Bersikap Adil Terhadap Australia

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 23 Februari 2015

Foto Australia. Sumber: www.mixxoh.com
Tidak ada yang menduga bahwa ucapan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot beberapa hari lalu telah mengundang reaksi yang begitu keras, tidak hanya di Aceh, tapi hampir di seluruh pelosok Indonesia. Pernyataan Abbot yang mengungkit bantuan tsunami kepada masyarakat Aceh dalam beberapa hari terakhir telah menyita perhatian kita semua. Berbagai kecaman terhadap Abbot pun bermunculan, tidak hanya di dunia maya, tapi juga menjalar ke dunia nyata. “Mulutmu harimaumu”, mungkin adagium inilah yang pantas disematkan kepada Abbot.
Pernyataan Abbot yang bermaksud hendak “menukar” (barter) bantuan tsunami dengan pelaku narkoba tidak hanya disikapi oleh politisi dan pejabat di negeri ini, tapi statement tak etis tersebut juga telah mengusik hati masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh sebagai penerima bantuan dari Australia. Ucapan tak patut yang keluar dari mulut Abbot telah membuat “kepala” orang Aceh seperti dipukul “palu godam”. Sakit sekali. 

Bagi masyarakat Aceh, mengungkit kembali bantuan yang telah diberikan adalah hal yang terlarang, tidak hanya pada syara’, tapi ditentang pula oleh kultur orang Aceh, di mana istilah pure singke merupakan istilah yang lazim disematkan kepada orang yang suka mengungkit pemberian. Maka tidaklah mengherankan jika ada sebagian masyarakat Aceh yang melakukan aksi pengumpulan koin dengan maksud mengembalikan bantuan yang telah diberikan Australia. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan, akhirnya aksi pengumpulan koin ini juga diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang ada di berbagai daerah, seperti kata pepatah: “sakit sama mengaduh, luka sama menyiuk.”

Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, penulis mendukung penuh aksi pengumpulan koin yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Aceh. Sayangnya aksi tersebut sempat ditanggapi secara berlebihan oleh mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang menantang agar dikumpulkan dana sejumlah 13 triliun. Memang koin-koin yang telah dikumpulkan tersebut sangat jauh dari cukup dan tidak mungkin digunakan untuk membayar bantuan Australia. Namun demikian, aksi pengumpulan koin tersebut telah membuktikan bahwa masyarakat Aceh masih memiliki marwah dan pantang dihina, termasuk oleh orang yang pernah menolongnya sekalipun, semisal Australia. 

Foto Pasca Tsunami. Sumber: http://keepo.me/
Menjaga marwah adalah hal yang sangat penting, apabila marwah telah diinjak, maka harga diri sudah tidak ada lagi. Jika harga diri sudah tidak ada, maka apa artinya hidup. Menurut Buya Hamka (1982), kepada orang yang tidak punya harga diri patut dikatakan: ”takbirkanlah empat kali, alamat wafatnya. Kocong kafannya dan masukkan ke liang lahat”. Oleh karena demikian, aksi pengumpulan koin yang dilakukan oleh masyarakat Aceh saat ini janganlah dicemooh karena mereka sedang berusaha mempertahankan harga dirinya.

Jangan ghuluw

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa menjaga harga diri adalah hal penting yang harus dimiliki oleh setiap anak bangsa. Namun di sebalik itu, adab juga harus dijaga dan tidak bersikap berlebihan (ghuluw) dalam menyikapi sesuatu sehingga aksi yang kita lakukan terlihat lebay. Sebatas melakukan pengumpulan koin, menurut penulis masih terbilang wajar, dan bahkan hukumnya menjadi “wajib” bagi masyarakat Aceh dalam rangka mempertahankan harga diri. Namun penulis merasa sedikit terkejut dengan berita yang disuguhkan oleh aceh.tribunnews.com (22/02/15), bahwa korban tsunami yang tergabung dalam (GPRS) Aceh Barat menggali dua liang kubur di Suak Ujung Kalak, Meulaboh. Kononnya liang tersebut akan disiapkan untuk dua orang narapidana Australia yang akan dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia. 

Dalam pandangan penulis, aksi ini, meskipun hanya sebagai sindiran, namun perilaku ini sudah terlalu lebay alias ghuluw. Kita paham, bahwa korban tsunami adalah pihak yang paling tersakiti oleh pernyataan Tony Abbot beberapa waktu lalu. Namun demikian, hendaknya kita tidak membalas “kekurang-ajaran” Abbot dengan sikap yang dapat menyakiti hati masyararat Australia secara umum. Kita tentu ingat dengan pesan orang tua kita dulu yang terekam dalam falsafah orang Aceh: “kapungo asee dikap tanyo, bek pungo tanyo tajak kap asee”. Aksi sindiran dengan menggali kuburan, diakui atau pun tidak, telah melukai perasaan masyarakat Australia, khususnya keluarga terpidana mati. Tentu tidak-lah adil, jika pernyataan seorang Abbot kita balas dengan “menghukum” masyarakat Australia secara umum. Apa dosa masyarakat Australia terhadap kita? Pantaskah kita menimpakan dosa-dosa Abbot kepada mereka?

Bersikap Objektif

Menurut penulis, dalam menyikapi pernyataan Abbot kita harus pandai memilah dan memilih sehingga “aksi pembalasan” yang kita lakukan haruslah setimpal dan tidak terkesan berlebihan. Dalam menilai pernyataan Abbot, ada tiga aspek yang harus kita lihat. Pertama, aspek kejahatan terkait kasus narkoba yang dilakukan oleh warga Australia. Dalam hal ini, setiap kejahatan memang harus dihukum, siapa pun pelakunya. Kita akui, bahwa narkoba itu satu kejahatan, tapi, biarlah persoalan penegakan hukum menjadi ranah pemerintah Indonesia dan tidak perlu disikapi oleh masyarakat Aceh. Biarlah itu menjadi urusan Australia dengan Indonesia.

Kedua, aspek politik, di mana Abbot sebagai perdana menteri telah melakukan berbagai upaya untuk melobi pemerintah Indonesia agar membatalkan hukuman bagi warganya, termasuk dengan pertimbangan bantuan tsunami. Hal serupa tentunya juga pernah dan akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika ada WNI yang akan dihukum mati di luar negeri, semisal Malaysia dan Arab Saudi. Terkait aspek politik ini, biarlah itu menjadi urusan antar negara, dalam hal ini Indonesia dan Australia. Masyarakat Aceh tak perlu masuk ke ranah ini.

Ketiga, aspek pelecehan terhadap Aceh yang dilakukan oleh Abbot dengan mengungkit bantuan tsunami. Menurut penulis, hanya aspek inilah yang harus disikapi oleh masyarakat Aceh. Namun demikian, patut pula dipahami bahwa aspek terakhir ini merupakan tindakan seorang Abbot. Kita tidak mempunyai cukup bukti bahwa pernyataan Abbot tersebut memiliki hubungan langsung dengan masyarakat Australia. Kita tentunya tidak bisa menyimpulkan bahwa pernyataan Abbot tersebut merupakan representasi dari masyarakat Australia. Sampai saat ini, kita tidak melihat bahwa masyarakat Australia “mengamini” pernyataan Abbot tersebut, dan bahkan berkembang informasi bahwa Abbot justru dikecam oleh warga negara Australia.

Mengutuk tindakan Abbot adalah “wajib”, tapi melukai perasaan masyarakat Australia adalah “haram”. Diakui atau pun tidak, ketika Aceh sedang sekarat – meskipun tak diminta, tapi masyarakat Australia telah “ikhlas” mengulurkan tangan kepada kita sebagai bentuk kepedulian kepada sesama manusia. Tentunya ukhuwah basyariah ini harus tetap kita jaga. Dengan bahasa lain yang lebih “ekstrim”, seandainya saat itu Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah negara dan bukan bagian dari Indonesia, tentunya mereka akan tetap membantu. Bantuan mereka kepada Aceh, bukan disebabkan karena Aceh bagian dari Indonesia, tapi murni karena rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu sudah sewajarnyalah kita tidak melukai perasaan mereka.

Aksi mengumpulkan koin sudah cukup bagi kita untuk mempertahankan harga diri yang telah dilecehkan oleh Abbot. Yang diungkit oleh Abbot adalah bantuan, maka wajar pula jika kita menggertak untuk mengembalikan bantuan tersebut. Tapi, tindakan menggali kuburan sebagaimana terjadi di Meulaboh, bukanlah tindakan yang bijak. Abbot bisa saja tertawa melihat tingkah kita menggali kuburan, tapi yakinlah, masyarakat Australia, khususnya keluarga terpidana mati justru akan merasa sedih, dan bahkan menangis. Jika pun kita tak sanggup memberi susu kepada masyarakat Australia, janganlah kita beri tuba. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia


loading...

No comments