Rohingya itu Soal “Rasa”

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 Mei 2015

Ilustrasi. Sumber Foto: portalsatu.com
Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan Myanmar. Orang-orang mengatakan bahwa Myanmar itu dahulunya disebut Burma. Mau disebut apapun juga, saya juga tidak kenal mereka. Memang, waktu sekolah dulu, saya pernah belajar IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Dalam pelajaran ini memang Myanmar dan Burma sering disebut-sebut. Tapi yang namanya tak kenal, meskipun banyak disebut, ya tetap saja saya tak kenal. 

Tapi jangan salah, tak kenal bukan berarti tak tahu. Seperti halnya Megawati Soekarnoputri. Saya tahu dia itu putrinya Bung Karno dan pernah menjadi presiden. Tapi meskipun saya tau Megawati itu siapa, namun saya baru kenal Megawati pada saat dia menangis tersedu dan berjanji tidak akan membiarkan darah mengalir di Aceh, tapi nyatanya dia justru menerapkan Darurat Militer di Aceh. Nah, setelah itu baru saya kenal dan paham bahwa Megawati itu “pembual”. Maaf sedikit melenceng, itu cerita masa lalu, sebagai contoh saja.

Demikian pula dengan Myanmar, meskipun saya tak kenal Myanmar, tapi saya tau bahwa Myanmar itu adalah sebuah negara yang terletak di Asia, tepatnya di Asia Tenggara. Saya baru mengenal Myanmar sejak beberapa tahun terakhir ini. Terusirnya etnis Royingya adalah sebab utama yang mengakibatkan saya menjadi kenal siapa Myanmar. Dari beberapa bacaan disebut bahwa Rohingya telah ditindas secara “biadab” oleh Myanmar yang mayoritas penduduknya adalah Budha.

Baru-baru ini, tersiar kabar bahwa orang-orang Rohingya kembali bertaruh nyawa di lautan. Beberapa waktu lalu ada ratusan orang Rohingya yang ditolong oleh nelayan Aceh. Kabarnya, beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia – disebut-sebut menolak kedatangan para imigran Rohingya. Tapi mereka diterima baik dan dilayani secara terhormat di Aceh. Sebagai orang Aceh, bukan maksud nak berbangga diri – tentunya saya paham kenapa orang-orang Rohingya bisa diterima di Aceh sebagai “tamu terhormat”. Tidak hanya karena persoalan agama yang mayoritas mereka (Rohingya) adalah muslim, tapi juga karena alasan kemanusiaan, di mana orang-orang Rohingya adalah bangsa tertindas – yang sepanjang tahun hidup dalam ketakutan.

Saya juga merasa heran ketika beberapa negara justru menolak imigran Rohingya yang saat ini dalam kondisi teraniaya dan memprihatinkan. Berbagai alasan pun dijadikan dalil guna menolak kehadiran Rohingya. Kadang saya berpikir, haruskah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariyah itu dikorbankan hanya karena alasan nasionalisme dan batas-batas wilayah? Pantaskah kita menelantarkan saudara-saudara kita hanya karena perbedaan etnis dan negara?

Jika Aceh bisa “melayani” Rohingya, kenapa daerah lain tidak? Saya melihat, bahwa kepedulian kepada Rohingya adalah soal “rasa”. Jika “rasa” itu telah mati maka tamatlah “kemanusiaan” itu. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments