Misionaris dan “Pagar Betis”

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 17 Februari 2015

Ilustrasi Serangan Kristen. Sumber: lampuislam.blogspot.com
Beberapa waktu lalu, Serambi Mekkah kembali dihebohkan dengan penemuan buku-buku beraroma Kristiani di beberapa kabupaten di Aceh. Buku-buku yang disebarkan menggunakan Jasa Pos tersebut telah membuat banyak pihak di Aceh “naik darah”. 
Banyak pihak menduga, bahwa penyebaran buku-buku yang berisi ajaran Kristus tersebut merupakan bagian dari agenda Kristenisasi yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu. Isu Kristenisasi di Aceh juga semakin “hangat” setelah tertangkapnya pasangan suami istri yang membagikan buku-buku bernuansa Kristen kepada masyarakat di Aceh Besar. Selain itu, kemarin (03/02/15), di Bireuen juga beredar kabar tertangkapnya dua orang sales buku yang diduga merupakan bagian dari gerakan Kristenisasi.

Jika dicermati, “gerakan penyesatan” yang terjadi di Aceh dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk. Pertama, melalui agenda Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris, baik yang berasal dari para penganut Kristen, atau pun dari kalangan orang Aceh sendiri yang mungkin ditugaskan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan misi Kristen. Kedua, melalui aliran sesat, yang dilakukan oleh orang-orang luar daerah dan juga oleh masyarakat Aceh sendiri. Dengan semangat pantang menyerah, “Gerakan penyesatan” di Aceh terus berlangsung sampai saat ini.

Upaya Kristenisasi di Aceh telah berlangsung secara sporadis dalam sepuluh tahun terakhir, khususnya pasca musibah gempa dan tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Muhammad AR (2007), dalam bukunya, menceritakan bahwa ketika gempa bumi melanda Aceh Pada 26 desember 2004, semua organisasi (NGO dan LSM) dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Bahkan, tanpa visa-pun, berbagai lembaga tersebut bisa masuk ke Aceh dalam masa-masa darurat tersebut. Berbagai LSM dan NGO yang datang ke Aceh, memiliki tujuan yang bervariasi. Ada yang murni ingin membantu dengan alasan kemanusiaan, ada yang hanya ingin melihat kondisi Aceh yang hancur setelah dihantam tsunami, ada yang bertujuan mencari keluarga, dan bahkan ada yang datang ke Aceh untuk keperluan misionaris.

Dalam bukunya, Muhammad AR juga berhasil merekam beberapa bentuk upaya Kristenisasi yang dilakukan oleh beberapa NGO (LSM), khususnya pasca tsunami Aceh. Sebagaimana diketahui, bahwa pasca tsunami, khususnya pada masa rekontruksi dan rehabilitasi, Aceh menjadi tempat berlabuhnya tamu-tamu asing yang datang dari berbagai negara untuk melaksanakan misi kemanusiaan. Dari sekian tamu-tamu asing yang datang, bukan tidak mungkin, bahwa sebagian dari mereka datang ke Aceh khusus untuk membawa misi Kristenisasi. Di satu sisi, kita memang harus mengucapkan terima kasih yang amat besar kepada masyarakat internasional yang telah memberikan bantuannya untuk Aceh pada saat-saat genting tersebut. Namun di sisi lain, tentunya tidak ada yang gratis di dunia ini. Setiap ada modal yang dikeluarkan, pasti ada laba (keuntungan) yang dinanti. Terbongkarnya berbagai upaya Kristenisasi akhir-akhir ini, tentunya patut dicurigai oleh semua pihak. Bukan tidak mungkin, di sebalik rangkaian kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, ada agenda besar dari para misionaris yang tentunya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Bahaya Missionaris

Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa misionaris adalah seorang pendakwah Katolik sedangkan zending adalah pendakwah Protestan. Kata misionaris, oleh banyak pihak sering dikaitkan dengan gerakan Kristenisasi, namun dalam konteks yang lebih luas, misionaris bisa pula dilekatkan pada misi penyebaran agama selain Kristen. Dalam konteks Aceh, siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan agama tertentu kepada orang-orang yang sudah beragama, maka ia dapat disebut sebagai misionaris. Dalam hal ini, para penyebar aliran sesat (sempalan) juga masuk dalam katagori misionaris.

Keberadaan Misionaris di Aceh, jika dibiarkan, bisa berimbas kepada konflik sosial di tengah masyarakat antar pemeluk agama. Di sisi lain, pembiaran terhadap aksi missionaris dalam rentang waktu yang lama juga akan membahayakan bagi keberadaan Islam itu sendiri. Bukan tidak mungkin, Aceh yang lazim disebut dengan Serambi Mekkah dan berpenduduk mayoritas muslim – atau setidaknya ber-KTP muslim, suatu saat akan dikuasai oleh Kristen, sehingga Islam yang pernah menjadi simbol kejayaan Aceh masa lalu, akan sirna di bumi Aceh. 

Firdaus AN (1991), dalam bukunya, menyebut bahwa Nasrani merupakan agama yang sangat gencar menjalankan misinya untuk memurtadkan orang Islam dari agamanya. Firdaus menyebutkan sebuah contoh seperti yang terjadi di daerah Flores, di mana seratus tahun yang lalu mayoritas penduduknya beragama Islam, namun akibat misi Nasrani, sekarang kenyataannya menjadi terbalik. Flores yang dulunya mayoritas Islam kini menjadi mayoritas Khatolik dan Islam menjadi minoritas.

Kegigihan Kristen untuk menyebarkan agamanya, bukanlah isapan jempol semata. Sebagai muslim, tentunya kita masih ingat tragedi pemurtadan besar-besaran yang terjadi di Spanyol (Andalusia). Thomson dan ‘Ata ‘Urrahim (2004) menyebut bahwa pada awal abad ke-16, seluruh Semenanjung Iberia (Spanyol) berada di bawah kekuasaan Kristen. Setelah mereduksi kaum muslimin di Spanyol ke dalam perbudakan, Gereja Katholik Roma juga berkonsentrasi untuk menjadikan budak-budak muslim tersebut sebagai Kristen Trinitarian. Saat itu, umat Kristen di Spanyol terus melakukan usaha-usaha untuk mengeliminasi semua umat Islam yang masih mempraktikkan nilai-nilai Islam di Spanyol.

Umat Islam yang tetap tinggal di Spanyol kala itu, sebagaimana dikemukakan Hitti, banyak di antara mereka yang menjadi kripto-muslim, yaitu orang yang mengaku Kristen, tetapi secara diam-diam mempraktikkan ajaran Islam. Sebagian umat Islam yang pulang dari pesta pernikahan ala Kristen, kemudian secara diam-diam melakukan pernikahan kembali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak pula umat Islam yang mengadopsi nama Kristen sebagai nama publik, tetapi menggunakan nama Arab secara pribadi. Demikianlah sekilas gambaran “gerakan penyesatan” yang terjadi di Eropa dan juga Nusantara (Flores). Bukan tidak mungkin, kondisi ini juga akan “menghampiri” Aceh, jika aksi-aksi misionaris dibiarkan oleh penguasa.

Menyiapkan Pagar Betis

Pada prinsipnya, sesat atau murtadnya seseorang disebabkan oleh dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor utama yang ada dalam diri seseorang, sedangkan faktor eksternal merupakan sesuatu yang muncul dari luar dirinya, semisal Kristenisasi yang telah dipaparkan di atas. Dari dua faktor tersebut, penulis melihat, bahwa pengaruh faktor internal lebih kuat. Artinya, tanpa “ketahanan aqidah” dan sepinya ilmu-ilmu agama dalam diri seseorang akan mempermudah masuknya faktor kedua (eksternal). Sehebat apa pun “agresi misionaris”, tidak akan membawa pengaruh sedikit pun, jika aqidah seseorang telah dilindungi oleh “pagar betis”. Ilmu agama yang ditanamkan sejak usia dini adalah “pagar betis” yang akan menghalau para misionaris. Seseorang yang hatinya “sunyi” dengan ilmu agama, tanpa misionaris dan aliran sesat pun, ia akan “sesat” dengan sendirinya.

Sudah saatnya energi yang selama ini dihabiskan untuk mengecam dan mengutuk misionaris dan aliran sesat dialihkan untuk membuat “pagar betis” pada diri kita, anak-anak kita dan saudara-saudara kita. Hal ini jauh lebih bermanfaat dari hanya sekedar mengecam dan mengutuk, karena tanpa dikutuk pun, mereka telah terkutuk. Semoga saja Aceh tidak menjadi bulan-bulanan misionaris. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia


loading...

No comments