gadis bernama Basyariyah yang berprofesi sebagai penjual sayur di pasar pagi. Keakraban Si Do dan Basyariyah sudah terjalin sangat lama via labi-labi. Sejak awal berjumpa, Basyariyah selalu saja menggunakan jasa Si Do untuk membawa sayurnya ke pasar. Seiring perjalanan waktu, rasa cinta pun tumbuh dan mekar di hati dua insan ini.

Pada suatu hari, Si Do menjumpai ayah dan ibunya guna menyampaikan hajat nak menikahi Basyariyah. Setelah mendengar penjelasan si Do, ayah dan ibu Si Do berkata kepada Si Do: “Hai Do, kami orang tuamu tidak melarang kamu menikah dengan Basyariyah. Kalau kamu mau menikahi Basyariyah silahkan saja, tapi kamu harus pergi dari rumah ini dan jangan kembali lagi”.

Maaf saya sengaja tidak menghabiskan cerita ini, karena saya yakin kalau anda tidak akan penasaran. Saya hanya ingin membuat kesimpulan kecil bahwa keputusan yang dibuat oleh orang tua Si Do adalah keputusan yang jauh dari bijak. Cuma saja, ketidakbijakan dari keputusan orang tua Si Do hanya berakibat kepada si Do seorang. Berbeda dengan keputusan Panglima TNI yang tentunya akan “mengguris” hati ramai anak bangsa. Wallahul Musta’an.

Arikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments