Pemikiran Ulil Absar Abdala dan Jaringan Islam Liberal

Oleh: Khairil Miswar 

Nim: 26142251-2

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam

Foto Ulil Abshar Abdala. Sumber: www.solopos.com

A. Pengantar

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, publikasi mazhab pemikiran yang disebut ”Islam liberal” tampak digarap sistematis. Pengelolanya menamakan diri sebagai ”Jaringan Islam Liberal” (JIL). Sebelum lahirnya JIL, wacana Islam liberal telah beredar di meja-meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. 
Istilah Islam liberal pertama sekali dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku meminjam istilah itu dari Fyzee. Popularitasnya di Indonesia makin lengkap ketika Yayasan Paramadina, Jakarta, menerbitkan edisi terjemahan buku Kurzman. Akhirnya menjamurlah perbincangan seputar label baru ini. Gelora liberalisme banyak diprakarsai anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Khususnya di Jakarta, para peminat Islam liberal umumnya para mahasiswa, peneliti, atau jurnalis yang berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif Hidayatullah, atau Institut Studi Arus Informasi. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib. com, menyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya ”ekstremisme” dan ”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai oleh munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi ”Islam militan”, serta penggunaan istilah ”jihad” sebagai dalil serangan. Demokrasi, menurut Luthfi, membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis. Untuk mencegah dominasi kaum militan, Luthfi mengatakan, harus ada kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-humanis. Menurut Luthfi, ”Islam liberal datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. ”Dalam pengertian ini, Islam liberal bukanlah sesuatu yang baru yang fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19.[1]

Sebagaimana pernah ditulis GATRA, Desember 2001 Jaringan Islam Liberal mewadahi pengembangan pemikiran keislaman yang kritis, pluralis, dan membawa misi pembebasan. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tercatat sebagai sedikit pemikir muslim Indonesia yang menjadi “maskot” mazhab JIL. Konsolidasi jaringan ini dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan fundamentalisme agama.[2]

Sebenarnya, jauh sebelum Barton menulis bukunya tentang gagasan Islam Liberal di Indonesia, gagasan ini sudah dikembangkan oleh tokoh-tokoh Liberal, seperti Nurcholis, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. Kemudian pada awal millenium ketiga, sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam Indonesia memulai penyebaran gagasan Islam Liberal secara lebih terorganisir dan akhirnya mendirikan Jaringan Islam Liberal. Jaringan Islam Liberal (JIL) lahir di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta, bermula dari diskusi mahasiswa di mailinglist yang didirikan 8 maret 2001, diprakasai oleh sejumlah peneliti, anak-anak muda. JIL di bawah koordinator Ulil Abshar Abdalla tidak hanya membawa pembaruan pemikiran Islam di bidang Aqidah dan politik. Mereka juga mengusung ide-ide tentang hukum keluarga seperti perlunya perkawinan antaragama, terutama antara Muslimah dan non-Muslim. Kampanye liberalism di Indonesia telah dilakukan melalui jaringan Radio 65 H, situs Islamlib.com, dan jaringan media Jawa Pos.[3]

Dalam makalah singkat ini penulis akan membahas tentang sosok Ulil Abshar Abdala yang dikenal sebagai salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Sosok Ulil Abshar Abdala merupakan tokoh muda yang sering mengeluarkan statement-statement terkait liberalisme di Indonesia. Gagasan yang dihembuskan oleh Ulil ditanggapi secara kontroversial di Indonesia. Akibat gagasan-gagasannya yang dianggap nyeleneh tersebut, Ulil bahkan sempat divonis mati oleh beberapa komunitas muslim di Indonesia.

Alasan penulis memilih sosok Ulil Abshar Abdala dalam makalah ini, di samping sebagai tugas mata kuliah, juga disebabkan oleh “keunikan” yang dimiliki oleh tokoh tersebut – di mana ia sangat berani dan lantang menyuarakan gagasan liberal di Indonesia.

Berbagai pemikiran liberal yang digagas oleh Ulil Abshar Abdala menarik untuk dicermati, khususnya oleh mahasiswa pemikiran Islam, guna mengetahui konstruksi pemikiran yang dicetuskan oleh tokoh tersebut. Di sisi lain, liberalisme sudah menjadi semacam “wabah” yang terus berhembus dan merasuki pemikiran sebagian umat Islam di Indonesia. Pro kontra terhadap gagasan Islam liberal di Indonesia terus berlangsung hingga detik ini dan sangat sulit untuk dibendung – di mana para tokoh liberal tersebut terus mengkampanyekan berbagai ide yang kontroversial dengan maksud ingin “menghantam” pemahaman Islam ortodoks yang yang oleh JIL diklaim sebagai Islam militan yang cenderung radikal. Meskipun berbagai kecaman terus bermunculan, namun nampaknya para pengusung Islam liberal di Indonesia tidak kehabisan akal. Mereka terus berupaya mengembangkan idenya dalam berbagai forum dan media.

Oleh sebab itu, makalah ini bertujuan untuk mencoba mengulas pemikiran Islam liberal yang diusung oleh Ulil Abshar Abdala dan Jaringan Islam Liberal di Indonesia yang oleh mayoritas muslim di Indonesia dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun demikian, pembahasan tentang Ulil Abshar Abdala dan Islam liberal dalam makalah ini juga memiliki sedikit kendala, disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki. 

B. Latar Belakang Pemikiran

1. Riwayat Hidup Tokoh

Ulil Abshar Abdala dilahirkan di Pati Jawa Tengah pada 11 Januari 1967. Ia dilahirkan di lingkungan santri. Ulil Abshar Abdala sejak kecil telah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Ayah Ulil Abshar Abdala, Abdullah Rifa’i adalah pengasuh pondok pesantren Mansajul Ulum. Setelah belajar di pesantren ayahnya, Ulil Abshar Abdala melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Al-Anwar di Rembang. Ulil Abshar Abdala juga belajar di Madrasah Mathali’ul Falah di Jawa Tengah dan kuliah di Fakultas Syariah lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) dan juga sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat 9STF) Driyarka, Jakarta.[4] Ulil Abshar Abdala menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di bidang perbandingan agama di Boston, Amerika Serikat.[5]

Pada awalnya, Ulil Abshar Abdala dikenal sebagai intelektual muda NU. Namun nama Ulil Abshar Abdala menjadi perbincangan banyak orang pada saat ia mendirikan Jaringan Islam Liberal. Dalam memimpin JIL, sebagaimana disebut oleh Handrianto, Ulil Abshar Abdala sering melecehkan Islam dan dinilai mengajarkan kesesatan terhadap masyarakat. Paham liberalisme yang dianut oleh Ulil Abshar Abdala adalah produk barat dan organisasi yang dipimpinnya juga dibiayai oleh organisasi luar negeri.[6]

Dalam laporan tentang JIL di Panjimas No 07–2002 disebutkan bahwa dana JIL berasal dari Asian Foundation dan Ford Foundation serta NGO lainnya. Pendana-pendana itu tampaknya dari pihak yang berseberangan dengan Islam.[7]

Jika dicermati, berbagai gagasan yang dicetuskan oleh Ulil Abshar Abdala, nampak jelas bahwa ia telah dipengarui oleh pemikiran-pemikiran liberal yang sangat gencar dikampanyekan di dunia barat. Pemikiran liberal Ulil Abshar Abdala, sebagaimana disebut oleh sebagian pihak, merupakan kelanjutan dari pemahaman yang pernah dihembuskan oleh Nurcholis Madjid.

Dari berbagai tulisan yang ditulis sendiri oleh Ulil Abshar Abdala, khususnya di situs islamlib.com, menurut penulis, munculnya pemikiran Islam liberal dari Ulil Abshar Abdala merupakan respon terhadap berbagai kekerasan atas nama agama, baik yang terjadi di dunia Barat maupun di dunia Islam, khususnya di Indonesia. Di sisi lain, tidaknya hanya gagasan Islam liberal, Ulil Abshar Abdala nampaknya juga terpengaruh dengan paham pluralisme agama dan juga humanisme.

Ulil Abshar Abdala juga aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakat. Ulil Abshar Abdala pernah menjadi ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdatul Ulama, Jakarta. Ia juga pernah menjadi staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta. Ulil Abshar Abdala juga pernah menjabat Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat, Direktur Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal.[8]

C. Konstruksi Pemikiran

1. Pokok-pokok ajaran tokoh

Dalam tulisanya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil Abshar Abdala menyatakan bahwa Islam adalah agama sejarah. Hal ini terungkap dalam kutipan tulisan tersebut: 

Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.[9]

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Ulil Abshar Abdala memposisikan Islam sebagai agama sejarah yang terus berubah dalam perkembangan zaman. Ulil Abshar Abdala – meskipun tidak secara langsung, telah mengingkari Islam sebagai agama wahyu yang bersifat final, sebagaimana dipahami oleh mayoritas muslim. Dalam pandangan Ulil, Islam akan terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut Ulil, penafsiran Islam harus dapat memisahkan berbagai unsur yang di dalamnya. Ulil Abshar Abdala berpendapat bahwa dalam Islam terdapat kreasi budaya setempat (budaya Arab) dan juga nilai fundamental. Menurut Ulil, kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya. Dalam pandangan Ulil Abshar Abdala, sspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab tidak usah diikuti, misalnya, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot dan jubah merupakan cerminan budaya yang tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab dan bukan ajaran fundamental dari Islam itu sendiri.[10]

Menurut Ulil Abshar Abdala, yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik Islam tersebut. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.[11]

Ulil Abshar Abdala juga menyebut bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus “diamandemen” berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini. Menurut Ulil, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.[12]

Di samping itu, Ulil Abshar Abdala juga menyinggung tentang kerasulan. Menurut Ulil, Islam yang dibangun oleh Nabi di Madinah bersifat konstektual. Hal ini sebagaimana disebut oleh Ulil Abshar Abdala dalam kutipan berikut:

Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah.[13]

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa Ulil memposisikan ajaran Islam sebagai ajaran yang konstektual dan disesuaikan dengan tempat dan waktu. Ulil juga menegaskan bahwa kita tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah dan kaku, tetapi Islam itu harus diterjemahkan dalam konteks sosial dan politik.

Di sisi lain, Ulil Abshar Abdala juga menyindir formalisasi syariat Islam di Indonesia. Menurut Ulil, upaya menegakkan syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.[14] Di sini terlihat bahwa Ulil tidak menghendaki adanya formalisasi syariat Islam, sebagaimana yang telah berlaku di Aceh hari ini.

Paham Islam liberal yang dikampanyekan oleh Ulil Abshar Abdala juga tidak terlepas – dan bahkan merupakan kelanjutan dari paham sekularisme (sekularisasi). Dalam wawancara yang dilakukan oleh Maksum, Ulil Abshar Abdala menyatakan bahwa sekularisme tidak dapat dihindarkan, terutama disebabkan oleh modernisasi. Peran lembaga agama pasti semakin merosot karena adannya proses diferensiasi dan spesialisasi dalam masyarakat. Sekarang agama tidak dapat mengurusi segala hal.

Menurut Ulil, inti sekularisme adalah bahwa tidak dimungkinkannya totalitarianisme, tidak dimungkinkannya dominasi suatu bidang secara menyeluruh, misalnya agama atau negara mau mengatur segala hal. Jadi sekularisme adalah satu sistem di mana secara kelembagaan dimungkinkan terjadi diferensiasi atau pembedaan-pembedaan di segala bidang. Jadi kalau wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka seharusnya di wilayah itu saja.[15]

Menurut Ulil, sekularisme bukan berarti peran agama dalam kehidupan publik hilang sama sekali. Dengan sekularisme, agama sebagai kebudayaan, agama sebagai makna hidup atau seperangkat nilai, bisa saja mempengaruhi kehidupan publik. Hal tersebut bisa saja terjadi. Pertanyaannya sekarang ini sebenarnya adalah bukan apakah agama bisa dilihat dalam ruang publik, dipisah atau tidak, melainkan bagaimana cara melibatkan agama dalam ruang publik tersebut. Menurut Ulil, agama boleh saja dilibatkan dalam ruang publik. Tapi yang perlu dipertanyakan adalah dengan cara bagaimana agama terlibat dalam ruang publik. Apakah dengan cara tradisional? Misalnya, apakah dengan cara seorang kiai harus menjadi seorang gubernur? Atau apakah partai Islam yang mengusung syariah Islam harus berkuasa? Menurut Ulil Abshar Abdala keterlibatan agama dalam ruang publik tidak harus begitu, tapi diperlukan cara-cara yang lebih canggih bagaimana agama dapat masuk ke ruang publik.[16]

Intinya, masih menurut Ulil, dalam masa-masa kenabian dan kewahyuan itu, Tuhan diandaikan sebagi “pesona” yang sibuk terlibat dalam urusan duniawi, mulai dari mengajarkan diktum-diktum tetang benar-salah, mengintai tipu muslihat musuh-musuh para nabi yang diutus-Nya, hingga menimpakan azab yang langsung kepada manusia yang membangkang. Menurut Ulil, dalam paradigma tradisional, Tuhan itu sibuk sekali, tidak pernah lengah, tidak pernah ngantuk, seperti digambarkan dalam ayat Kursi. Menurut Ulil, gambaran Tuhan semacam itu hanyalah perlambang belaka, tapi celakanya, difahami banyak orang sebagai sesuatu yang sepenuhnya harafiah).[17]

