Syari’at Apa Ta’ak


Oleh: Khairil Miswar 


Bireuen, 27 Mei 2013

“Aceh Nanggro Islam, Aceh Tanoh Aulia, Aceh Tanoh Syuhada, rame that ulama di Aceh, Aceh nyoe Tanoh Keuramat, Aceh Serambi Mekkah dithei ban sigom donya.” Begitulah sebagian sanjungan yang akan keluar dari bibir orang Aceh ketika mereka membicarakan Aceh, khususnya ketika mereka berhadapan dengan orang-orang di luar Aceh. 

Jika kita mendengar celotehan mereka tentang Aceh, maka langsung terbayang di pikiran kita bahwa Aceh adalah sebuah negeri yang paling bersyariat di Nusantara, dan bahkan ada yang beranggapan bahwa Islam di Aceh lebih kuat jika dibanding dengan Arab Saudi yang oleh sebagian masyarakat Aceh diyakini sebagai Markas Besar (Mabes) Wahabi.

Pertanyaannya sekarang, benarkah seperti itu? Benarkah Aceh “Tanoh Aulia”? Jika benar demikian, lantas mengapa sampai sekarang perempuan di Aceh masih saja doyan dengan pakaian tipis plus ketat dan memamerkan aurat? Demikian pula dengan sebagian apa Agam (laki-laki) di Aceh, kenapa mereka masih hobi dengan celana pendek sambil memamerkan bulu pahanya yang keriting itu? Pernahkah para aulia mengajarkan model berpakaian seperti itu?

Benarkah Aceh “Nanggro Islam”? Jika benar, kenapa sampai sekarang masih banyak mesjid yang kosong dan sepi dengan jama’ah? Mesjid di Aceh selalu saja kalah saing dengan warkop, kenapa hal ini bisa terjadi? Beginikah corak “Nanggro Islam” yang diagung-agungkan oleh sebagian orang Aceh?

Benarkah di Aceh ramai Ulama? Jika benar, lantas kenapa sampai sekarang acara hiburan yang diisi oleh artis ibu kota masih ramai pengunjung? Laki-laki dan perempuan bercampur-baur berdesak-desakan menonton aksi para artis tersebut. Dimana ulama? Apa mereka (para ulama) tidak tahu kalau kegiatan tersebut melanggar syari’at? Jika mereka tahu, lantas kenapa mereka tidak mencegahnya?

Benarkah Aceh Serambi Mekkah? Jika benar, lantas kenapa para artis kita semisal Yusniar bisa berakting di depan kamera tanpa jilbab? Kemana Pak WH, kenapa jika ada perempuan kampung pedagang sayur yang tidak berjilbab ditangkap, sedangkan artis dan penyanyi Aceh bisa enjoy-enjoy saja melenggak-lenggok pinggul di depan kamera yang kemudian di CDkan dan ditonton oleh khalayak ramai? Kenapa Pak WH tidak merazia para artis Aceh yang seksi itu? Atau mungkin Pak WH juga ikut Syur melihat lenggok pinggul mereka yang bahenol?

Ambigu

Dalam pandangan penulis, sebagian masyarakat Aceh bersikap ambigu (mendua) dalam memandang Syariat Islam. Di satu sisi mereka terus meneriakkan yel-yel Syariat Islam, tapi di sisi yang lain mereka justru mencabik-cabik Syariat dengan tingkah dan perilaku mereka yang tidak sesuai dengan ruh Syariat Islam.

Masyarakat kita kadang-kadang merasa kesal melihat gadis-gadis Aceh yang berkonvoi di jalan raya dengan setelan pakaian ketat, kadang mereka berujar “bit-bit hana male dara nyan”. Tapi anehnya, sebagian orang tua di Aceh justru setiap saat membeli pakaian ketat untuk gadis kecilnya, dan bahkan ada sebagian orang tua yang justru membuat pabrik pakaian ketat dirumahnya. Mereka beralasan bahwa “anak kecil tidak apa-apa pakai pakaian ketat, nanti kalau sudah dewasa, dia tidak mungkin pakai lagi”. Percaya ataupun tidak, keyakinan seperti ini ada di sebagian benak orang Aceh.

Di satu sisi sebagian guru kita dengan gigih mengajarkan agama kepada murid dan siswanya dengan harapan nilai mereka dalam pelajaran agama bisa tinggi. Namun di sisi lain, guru kesenian malah mengajarkan tarian kepada para siswi, bahkan di sebagian tempat penulis pernah menyaksikan siswi SMA diajarkan bergoyang dengan pakaian ketat dan tanpa jilbab dan bahkan ditonton oleh para pengguna jalan raya. 

Kemudian, ketika perayaan 17 Agustus, kita semua bisa menyaksikan sendiri para siswi yang tergabung dalam group Drum Band melenggak-lenggok di jalan raya. Meskipun sebagian mereka menggunakan jilbab, namun pakaiannya asal-asalan dan membungkus aurat.

Di samping itu, ketika ada aliran sesat, masyarakat kita dengan semangat menyala-nyala bergerak layaknya pasukan SWAT dan melakukan penggrebekan terhadap tempat-tempat yang disiyalir sebagai markas aliran sesat, sampai di sana mereka tidak segan-segan melakukan eksekusi terhadap para tertuduh sesat, meskipun belum ada bukti yang meyakinkan. Ragam eksekusipun diterapkan, mulai dari pemukulan, perusakan, pembunuhan dan bahkan pembakaran terhadap para tertuduh sesat. Padahal jika kita teliti secara jujur, sebagian dari “pasukan pemburu aliran sesat” tersebut justru tidak pernah shalat dan bahkan mungkin ada yang sama sekali belum pernah belajar shalat seumur hidupnya.

Demikianlah sekelumit fenomena yang terjadi di Aceh, mereka begitu bersemangat meneriakkan yel-yel Syariat Islam, namun mereka tidak sadar bahwa semagat dan perilaku mereka tersebut justru mencerminkan sikap “ambigu” terhadap Syariat Islam. Menyimak berbagai fenomena tersebut, maka tidak salah jika ada orang yang menyebut pelaksanaan Syariat Islam di Aceh hanya setengah hati dan lebih pantas disebut dengan “Syari’at Apa Ta’ak”. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di The Aceh Traffic dan juga pernah disalin oleh Suara Tamiang.
loading...

No comments