Untuk Siapa si Bintang Bulan?


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 07 April 2013

Bendera Bintang Bulan. Sumber: m.detik.com
Dalam MoU Helsinky yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinky Finlandia pada 15 Agustus 2005, disebutkan dalam poin 1.1.5 bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. Poin ini kemudian diterjemahkan kembali dalam UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang termaktub dalam Bab XXXVI pasal 246 poin 2 yang berbunyi; “Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”. Selanjutnya di poin ke 3 pasal tersebut ditambahkan bahwa “Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh”. 

Ketukan palu Hasbi Abdullah Pukul 22:15 WIB, Jum’at (22/03/2013) menandakan disahkannya bendera dan lambang Aceh sebagaimana hal tersebut telah diamanahkan oleh MoU Helsinky delapan tahun lalu. Ketukan palu Hasbi Abdullah beberapa hari lalu tersebut telah menghasilkan Qanun No. 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Numun ironisnya desain bendera Aceh yang telah disahkan oleh DPRA tersebut menurut Safaruddin (direktur YARA) adalah bertentangan dengan PP No. 7 Tahun 2007 (AtjehLink.com, 27/03/13). Dalam PP tersebut, pada bab VI tentang Desain Lambang Daerah pasal 6 poin 4 disebutkan bahwa “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/ gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 

Sudah menjadi kelaziman, bahwa setiap keputusan pemerintah, khususnya terkait perundang-undangan maupun produk hukum selalu saja ditanggapi secara pro-kontra oleh masyarakat. Fenomena ini juga terlihat di Aceh pasca pengesahan lambang dan bendera yang dilakukan oleh DPRA beberapa hari lalu. Wilayah Aceh Utara yang merupakan basis kuat Gerakan Aceh Merdeka dengan sontak mengibarkan bendera Bintang Bulan sebagai wujud kegembiraan mereka tanpa butuh intruksi dari siapapun. Meski qanun tersebut baru saja disahkan dan belum masuk lembaran daerah, namun si Bintang Bulan telah berkibar di udara.

Sementara itu orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Gayo Merdeka justru menolak kehadiran bendera dan lambang yang disahkan oleh DPRA tersebut. Menurut Gayo Merdeka, bendera dan lambang tersebut dapat mengundang perpecahan di Aceh.

Selain dua pihak di atas; yang menolak dan menerima keputusan DPRA tentu ada satu pihak lagi yang berada di posisi netral dalam menyikapi pengesahan bendera dan lambang Aceh tersebut. Mereka tidak menolak dan tidak pula menerima. Penulis memiliki asumsi bahwa pihak yang berada di posisi netral ini lebih banyak jika dibanding dengan pihak yang menerima dan juga pihak yang menolak. 

Masyarakat Aceh yang ketika konfilik Aceh berkecamuk pernah menaruh simpati besar kepada GAM tentu dengan semangat 45 akan merayakan kegembiraan mereka dengan disahkannya si Bintang Bulan menjadi bendera Aceh. Bagi masyarakat yang pro kepada GAM, si Bintang Bulan tak ubah layaknya “Isabella” yang kembali ke singgasana setelah sekian lama cinta terhalang, rasa haru biru tercermin jelas di wajah mereka menyambut desah nafas “Isabella”. Siapa yang tak gembira, setelah puluhan tahun bendera tersebut bergerilya bersama dentuman bedil dan ancaman aparat akhirnya dengan ketukan palu Hasbi Abdullah bendera tersebu sah menjadi bendera Aceh.

Namun dipihak lain, ada sebagian kecil alias segelintir masyarakat Aceh yang hati dan jasad mereka terluka ketika melihat si Bintang Bulan berkibar di langit Aceh. Mungkin ayah atau emak mereka menjadi korban ketika konflik melanda Aceh. Mungkin pula adik atau abang mereka tertembus peluru akibat fitnah atau mungkin juga karena ketidakberpihakan mereka kepada perjuangan ketika itu. Penulis tidak bermaksud mengguris luka lama, namun ini adalah fakta yang tidak bisa kita ingkari. Ketidaksenangan mereka terhadap si Bintang Bulan adalah hal yang wajar-wajar saja dan mesti kita sikapi dengan bijak.

Selanjutnya mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, untuk siapa bendera itu? Orang-orang yang cinta kepada si Bintang Bulan tentu akan menyatakan bahwa bendera tersebut adalah bendera perjuangan dan merupakan amanah MoU Helsinky. Sedangkan bagi pihak yang enggan (kurang sepakat) dengan si Bintang Bulan mungkin akan menjawab bahwa bendera tersebut tidak bermakna apa-apa bagi mereka dan bahkan dapat memecah persatuan rakyat Aceh. Di samping itu pihak yang berada pada posisi netral mungkin akan terlihat santai saja sambil mengedip-ngedipkan mata tanpa jawaban pasti. 

Penulis kurang tertarik untuk membahas pihak yang pro dan juga pihak yang kontra terhadap pengesahan bendera tersebut. Biarkan mereka yang pro bereforia dan melampiaskan kegemberiaan mereka. Demikian pula pihak yang menolak, biarkan mereka dengan segenap daya dan upaya mereka menolak ataupun menentang keputusan DPRA tersebut karena mereka memiliki hak untuk itu.

Dalam tulisan ini penulis ingin menjenguk mereka (baca: rakyat) yang bersikap netral terhadap Qanun Bendera tersebut. Kenapa mereka bersikap netral? Menurut penulis, kenetralan mereka dalam menyikapi qanun lambang dan bendera tersebut disebabkan karena mereka memiliki agenda lain yang penting ketimbang mengomentari kehadiran si Bintang Bulan. Mungkin mereka (baca: rakyat) beranggapan bahwa si Bintang Bulan tidak dapat mendatangkan manfaat apapun bagi mereka sehingga mereka tidak tertarik untuk bereforia menyambut kemunculan si Bintang Bulan. Di sisi lain mereka juga mungkin beranggapan bahwa si Bintang Bulan juga tidak akan pernah mampu mendatangkan mudharat (bahaya) bagi mereka, sehingga sangat tidak penting bagi mereka untuk menolak kehadiran bendera tersebut.

Menurut penulis jika ditinjau dari konteks kekinian, mereka (rakyat) tidak butuh si Bintang Bulan, apalagi si Buraq Singa. Yang mereka (rakyat) harapkan hari ini adalah setumpuk ikan asin untuk mereka santap di malam hari setelah mereka lelah bekerja mengumpulkan kaleng bekas dan menggali parit. Yang mereka nanti hari ini adalah selembar seng bekas atau setangkai “oen meuriya” untuk menambal atap gubuk mereka yang telah berlubang sehingga air hujan dengan mudah masuk dan hinggap di hidung mereka ketika hujan menderas. Yang rakyat butuhkan hari ini adalah beberapa lembar uang kertas warna abu-abu sekedar untuk membeli vitamin buat anak-anak mereka yang kekurangan gizi. 

Sekarang kita balik bertanya kepada bapak-bapak di DPRA, untuk siapa si Bintang Bulan?

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di The Aceh Traffic
loading...

No comments