Ulil Abshar Abdala juga menyebut masyarakat sekarang sebagai masyarakat pasca-wahyu, maksudnya sederhana: gambaran tentang Tuhan yang sibuk mengurusi segala tetek bengek urusan manusia itu sudah tidak tepat lagi. Gambaran Tuhan sebagi sejenis “Communiting God” (Tuhan yang wira-wiri dari kahyangan ke bumi dan balik lagi) juga tidak bisa lagi diterima. Salah satu warisan (yang kebetulan jelek) dari era kewahyuan itu adalah penggambaran Tuhan sebagai “instansi” yang mendektekan secara detail apa yang baik dan apa yang buruk bagi manusia: Tuhan diandaikan sebagai “Bapak” yang tahu segala-galanya. Ulil menyebut keyakinan seperti itu sebagai keyakinan para fundamentalis. Ulil memberi contoh bahwa Sony mengeluarkan suatu produk maka dia juga akan mengeluarkan manual tentang bagaimana produk itu dioprasikan; demikian pula, Allah sebagai pencipta manusia, dia lebih tahu apa yang baik dan buruk bagi mereka, dan ajaran yang diberikannya adalah yang terbaik”.[18]

Dengan mengutip dari Haidar Bagir, menurut Ulil Abshar Abdala, piranti paling penting dala era pasca kewahyuan ini adalah akal. Akal adalah Rasul “imanen” yang di-instal kedalam setiap manusia untuk memandu mereka membina kehidupan yang baik (apa yang dalam debat kesarjanaan terakhir sering diistilahkan sebagai “good life”).[19]

Dari sini, Ulil Abshar Abdala ingin mengembangkan sesuatu ide tentang hirarki sumber hukum dalam Islam dalam tatapan baru. Ulil Abshar Abdala cenderung mendudukan akal dalam posisi pertama, disusul dengan Alquran, Sunnah, kemudian Ijma’.[20] Menurut Ulil, Akal memiliki posisi penting dan bahkan lebih tinggi dari wahyu itu sendiri, karena akal-lah yang harus menerjemahkan teks-teks dalam Alquran dan Sunnah.

Di sisi lain, tidak hanya berkutat pada masalah wahyu dan Islam liberal, Ulil Abshar Abdala juga memperbincangkan tentang berbagai kekerasan yang terjadi atas nama agama. Dalam sebuah artikelnya, Ulil menulis:

Jika kita telaah sejarah dengan cermat, sebetulnya agama dan kekerasan adalah dua hal yang seringkali terjadi secara bersama-sama. Sejarah agama sarat dengan perang, pertikaian, fanatisme, persekusi atas kelompok yang dianggap berbeda, dan seterusnya. Sejarah agama bukanlah sejarah yang kemilau, tetapi buram, bahkan dalam beberapa kasus juga gelap. Meskipun tak bisa ditolak bahwa ada banyak yang kemilau dan cemerlang dalam sejarah agama. Yang ingin saya katakan adalah bahwa yang kemilau dan gelap, keduanya saling ada secara berbarengan dalam sejarah agama. Saya ingin mengatakan, ini berlaku untuk semua agama, bukan hanya Islam. Pertikaian antara Sunni dan Syiah yang melibatkan pembunuhan ribuan nyawa saat ini di berbagai kawasan dunia Islam, bukanlah kejadian sekarang saja. Sejarah konflik antara kedua sekte dalam Islam itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Bukan saja pertikaian antar Sunni-Syiah saja yang kita saksikan dalam sejarah Islam, melainkan pertikaian antara puluhan sekte di sana.[21]

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Ulil Abshar Abdala menolak segala bentuk kekerasan dalam agama. Ulil Abshar Abdala juga menuding bahwa sejarah agama sarat dengan tindak kekerasan yang diakibatkan oleh rasa fanatisme para pemeluknya.

Menurut Ulil Abshar Abdala, ada hal menarik dalam konteks kekerasan dalam agama tersebut, di mana kekerasan semacam ini mendapatkan “justifikasi” dalam Kitab Suci. Apa yang disebut sebagai “kekerasan agama” adalah gejala yang unik karena di dalamnya terdapat kaitan antara kekerasan dengan agama. Kaitan di sini bukan yang sifatnya permukaan belaka, melainkan hingga ke lapisan yang terdalam. Yakni, bahwa kaitan ini menyangkut aspek yang berkaitan dengan keyakinan. Pada kekerasan agama ada dimensi teologis dalam bentuk pembenaran kekerasan itu melalui dalil-dalil keagamaan.[22]

Ulil juga menyebut ayat-ayat yang seolah menjustifikasi kekerasan dalam Alquran sebagai “ayat yang problematis”, sebab ia memang rentan dipakai sebagai justifikasi atas sikap-sikap intoleran, dan lebih jauh lagi juga kekerasan.[23] Dari statement tersebut dapat dipahami bahwa, menurut Ulil akar kekerasan atas nama agama itu sendiri terdapat dalam kitab suci dan mendapat justifikasi dari agama.

Pokok pikiran lainnya yang dikembangkan oleh Ulil Absahar Abdala adalah terkait Hak Azasi Manusia. Ulil dikenal sebagai sosok yang “menolak” poligami dan “menghalalkan” perkawinan sesama jenis.

Terkait poligami, Ulil Abshar Abdala menyatakan bahwa perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Menurut Ulil, kita tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi Ulil, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri. Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Menurut Ulil Abshar Abdala, poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.[24]

Pemikiran “unik” lainnya yang dimunculkan oleh Ulil Abshar Abdala adalah tentang kenabian. Ulil Abshar Abdala cenderung “mempersamakan” antara gejala perdukunan dan kenabian. Menurut Ulil, perdukunan adalah gejala yang hampir menyerupai kenabian. Dengan kata lain, perdukunan dan kenabian adalah “gejala mental” yang masih satu keluarga. Itulah sebabnya, dulu Nabi pernah dituduh sebagai dukun (kahin) atau penyihir oleh masyarakat Mekkah. Menurut Ulil, tuduhan ini tak mungkin terjadi kalau tak ada kedekatan antara kedua gejala itu. Tetapi, tentu perdukunan mempunyai sifat-sifat yang secara kategoris berbeda dengan kenabian. Kenabian bersumber dari Tuhan, perdukunan dari Setan; meskipun pembuktian sesuatu berasal dari Tuhan dan yang lain berasal dari setan bukan perkara mudah.[25]

Dari pernyataan Ulil di atas, nampaknya Ulil mengisyaratkan bahwa, meskipun memiliki katagori yang berbeda, namun untuk membuktikan kenabian adalah perkara yang sangat sulit, karena gejala perdukunan dan kenabian memiliki persamaan.

Di sisi lain, memperbincangkan Ulil Abshar Abdala tentunya tidak terlepas dari Jaringan Islam Liberal, di mana Ulil sendiri adalah pendiri organisasi tersebut. Jika Nurcholis Madjid mengkampanyekan sekularisme[26] melalui diskusi-diskusi ilmiah dan masih pada tingkatan konsep, tapi Ulil Abshar Abdala dan JIL justru sudah melangkah lebih jauh menuju kepada arah praktik sekularisme (sekularisasi) dan Islam liberal di Indonesia.

JIL bermaksud mengimbangi pemikiran kelompok yang ingin menerapkan syariat Islam secara formal di Indonesia. Pertama, memperkokoh inklusivisme, dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan, Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya Islam), yang pluralis, terbuka, dan humanis. Keempat, mencegah pandangan-pandangan keagamaan yang mulitan dan pro-kekerasan agar tidak menguasai publik.[27]

Adapun landasan penafsiran yang dikembangkan oleh JIL adalah: (1) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam (2) Mengutamakan semangat religion etik, bukan makna liberal teks. (3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural (4) Memihak pada yang minoritas dan tertindas (5) Menyakini kebebasan beragama (6) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[28]

Dari paparan di atas, secara jelas dapat kita lihat bahwa Ulil Abshar Abdala dan JIL secara terang-terangan ingin menyebarkan faham liberal secara lebih luas, tidak hanya terbatas pada konsep, tetapi juga pada praktik dari ajaran itu sendiri. Penyebaran ajaran Islam liberal itu sendiri dilakukan oleh Ulil melalui berbagai organisasi dan media, baik media cetak maupun online seperti situs islamlib.com.

D. Corak Pemikiran

1. Bidang Pemikiran Tokoh

Berdasarkan ulasan singkat yang telah penulis paparkan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa Ulil Abshar Abdala adalah sosok yang sangat gencar mengkampanyekan gagasan Islam liberal, pluralis dan humanis.

Liberalisme Islam atau Islam liberal, meminjam istilah Charles Kurzman adalah gerakan pemikiran Islam yang mencoba keluar dari kungkungan tradisi dan berkeinginan menyejajarkan Islam dengan isu-isu global yang berkembang dalam dunia kontemporer. Gerakan Islam liberal sangat menghargai terhadap “modernitas”.[29]

Dapat dipahami bahwa konsep Islam liberal yang dikembangkan oleh Ulil Abshar Abdala merupakan “jiplakan” dari konsep liberalisme agama di dunia Barat, di mana dia sendiri sering mengutip pendapat tokoh-tokoh liberal di dunia Barat.

Jika dicermati, pemikiran Ulil Abshar Abdala, tidak hanya berkutat pada sekularisme, liberalisme dan pluralisme, tetapi ia juga banyak menuangkan pemikirannya terkait Hak Azasi Manusia (HAM). Sebagaimana telah kita ketahui bersama, melalui berbagai media, bahwa Ulil Abshar Abdala sangat mendukung perkawinan sesama jenis dan juga perkawinan beda agama. Ulil Abshar Abdala juga menentang berbagai bentuk kekerasan atas nama agama dan menyebut dirinya sebagai pembela minoritas.

Pemikiran Ulil Abshar Abdala tidak hanya dalam bidang fiqih (syariah) tetapi juga menyentuh bagian teologi. Dalam bagian fiqih, Ulil banyak mengkritik pendapat-pendapat ulama salaf dan juga bahkan mengkritiks teks Alquran dan Hadits yang merupakan sumber utama ajaran Islam. Dalam bidang teologi, Ulil Abshar Abdala, tidak hanya mengakui eksistensi semua agama, tapi ia juga cenderung memposisikan semua agama pada level yang sama. Menurut Ulil Abshar Abdala, semua agama mengandung kebenaran dan sama-sama akan mendapat balasan dari Allah. 

Tidak diragukan lagi bahwa Ulil Abshar Abdala dalam berbagai gagasannya telah dipengaruhi oleh paham liberalisme dan pluralisme agama. Ulil mengemukakan bahwa pada periode Nurcholis Madjid dan Gusdur, pemikiran Islam liberal menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut Ulil, generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang dihadapi oleh JIL bukan isu besar yang bersifat ideologis, tetapi isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut Ulil Abshar Abdala adalah isu yang benar-benar baru.[30]

Terkait dengan model pemikiran Ulil Abshar Abdala, menurut penulis masuk dalam lingkup model pemikiran modern yang merupakan respon terhadap pemikiran keagamaan tradisional yang cenderung memahami Islam secara literal dan harfiah. Sebaliknya, pemikiran Ulil dimaksudkan agar pemahaman Islam harus dipahami secara konstekstual dan harus dikaitkan dengan waktu dan kondisi sosial di mana Islam itu tumbuh.

Pemikiran Ulil Abshar Abdala telah membawa pengaruh terhadap pemikiran keislaman di Indonesia, khususnya di kalangan anak muda. Namun jika ditelusuri, pemikiran yang digagas oleh Ulil Abshar Abdala bukanlah hal baru, dan sudah dirintis terlebih dahulu oleh Nurcholis Madjid dan Gusdur. Bahkan pemikiran islam liberal sudah muncul di Indonesia jauh sebelumnya.

Suminto sebagaimana dikutip Agus Tina, menyebut bahwa Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Belanda. Prinsip negara sekular telah menjadi dasar pemerintah untuk bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama.[31]

Sementara itu, Benda menyatakan bahwa setelah kedatangan Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia-Belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam. Bagi Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.[32]

Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam. Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi secara sistematis, dari dalam organisasi Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia dimulai awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dengan memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai Islam No.[33]

E. Refleksi Kritis

1. Kritik terhadap pemikiran tokoh (kelebihan dan kekurangan)

Dalam bukunya, Harun Nusution, menyebut bahwa berpikir liberal bukan berarti lepas dari ajaran dasar agama, tetapi liberal dalam arti pembebasan diri dari tradisi dan penafsiran ulama masa lalu yang oleh sebagian muslim dianggap sebagai ajaran agama yang tidak boleh dirubah.[34] Dari kutipan tersebut, dapat dipahami, bahwa Nasution memaknai pemikiran liberal sebagai sebagai sebuah upaya untuk keluar dari penafsiran dan doktrin yang telah dihasilkan oleh ulama masa lalu, dengan cara melakukan interpretasi baru terhadap teks-teks syariat dan tidak terikat dengan hasil ijtihad ulama masa lalu. Dengan demikian, dalam pandangan Nasution, pemikiran liberal tidak-lah mengeluarkan seseorang dari Islam karena mereka hanya menolak hasil ijtihad di masa lalu yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak melepaskan diri dari ajaran dasar Islam, yaitu Alquran dan hadits.

Sementara itu, Shalahuddin, dalam artikelnya menyatakan bahwa, pemakaian istilah Islam liberal sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Dari sisi etimologi tidak satu pun kata Islam berkonotasi pada makna kebebasan seperti yang dijelaskan pada makna kata liberal. Sebab kebebasan dalam Islam senantiasa merujuk pada kata ikhtiar, yaitu kebebasan memilih yang berakar pada kata khair (baik). Dengan demikian, kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik, sehingga seorang muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.[35]

Jika dicermati, gagasan Islam liberal yang dicetuskan oleh Ulil memang memiliki perbedaan mendasar dengan liberalisme sebagai suatu paham yang terbebas dari ajaran-ajaran agama. Artinya, paham liberalisme sama sekali telah terbebas dari ajaran agama, sedangkan pemikiran liberal yang diusung oleh Ulil masih terikat dengan ajaran dasar agama, di mana Ulil masih mengunakan teks-teks agama, khususnya Alquran dalam pendapatnya. Hanya saja, Ulil melalui pemikiran liberalnya terlihat terlalu ekstrim dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. 

Di sisi lain, menurut penulis, pemikiran yang dikembangkan oleh Ulil Abshar Abdala dan JIL sangat berbahaya bagi Islam itu sendiri. Pendapar-pendapat yang dikemukakan oleh Ulil terlihat bertentangan dengan ajaran Islam. Pendapat Ulil tentang jilbab, perkawinan beda agama dan perkawinan sejenis jelas-jelas telah menyalahi keyakinan umum umat Islam. Demikian pula pendapatnya yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama juga bertentangan dengan Alquran dan hadits. Ayat-ayat dan hadits-hadits telah jelas menegaskan tidak sama antara orang yang beragama Islam (beriman) dengan orang non Islam (kafir) dan penegasan tentang dihapusnya agama-agama terdahulu oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Berikut ini sebagian dalilnya:

Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (QS As-Sajdah: 18). Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung (QS Al-Hasyr/ 44: 20). Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus (QS Al-Baqarah: 108). Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk (QS Al-A’raaf: 158). Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (As-Saba’: 28).

Menurut Syaikh Al-Ghazali kaum liberal adalah manusia yang telah keluar dari Islam secara nyata. Kalau memang kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di dalam rumah-rumah mereka, maka kita tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kita tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi shalat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim, pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan mereka.[36]

Meskipun pemikiran yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdala cenderung destruktif dan bahkan bisa merusak keimanan seorang muslim, namun ada sebagian pemikirannya yang bermanfaat untuk kita cermati. Penolakan Ulil terhadap kekerasan adalah salah satu sikap yang semestinya kita dukung dan kita aplikasikan, karena Islam itu sendiri tidak identik dengan kekerasan.

Pembelan Ulil Abshar Abdala terhadap HAM juga semestinya bisa kita dukung dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan norma Islam, karena Islam juga merupakan agama yang menjunjung tinggi HAM, yang hal ini telah dibuktikan oleh catatan sejarah pada saat Nabi berkhutbah di Haji Wada’ bahwa tidak ada perbedaan antara bangsa Arab dan bangsa Ajam. Yang membedakan manusia di hadapan Allah hanyalah ketaqwaan.

Berbicara tentang kontribusi Ulil Abshar Abdala di Indonesia, penulis menilai ada yang positif dan banyak pula yang negatif. Di antara kontribusi positif adalah perjuangan Ulil Abshar Abdala dalam menolak berbagai bentuk kekerasan atas nama agama. Adapun kontribusi negatif, di antaranya adalah munculnya berbagai komunitas seperti Gay dan Lesbian yang oleh oleh Ulil diklaim memiliki hak yang sama dan harus dilindungi. 

F. Kesimpulan

Ulil Abshar Abdala adalah salah seorang tokoh yang menggagas dan menyebarkan paham Islam liberal, pluralisme dan humanisme di Indonesia. Ulil Abshar Abdala meskipun tidak secara jelas menganut mazhab liberalisme dan pluralisme agama, namun sebagian besar pendapatnya justru bertentangan dengan ajaran Islam yang dipahami oleh mayoritas umat Islam. Wallahu A’lam.

G. Daftar Pustaka

Asrori S. Karni dan Mujib Rahman, Perlawanan Islam Liberal dalam Majalah Gatra

(1 Desember 2001) 

Ali Maksum, Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia Kontemporer: Telaah

Pemikiran Jaringan Islam Liberal dan Hizbut Tahrir Indonesia, dalam

Conference Proceedings AICIS XII 

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, cet. 4, Jakarta: Hujjah Press,2008

Cahyaningrum Tri Agus Tina, Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia

Tahun 2001-2005, Makalah tidak diterbitkan

Hartono Ahmad Jaiz dan Hasan Bashori, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2004

Imam Hurmain, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal,

Makalah tidak diterbitkan, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2007 

Ulil Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel diakses pada

tanggal 24 Januari 2015 

Ulil Abshar Abdala, Kenapa Terjadi Kekerasan dalam Agama, (Artikel tahun 2013), 

Ulil Abshar Abdala, Metode Pemahaman Islam Liberal, Makalah dipresentasikan

dalam Diskusi Rutin IIIT-Indonesia, 2002

Ulil Abshar Abdala, Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas, artikel

diakses pada tanggal 24 Januari 2015 

Ulil Abshar Abdala, Nabi, Dukun dan Penyair, artikel diakses pada tanggal 24

Januari 2015 

Ulil Abshar, Masa Depan Pemikiran Islam, Naskah Catatan Diskusi di Teater Utan

Kayu, 2005 

Endnote:

[1]Asrori S. Karni dan Mujib Rahman, Perlawanan Islam Liberal dalam Majalah Gatra (1 Desember 2001), hal. 29-30. 
[2]Hartono Ahmad Jaiz dan Hasan Bashori, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal. 6. 
[3]Imam Hurmain, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal, (Makalah tidak diterbitkan, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2007), hal. 2. 
[4]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, cet. 4, (Jakarta: Hujjah Press, 2008), hal. 261-262. 
[5]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hal. 263. 
[6]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hal. 262. 
[7]Hartono Ahmad Jaiz dan Hasan Bashori, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, hal. 21. 
[8]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hal. 261. 
[9]Ulil Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel diakses pada tanggal 24 Januari 2015 dari http://islamlib.com/?site=1&aid=297&cat=content&cid=11&title=menyegarkan-kembali-pemahaman-islam. 
[10]Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel. 
[11]Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel. 
[12]Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel. 
[13]Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel. 
[14]Abshar Abdala, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel. 
[15]Ali Maksum, Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia…, hal. 2348. 
[16]Ali Maksum, Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia…, hal. 2348-2349. 
[17]Ulil Abshar Abdala, Metode Pemahaman Islam Liberal, (Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Rutin IIIT-Indonesia, 2002), hal. 2. 
[18]Ulil Abshar Abdala, Metode Pemahaman Islam Liberal, hal. 2-3. 
[19]Ulil Abshar Abdala, Metode Pemahaman Islam Liberal, hal. 3. 
[20]Ulil Abshar Abdala, Metode Pemahaman Islam Liberal, hal. 4. 
[21]Ulil Abshar Abdala, Kenapa Terjadi Kekerasan dalam Agama, (Artikel tahun 2013), hal. 2. 
[22]Ulil Abshar Abdala, Kenapa Terjadi Kekerasan dalam Agama, hal. 2. 
[23]Ulil Abshar Abdala, Kenapa Terjadi Kekerasan dalam Agama, hal. 4. 
[24]Ulil Abshar Abdala, Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas, artikel diakses pada tanggal 24 Januari 2015 dari http://islamlib.com/?site=1&aid=574&cat=content&cid=11&title=poligami-monogami-dan-kontradiksi-modernitas. 
[25]Ulil Abshar Abdala, Nabi, Dukun dan Penyair, artikel diakses pada tanggal 24 Januari 2015 melalui http://islamlib.com/?site=1&aid=492&cat=content&cid=11&title=nabi-dukun-dan-penyair. 
[26]Dalam buku-bukunya Nurcholis Madjid cenderung menggunakan istilah sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme. Wallahu A’lam. 
[27]Imam Hurmain, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal, hal. 4. 
[28]Imam Hurmain, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal, hal. 4. 
[29]Ali Maksum, Diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia Kontemporer: Telaah Pemikiran Jaringan Islam Liberal dan Hizbut Tahrir Indonesia, dalam Conference Proceedings AICIS XII, hal. 2346. 
[30]Ulil Abshar, Masa Depan Pemikiran Islam, (Naskah Catatan Diskusi di Teater Utan Kayu, 2005), hal. 3. 
[31]Cahyaningrum Tri Agus Tina, Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia Tahun 2001-2005, (Makalah tidak diterbitkan), hal. 1. 
[32]Agus Tina, Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL)…, hal. 1. 
[33]Agus Tina, Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL)…, hal. 2. 
[34]Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, cet. 5, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 172. 
[35]Henri Shalahuddin, Memaknai Liberalisme, artikel diakses pada tanggal 15 Februari 2015 dari http://www.insistnet.com. 
[36]Hartono Ahmad Jaiz dan Hasan Bashori, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, hal. 44.

Tulisan ini adalah makalah penulis untuk melengkapi tugas mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia. 

Tulisan ini hanyalah kajian awal yang masih memerlukan perbaikan.

Makalah ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments