Aceh Menulis

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 08 Februari 2015 


Khairil Miswar (Foto 2013)
Pada masa lampau (masa kerajaan), Aceh telah melahirkan banyak penulis. Di antara yang terkenal adalah Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, Syaikh Abdurrauf As-Singkili dan Syaikh Hamzah Fansuri. Nama yang disebut terakhir, bahkan telah berhasil mengangkat derajat sastra Melayu di mata dunia. Namun sayangnya, karya-karya Hamzah Fansuri telah langka di Aceh akibat terjadi “pemusnahan” besar-besaran pada masa Nuruddin Ar-Raniry. 
Ada beragam corak penulis Aceh di masa lalu. Ada penulis yang fokus melahirkan karya di bidang agama meliputi Tauhid, Fiqih dan Tashawuf. Ada juga penulis yang melahirkan karya di bidang sastra. Ada pula penulis yang mengkombinasikan keduanya, agama dan sastra. Hamzah Fansuri – terlepas dari klaim “sesat” faham Wahdatul Wujud, dia adalah salah seorang tokoh yang berhasil menyampaikan pesan-pesan agama melalui karya sastra. 

Tidak hanya di masa kerajaan, dunia kepenulisan di Aceh juga nampak subur di era pra dan pasca kemerdekaan RI. Di antara penulis yang eksis pada pra dan pasca kemerdekaan adalah Prof Ali Hasyimi – mantan Gubernur Aceh dan juga mantan Ketua MUI Aceh. Karya tulis Hasyimi tidak hanya bertema politik dan sejarah, tetapi dia juga melahirkan beberapa karya sastra. Pasca kemerdekaan, selain Hasyimi, juga muncul penulis lain, di antaranya Prof Aboebakar Atjeh, Prof Hasbi Ash-Shiddiqiey, Teuku Ibrahim Alfian dan sederetan penulis lainnya. Prof Aboebakar Atjeh banyak menulis karya di bidang pemikiran dalam Islam dan perbandingan mazhab. Adapun Hasbi Ash-Shiddiqiey banyak melahirkan karya tulis di bidang hukum Islam (fiqh), sedangkan Teuku Ibrahim Alfian lebih fokus menghasilkan karya di bidang sejarah. Selain nama-nama yang telah saya sebutkan di atas, di era awal-awal kemerdekaan, masih banyak penulis lainnya, seperti M. Nur El Ibrahimy, A.K Jakobi, dll. 

Pada masa orde baru dan reformasi, di Aceh juga banyak bermunculan penulis, baik di bidang sastra maupun di lingkungan akademik. Di antara penulis yang berasal dari lingkungan akademik, sebut saja Prof. Hasbi Amiruddin yang banyak menulis tentang pendidikan dan perkembangan dayah di Aceh dan Prof Farid Wajdi Ibrahim yang fokus menulis di bidang sejarah dan pemikiran dalam Islam. Selain itu, terkenal pula nama Rusdi Sufi dan Zakaria Ahmad yang banyak melahirkan karya tulis tentang sejarah Aceh. Di bidang sastra terkenal nama LK Ara yang banyak menulis syair (puisi). 

Pasca tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004, dunia kepenulisan di Aceh semakin marak dengan bermunculannya penulis-penulis baru yang hampir tak terhitung jumlahnya. Di antara penulis-penulis muda yang mulai menunjukkan “taringnya” adalah; Kamaruzzaman Bustamam Ahmad; Munawar A. Djalil; Amrizal J. Prang; Barlian AW; Teuku Kemal Fasya; Sulaiman Tripa dan Taufik Al-Mubarak. Dalam dunia sastra juga banyak lahir penulis-penulis muda berbakat, di antaranya: Musmarwan Abdullah; Thayeb Loh Angen, Ayi Jufridar dan Herman RN. Selain nama-nama yang telah penulis sebutkan di atas, di Aceh juga masih ramai penulis-penulis lain yang tentunya akan menghabiskan banyak halaman jika disebut satu persatu. Dari sekian banyak penulis “remaja” yang sedang “unjuk gigi”, di antaranya: Affan Ramli, Teuku Zulkhairi, Asmaul Husna, Bisma Yadhi Putra, Yusuf Al-Qardhawi Al-Asyi dan sederetan nama lainnya. 

Bagi penulis Aceh lainnya yang tidak tersebut namanya dalam tulisan ini jangan “berkecil hati”, karena tulisan ini hanyalah cuplikan singkat tentang dunia kepenulisan di Aceh dari masa ke masa, bukan ensiklopedi yang mampu menampung semua nama. Bisa jadi, di antara nama yang tidak disebut dalam tulisan ini adalah penulis-penulis besar di Aceh. 

Biasakan untuk Menulis 

Secara pribadi, saya (Khairil Miswar) sebenarnya masih “geli” untuk menyebut diri sebagai penulis. Dalam dunia kepenulisan di Aceh, saya hanyalah anak kecil yang baru belajar merangkak dan belum mampu berdiri tegak layaknya penulis-penulis hebat di Aceh, semisal Teuku Kemal Fasya dan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Dalam hal kepenulisan, saya bahkan masih “gugup” berhadapan dengan penulis muda semisal Taufik Al-Mubarak – meskipun dari segi usia dan pendidikan saya seangkatan dengan bung Taufik Al-Mubarak – dan bahkan terkait Aceh, kami memiliki idiologi yang serumpun dan sama-sama pernah aktif dalam pergerakan mahasiswa, khususnya di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Tapi dalam hal kepenulisan, saya harus “angkat tabek” kepada Taufik Al-Mubarak. 

Khairil Miswar: Foto 2014
Di sisi lain, secara kuantitas, tulisan saya masih sangat sedikit dan bahkan ter-hijab oleh lebatnya “belantara” kepenulisan. Secara kualitas, tulisan saya juga belum memenuhi standar akademis dan masih bersifat coba-coba – untuk tidak menyebut main-main. Namun demikian, tidak ada yang bisa menghalangi saya untuk menulis apa pun. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang dapat “menghalangi” saya untuk menulis. Bagi saya, syariat Allah yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya adalah rambu-rambu yang harus saya patuhi, sehingga dengan segenap tenaga, saya menjaga agar tulisan saya tidak keluar dari rambu-rambu tersebut. 

Agar dunia kepenulisan di Aceh bisa kembali berjaya, saya mengajak rekan-rekan di Aceh, untuk membiasakan diri untuk menulis. Mari menulis apa saja. Kuantitas dan kualitas adalah persoalan nanti. Jika sekiranya tulisan kita mengandung kesalahan, tak perlu risau, karena akan ada penulis-penulis lain yang akan membetuli kesilapan kita tersebut. Jika pun tidak ada yang membetuli, pada saat kita menyadari telah melakukan kesalahan dalam satu tulisan, kita sendiri bisa memperbaiki kesalahan itu melalui tulisan lain. Mencabut pendapat lama untuk beralih kepada pendapat baru yang lebih kuat, bukanlah aib. Dalam agama pun di kenal istilah nasikh dan mansukh. Bahkan Imam besar kaum muslimin, Asy-Syafi’i dikenal memiliki pendapat qadim dan jadid. Jika tulisan kita kurang tepat, jangan pula gundah, karena tulisan yang kurang tepat tersebut justru akan memberi motivasi kepada penulis lain untuk meluruskan goresan-goresan pena kita yang terkadang bengkok. Namun demikian, jangan pula dengan sengaja kita menggunakan “pena” untuk “menyesatkan” orang lain. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments