SYARIAT ISLAM VS SEKULARISME


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen,  12 Februari 2011

Secara etimologi sekularisme berasal dari kata eculum (bahasa latin), mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan lokasi: waktu menunjukan kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan waktu menunjuk kepada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’.(Syed Naquib Al Attas ; Islam dan Sekularisme)

Sekularisme juga memiliki arti memisahkan peran agama dari kehidupan yang berarti agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja (Taqiyuddin An-Nabhani ; Peraturan Hidup dalam Islam). 

Secara konsep tradisional, jelas pemikiran sekular ini tidak akan diterima, sebab terlihat ada upaya untuk menjauhkan nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Meskipun demikian, kita mengenal beberapa tokoh pemikir Islam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan sekularisme. Mereka adalah Thaha Husain, Salamah Musa, Fuad Zakariya, Farag Fawdah, Nashr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya. (www.anneahira.com )

Mengawali pembahasannya tentang sekularisme, Budhy Munawar-Rahman sebagai penulis sekaligus editor dari bunga rampai pemikiran para tokoh Islam Progresif mengutip pendapat beberapa pakar tentang sekularisme, di antaranya George Holyoake, seorang penulis Inggris yang pertama kali menggunakan istilah sekularisme pada tahun 1846. Menurut Holyoake, “Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion or supranaturalism; sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supranaturalisme (Pemikiran Islam.net). 

Dari beberapa kutipan diatas dapat kita fahami bahwa sekularisme sangat bertentangan dengan syariat Islam yang diwahyukan kepada Nabi yang mulia Muhammad Saw. Konsep sekularisme jelas bersebrangan dengan nash-nash dari Al-Quran dan hadits yang menjadi pegangan umat Islam. Sekularisme memaksa kita untuk memisahkan antara nilai-nilai agama dengan nilai – nilai kehidupan duniawi. 

Ketika Adat didahulukan

Adat istiadat merupakan warisan nenek moyang yang dianggap sebagai indentitas dari sebuah suku atau daerah. Kadang-kadang adat istiadat sering menjadi aturan baku yang enggan ditinggalkan meskipun tak jarang bertentangan dengan agama. Dalam tulisan singkat ini saya tidak bermaksud menyalahkan adat istiadat yang usianya mungkin sudah ribuan tahun. Saya Cuma ingin mengupas sedikit tentang beberapa tradisi adat yang menurut saya bertentangan dengan semangat penerapan syariat Islam di Aceh. Saya tidak ingin memperluas pembahasan ini sehingga nantinya kita akan berbenturan dengan persoalan khilafiyah. Saya akan mengkhususkan pembahasan ini seputar permasalahan yang berhubungan dengan penerapan syariat Islam yang setiap saat hangat dibincangkan oleh setiap level masyarakat Aceh. Berikut ini saya akan mengupas beberapa tradisi adat Aceh yang menurut saya kurang sesuai dengan syariat Islam diantaranya : Pertama, Adat intat dara baro dan preh linto ; hampir setiap resepsi perkawinan yang pernah saya temui saya melihat umumnya dara baro (pengantin wanita) tidak menggunakan jilbab alias penutup kepala. Apakah ini tidak bertentangan dengan Syariat Islam? Bagaimana kita bisa berharap kalau anak yang nantinya dilahirkan oleh calon ibu tersebut (dara baro) akan menjadi anak yang taat dan faham akan Islam sedangkan jauh sebelum ia dilahirkan ibunya kurang mengindahkan aturan-aturan Islam khususnya pada saat resepsi intat dara baroe yang merupakan langkah awal untuk menjadi seorang ibu. Kita boleh saja berdalih untuk melakukan pembenaran dengan alasan apapun, tetapi kita juga harus faham bahwa adat yang bertentangan dengan Islam harus ditinggalkan jika hendak melaksanakan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh. Kedua, adat duek sandeng ateuh peulamin ( bersanding di atas pelamin ) yang disaksikan oleh para keluarga dan juga masyarakat. Menurut hemat saya sebenarnya tradisi ini jika ditinjau dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits juga bertentangan dengan Islam. Allah Swt dan Rasulnya Saw memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangannya bukan sebaliknya malah menjadi tontonan orang banyak yang belum pasti mereka yang menonton adalah mahramnya. Menurut saya dua contoh diatas bisa menjadi i`tibar bagi kita semua apabila kita mau mengedepan agama dari pada adat istiadat yang hanya didorong oleh hawa nafsu. 

Sekularisme dalam Pendidikan 

Untuk melahirkan manusia yang faham agama mestinya dimulai sejak usia dini sehingga ketika mereka beranjak dewasa agama sudah melekat dalam jiwa mereka. Namun sayangnya pendidikan di Aceh belum menunjukkan adanya usaha kearah tersebut. Saya sempat beberapa kali menyaksikan kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh lembaga pendidikan khususnya Taman kanak – kanak, SMP dan SMA. 

Pada awal tahun 2011 kemarin tepatnya pada tanggal 02 Januari 2011 di Kabupaten Bireuen dilaksanakan acara pemilihan agam dan inoeng Aceh yang berlangsung di Cafe Bengkupi. Menurut informasi acara ini dimotori oleh LINA (Liga Ineng Aceh), sebuah lembaga yang katanya bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Dalam acara tersebut saya banyak melihat pemandangan yang mengabaikan aturan-aturan Islam, adab dan nilai – nilai keAcehan, meskipun mereka berdalih acara ini sebagai ajang melestarikan budaya Aceh. Namun pada kenyataannya tidak satu lembaran sejarahpun yang menyatakan bahwa pemilihan Agam dan Inong Aceh adalah budaya Aceh. Jika dikatakan acara ini sebagai kreatifitas anak bangsa saya kira ini adalah kreatifitas yang sulit dimengerti. 

Acara ini juga turut dihadiri oleh Bupati Bireuen, Bapak Nurdin Abdul Rahman dan Bapak Ir. Lazuardi yang katanya tokoh peduli perempuan. Saya bukannya ingin menentang emansipasi ataupun kesamaan gender, tetapi aturan agama dan etika keAcehan jangan ditinggal begitu saja dan mengadopsi pikiran-pikiran sekuler.

Di Acara Pemilihan Agam dan Inoeng Aceh tersebut saya juga menyaksikan gadis-gadis belia melenggak-lenggok di atas panggung dengan memakai topi ( tanpa jilbab ) dan memakai baju kaos, apa ini tidak melanggar syariat Islam. Inikah yang dinamakan emansipasi? Anehnya ketika ada pelaku mesum, ataupun pemain judi yang melakukan aktivitasnya di tempat-tempat terpencil dan jauh dari keramaian dengan cepat dan sigap masyarakat dan WH melakukan penyergapan dan tidak jarang pelakunya dipukuli dan akhirnya dikenakan hukuman cambuk, sedangkan maksiat yang dilakukan terang-terangan dibiarkan begitu saja seolah-olah tidak melanggar syariat. Sungguh tidak adil.

Fenomena lain yang sempat saya temui adalah acara perlombaan anak-anak TK yang juga diselenggarakan oleh LINA pada tanggal 13 s/d 14 Februari 2011 di Bengkupi. Di acara tersebut juga diisi dengan adegan-adegan yang tidak Islami seperti acara joget dengan di iringi musik disco yang melibatkan siswa TK. Jika memang kita sepakat dengan penerapan syariat Islam seharusnya anak-anak usia dini seperti siswa TK di didik dengan pendidikan yang Islami karena suatu saat siswa TK tersebut akan tumbuh dewasa. Sangat ironis ketika mereka masih kanak-kanak di di didik dengan budaya ala barat, kemudian ketika mereka dewasa dipaksa melaksanakan syariat Islam. Sungguh han ek ta khem (tak sanggup tertawa). Bagimana hendak menerapkan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh yang katanya Serambi Mekkah jika metode pendidikan mengadopsi ajaran sekuler. Bukan tidak mungkin suatu saat Aceh akan berupah status menjadi Serambi Maksiat. Wallahu`a`lam.

Artikel ini  sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments