“Keledai” dan Panik Sindrom

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 Maret 2015 

Ilustrasi. Sumber: zulkifli-amma.blogspot.com
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tidak menunaikannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah (Q.S. al-Jumu’ah)”
Tersiar kisah, bahwa tempo doeloe, jika orang-orang di Nusantara ini ingin pergi haji atau hendak belajar agama di Mekkah, mereka terlebih dahulu transit di Aceh untuk memperdalam agama Islam. Setelah Islamnya mantap, baru mereka berangkat ke Mekkah. Bahkan ada yang uloek (olok) dengan menyebut bahwa saat ini keadaan sudah terbalik. Kalau dulu orang yang hendak ke Mekkah harus singgah di Aceh dulu, tapi sekarang, orang yang akan ke Aceh harus ke Mekkah dulu, baru kemudian bisa ke Aceh. Memang nampak lebay, karena setiap uloek itu memang lebay.

Terlepas dari ulok atau bukan, tapi kisah tersebut menjadi isyarat bagi kita bahwa begitu kuatnya Islam di Aceh. Di sisi lain, Aceh masa lalu juga disebut-sebut sebagai salah satu pusat peradaban Islam, khususnya di Nusantara. Tidak hanya di masa lalu, di abad modern, Aceh juga masih dikenal sebagai daerah syariat Islam. Pada saat konflik Aceh (RI-GAM) mulai memuncak, penerapan syariat Islam di Aceh justru memasuki babak baru dengan diberikannya hak oleh Undang-Undang untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Untuk mengatur pelaksanaan syariat Islam tersebut, maka lahirlah berbagai qanun terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Selain itu muncul pula beberapa lembaga yang memiliki kaitan erat dengan penerapan syariat Islam di Aceh, semisal Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan Mahkamah Syar’iyah. Di kemudian hari juga muncul Badan Pembinaan Pendidikan Dayah yang tentunya juga memiliki kaitan dengan penerapan (penguatan) syariat Islam di Aceh.

Kristenisasi Menyerbu 

Dalam beberapa waktu terakhir ini, isu tentang Kristenisasi terus berhembus kencang hampir di seantero Aceh. Media mengabarkan bahwa sebagian besar masyarakat Aceh telah dibuat resah akibat isu tersebut. Kita paham, bahwa Kristenisasi di Aceh bukanlah sekedar isu atau isapan jempol belaka, tapi agenda tersebut memang benar adanya. Beberapa temuan di Aceh dalam beberapa waktu terakhir telah menjadi bukti bahwa memang ada pihak-pihak tertentu yang menjalan agenda Kristenisasi di Aceh, khususnya pasca tsunami.

Menyikapi fenomena ini, muncul satu pertanyaan, kenapa Aceh dijadikan sasaran Kristenisasi? Bukankah Aceh ini Serambi Mekkah? Bukankah Aceh Tanoh Aulia? Bukankah masyarakat Aceh itu penganut Islam yang ta’at? Bahkan lebih ta’at dari kata “ta’at” itu sendiri. Lantas kenapa para misionaris tidak takut masuk ke Aceh? Kenapa buku-buku bernuansa Kristen bisa tersebar di Aceh? Apakah misionaris tidak paham kalau Aceh ini Serambi Mekkah? Padahal ulama Mekkah saja “harus pikir-pikir” untuk datang ke Aceh, karena Aceh “dikenal” lebih “Mekkah” dari Mekkah itu sendiri, sehingga tidak heran kalau ada sebagian orang Aceh yang menolak kedatangan orang Mekkah ke Aceh.

Bukankah masyarakat Aceh dikenal fanatik terhadap Islam? Tapi, kenapa para misionaris tidak gentar masuk ke Aceh? Apa mungkin para misionaris sudah mendapat “bocoran”, bahwa “kefanatikan” kita selama ini hanyalah spirit tanpa wujud? Mungkinkah misionaris sudah “terlanjur” tau bahwa fanatisme yang kita miliki hanyalah “semangat basa-basi”? Atau mungkin mereka sudah tau titik kelemahan kita? Untuk menjawab itu semua, kita hanya dapat berkata “entahlah”. 

Falsafah Keledai 

Nama keledai tidak-lah asing bagi saya, anda dan siapa pun yang hidup di bumi ini, karena keledai itu bukan-lah makhluk planet yang terasing dari kehidupan kita. Keledai itu hidup di bumi, tentu-lah ia dikenal oleh penduduk bumi. Jika pun ada orang yang tak kenal keledai, bukan keledai yang salah. Bagi umat Islam yang pernah membaca Al-Quran, atau setidaknya pernah mendengar bacaan Al-Quran, tentunya akan sangat familiar dengan nama keledai.

Dalam Al-Quran, Allah sering mengumpamakan orang-orang yang bodoh, lalai dan tidak menggunakan akalnya untuk berpikir sebagai keledai. Keledai diam saja saat ditunggangi meskipun bebannya berat, dia tidak pernah berontak. Pada saat keledai memikul barang berharga, dia hanya bertindak sebagai pengangkut, tanpa pernah ia memahami betapa bernilainya barang tersebut. 

Namun demikian, keledai juga memiliki kecerdasan dan kelebihan. Kita tentu ingat sebuah pepatah: “keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama”. Dalam beberapa sumber disebut bahwa keledai memiliki ingatan yang kuat dan mampu “menghafal” jalan yang telah dilaluinya, sehingga dia tidak akan terperosok di tempat yang sama. 

Di Aceh, pemakaian istilah keledai juga lumayan marak, di mana sosok keledai dimaknai sebagai simbol kebodohan alias “ketololan.” Tentunya kita sering mendengar kalimat: “bek lage keulidei” (jangan seperti keledai). Kalimat tersebut umumnya ditujukan kepada orang-orang yang melakukan tindakan bodoh.

Terkait dengan isu Kristenisasi yang marak akhir-akhir ini, kita juga dituntut agar tidak meniru keledai. Kita “sibuk” dengan mengutuk misionaris dan mencurigai lembaga-lembaga asing. Tapi kita tidak pernah sibuk menanamkan ilmu agama kepada anak-anak kita. Kita sibuk memvonis bahwa lembaga A, B dan C adalah agen misionaris, tapi kita tenang-tenang saja pada saat melihat saudara-saudara kita masih proh eok (melakukan perbincangan tak penting) di kedai kopi pada saat azan berkumandang. Kita sibuk dengan selebaran-selebaran tak jelas yang berisi nama-nama misterius, bahwa si A, si B dan si C sudah menjadi pendeta. Tapi, pernahkah kita sibuk membangunkan istri kita untuk shalat shubuh? Pernahkah kita sibuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak kita? Atau mungkin kita sendiri tak pernah shalat dan tidak pernah menyentuh Al-Quran?

Tanpa sadar kita telah menjadi “keledai”. Kita melupakan hal-hal penting yang menjadi kewajiban kita, demi menyibukkan diri pada perkara-perkara yang masih samar dan belum jelas. Siang malam kita membincangkan misionaris dan Kristenisasi di kedai-kedai kopi, tanpa kita menyadari waktu Magrib telah habis. Aneh.

Panik Sindrom 

Seseorang bercerita kepada saya, bahwa dia baru saja membakar sejumlah barang rumah tangga dari Tupperware. Padahal barang-barang tersebut baru saja dibelinya dengan harga ratusan ribu. Dia menyimpulkan untuk membakar barang-barang tersebut setelah tersiar kabar bahwa barang-barang Tupperware mengandung unsur babi dan sabu-sabu. Kabar itu didapatkannya dari ceramah terkait Kristenisasi yang marak akhir-akhir ini. Sejauh mana kebenaran bahwa Tupperware itu mengandung unsur babi, wallahu a’lam, tapi yang jelas, barang-barang itu sudah dimusnahkan.

Ada pula yang menyebut bahwa Tupperware juga mengandung sabu-sabu. Entah dari mana informasi tersebut didapat, wallahu a’lam. Sebagai umat Islam, sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menolak segala bentuk perusakan dan pendangkalan akidah di Aceh, tapi tentunya dengan cara-cara waras dan bijak. Tidak sepatutnya kita termakan “provokasi” dari pihak-pihak yang tidak terlalu jelas asal-usulnya.

Tanpa sadar kita telah dirasuki oleh “panik sindrom”. Sebuah kepanikan tanpa alasan yang jelas. Jika beberapa waktu lalu kita kita baru melihat “pemusnahan” Tupperware karena diduga ada kaitannya dengan Kristenisasi, mungkin dalam beberapa waktu ke depan, kita akan melihat, komputer, mobil, motor, televisi dan barang-barang lain juga akan dimusnahkan, karena produk orang kafir. Sesederhana itukah pola pikir kita?

Devide et Impera

Salah satu jurus ampuh yang digunakan oleh Belanda dalam menjalankan misi kolonialisasi di Indonesia adalah devide et impera (adu domba). Politik pecah belah adalah cara paling mujarab untuk menaklukkan suatu daerah. Hendaknya pengalaman masa lalu ini menjadi bahan renungan bagi kita semua. Kita harus sadar, bawa ketika kita telah terpecah ke dalam faksi-faksi kecil, maka akan semakin mudah kita dikuasai.

Terkait dengan isu Kristenisasi yang marak akhir-akhir ini di Aceh, kita juga mesti berhati-hati dengan praktek politik ini. Dalam beberapa waktu terakhir telah beredar nama sejumlah orang Aceh yang disinyalir telah menjadi pemeluk Kristen dan bahkan menjadi pendeta. Beredar pula isu bahwa beberapa LSM, semisal AU-Dec, BI-Dec dan sejumlah Lsm Dec lainnya memiliki kaitan dengan upaya Kristenisasi. Sejauh mana kebenaran isu ini tentunya harus diselidiki oleh pihak berwenang.

Jangan sampai isu yang belum tentu benar menjadi alasan bagi kita untuk saling menyerang, apalagi para anggota Lsm Dec tersebut mayoritasnya adalah masyarakat Aceh sendiri. Jangan hanya karena informasi yang disampaikan oleh satu orang, kita jadikan dalil untuk menyerang anak bangsa sendiri. Sepanjang yang kita amati, sampai saat ini belum ada keputusan resmi terkait hubungan Lsm tersebut dengan Kristenisasi. Jangan biarkan pihak luar memainkan politik devide et impera di Aceh. 

Jangan sampai duka masa lalu kembali terulang. Sudah banyak sekali darah yang mengalir di Aceh. Tanah Aceh tidak pernah sepi dari konflik yang mengorbankan nyawa manusia. Kita tentu juga masih ingat tentang pembantaian PKI di Aceh, di mana ribuan nyawa melayang, meskipun tidak semuanya terbukti sebagai PKI.

Keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama. Mungkin saat inilah kita harus “meniru” keledai, agar tidak lagi mengulang duka masa lalu. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasian
loading...

No comments