Siapa Ahlussunnah Waljama’ah?


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 13 Februari 2014

Sumber: abangdani.wordpress.com
Bagi umat Islam, term Ahlussunnah Waljama’ah bukanlah istilah asing dan bahkan istilah tersebut terus terucap dari mulut para da’i dalam setiap khutbahnya. Istilah tersebut tidak hanya familiar bagi tokoh-tokoh agama dan kalangan penuntut ilmu, namun juga sangat populer bagi kalangan awam. Namun demikian tidak ada salahnya jika dalam tulisan singkat ini penulis kembali mengulas tentang istilah tersebut, setidaknya untuk memperbaiki ingatan saja, sebagaima kata pepatah: “lancar kaji karena diulang”. 

Pembahasan ini menjadi penting, mengingat – meskipun istilah tersebut telah populer, namun bukan tidak mungkin sebagian dari kita hanya terjebak dalam terminologi – tanpa memahami esensi dari terminologi tersebut. Perlu penulis tegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menggurui siapa pun – apalagi menghakimi. 

Baiklah, menurut penulis beberapa baris kalimat di atas sudah cukup – sekedar sebagai pengantar alias basa-basi agar pembahasan ini tidak terkesan kaku sehingga menjadi tidak menarik untuk dibaca. Mari kita masuk dalam pembahasan. 

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah adalah sebuah pemahaman dalam beragama. Sebagaimana dicatat oleh para penulis sejarah, bahwa dalam Islam telah tumbuh dan berkembang berbagai aliran keagamaan yang berawal dari tragedi politik pasca wafatnya Khalifah ‘Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu. Pada perkembangan selanjutnya aliran-aliran bernuansa politik tersebut berevolusi (atau revolusi?) menjadi aliran theologi. Tentang sebab kemunculan aliran-aliran ini di antaranya telah pernah dibahas oleh Harun Nasution (1986) dan Muhammad Ahmad (1998) dalam buku mereka masing-masing.

Sebagaimana dicatat oleh Nasution (1986) bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljama’ah merupakan reaksi terhadap perkembangan aliran Mu’tazilah yang ketika itu sangat berpengaruh di dunia Islam. Dalam bukunya, Nasution mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Waljama’ah adalah para pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Hal senada juga diutarakan oleh Asmuni (2000) dan Sirajuddin Abbas (2008). Klaim yang dikemukakan oleh Nasution, Asmuni dan Abbas sah-sah saja jika statement tersebut bermaksud untuk memasukkan kedua aliran di atas (Asy’ariyah dan Maturidiyah) sebagai bagian dari Ahlussunnah Waljama’ah. Namun hemat penulis, jika klaim tersebut dimaksudkan sebagai “pengkhususan”, bahwa Ahlussunnah Waljama’ah hanya golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah, maka tesis ini adalah keliru.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam pernah bersabda tentang terpecahnya umat Islam dalam 73 golongan. Berdasarkan hadits tersebut – sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, dapat dipahami bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 aliran, 72 akan masuk neraka dan hanya satu aliran yang selamat alias masuk surga, yaitu Ahlussunnah Waljama’ah. Atas dasar pemahaman ini maka klaim Nasution, Asmuni dan Abbas adalah keliru dan bertentangan dengan fakta sejarah. Seandainya klaim tersebut “dipaksakan untuk benar”, maka konsekwensinya kita telah menuduh orang-orang sebelum kemunculan Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai golongan di luar Ahlussunnah Waljama’ah – disebabkan mereka bukanlah pengikut Asy’ariyah ataupun Maturidiyah. Timbul pertanyaan, apa mungkin para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para Imam Mazhab bukan Ahlussunnah Waljama’ah karena mereka hidup jauh sebelum munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah? Jika kita sepakat dengan konsep yang dikemukakan Nasution, Asmuni dan Abbas, maka terpaksa kita katakan “ya”. Lantas apa benar demikian?

Berpijak kepada penjelasan yang telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam dalam hadits, dari 73 golongan yang selamat hanya satu golongan yaitu “Al-Jama’ah”. Saat para shahabat bertanya kepada Nabi, siapa ”Al-Jama’ah”, Nabi menjawab “ma ana ‘alaihi wa ashabi”. Jawaban Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita semua bahwa Ahlussunnah Waljama’ah adalah orang-orang yang secara konsisten berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits serta mengikuti pemahaman agama sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam dan para shahabatnya Radhiallahu 'Anhum. Teori ini juga dikuatkan dengan sebuah hadits dari Al-Irbadh bin Sariyah, di mana dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berwasiat kepada para shahabat agar berpegang teguh dengan sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wassallam dan sunnah para Khulafaurrasyidin. Dengan demikian “pengkhususan” Ahlussunnah Waljama’ah hanya kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi terbantahkan dari segi dalil. 

Di samping itu sebagaimana telah dicatat oleh para ahli sejarah bahwa ketika Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dari Daulah Abbasiyah berkuasa, mereka dengan tegas memaksakan Mazhab Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagaimana diriwayatkan oleh ahli Tarikh Islam, bahwa ketika seluruh kaum muslimin meskipun dengan terpaksa telah terpengaruh dengan Mazhab Mu’tazilah dan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dalam kondisi yang serba genting tersebut cuma tinggal dua orang ulama yang tetap bersikukuh bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan sahabatnya Muhammad bin Nuh yang tetap ber’aqidah dengan ‘aqidah Ahlussunnah Waljama’ah dan secara tegas menolak keyakinan Mu’tazilah. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum kelahiran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (±238 H). Berdasarkan fakta sejarah tersebut, jika-pun hendak ditetapkan siapa Imam Ahlussunnah Waljama’ah, maka hemat penulis yang lebih layak dianggap sebagai Imam Ahlussunnah Waljama’ah sebenarnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, bukan Asy’ariyah ataupun Maturidiyah. Hal ini dikuatkan dengan pujian yang disampaikan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam Kitab Al-Ibanah ‘an Ushuli ad-Diyanah (t.t: 9) Imam Al-Asy’ari menyebut bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam yang utama. Dengan demikian menjadi teranglah bahwa tesis yang dikemukakan oleh Nasution, Asmuni dan Abbas, bahwa Ahlussunnah Waljama’ah hanyalah pengikut Asy’ari dan Maturidi tertolak dengan sendirinya.

Pembahasan di atas menjadi penting dalam rangka menepis segala syubhat yang terjadi selama ini, baik di Indonesia pada umumnya maupun di Aceh secara khusus. Sebagaimana kita lihat bahwa tesis tentang pembatasan golongan Ahlussunnah Waljama’ah hanya kepada Asy’ariah dan Maturidiyah, terutama yang disampaikan oleh Sirajuddin Abbas dalam buku-bukunyanya telah ikut merusak opini publik, khususnya di Indonesia, terhadap golongan yang berada di luar Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianggap sebagai golongan di luar Ahlussunnah Waljama’ah. 

Di samping itu sebagaimana kita lihat, (bisa dikatakan) mayoritas masyarakat dan bahkan sebagian ulama, khususnya di Aceh menyatakan bahwa di luar golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah bukanlah Ahlussunnah Waljama’ah. Jika hal ini hanya sebatas klaim mungkin masih bisa ditolerir, namun faktanya statement tersebut telah melahirkan konsekuensi yang cenderung destruktif – di mana golongan selain Asy’ariyah dan Maturidiyah justru dianggap sesat oleh sebagian pihak. Tentunya fenomena ini akan berakibat kepada rusaknya ukhuwah Islamiyah yang seharusnya kita pelihara bersama.

Kondisi tersebut akan lebih fatal lagi jika dikaitkan dengan penyebaran aliran sesat yang akhir-akhir ini kian marak di Indonesia – di mana hal ini telah menyulitkan kita untuk mendefinisikan istilah “aliran sesat” atau “sempalan”. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang Sosiolog Belanda, Martin Van Bruinessen, bahwa jika ditinjau dari perspektif Sosiologi, aliran sesat adalah aliran yang bertentangan dengan “Maenstream Ortodoks”. Penulis yakin, mayoritas kaum muslimin di Indonesia sepakat bahwa yang menjadi Maenstream Ortodoks adalah Ahlussunnah Waljama’ah. Namun pertanyaannya, siapakah Ahlussunnah Waljama’ah itu? Di sinilah terjadi “pertentangan hebat” antara pihak mayoritas dan minoritas. Di mana pihak mayoritas yang menisbatkan diri kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah secara tegas menyatakan bahwa mereka-lah Ahlussunnah Waljama’ah dan kaum muslimin di luar golongan mereka bukanlah Ahlussunnah Waljama’ah. Dengan demikian tidaklah heran jika di dunia Islam juga dikenal istilah “Wahabiyah” yang ditujukan kepada para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebagaimana telah kita kenal, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab merupakan penerus perjuangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang hakikat pemahaman tauhidnya berpunca kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan merujuk kepada pemahaman Salafusshalih. Golongan Salafiyah ini yang oleh sebagian pihak disebut dengan Wahabi menurut golongan mayoritas tidak dianggap sebagai bagian dari Ahlussunnah Waljama’ah hanya disebabkan mereka bukan pengikut Asy’ariyah atau Maturidiyah. Padahal, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy’ari sendiri setelah bertaubat dari Mazhab Mu’tazilah, beliau menyatakan bahwa teologi beliau merujuk kepada keyakinan yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Ahlussunnah Waljama’ah. Namun fakta yang terjadi hari ini sungguh paradoks dan menjadi “tidak lucu” – di mana, di satu sisi Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai pelopor Asy’ariyah menyatakan sepakat dengan teologi Imam Ahmad bin Hanbal, namun orang-orang yang menisbatkan teologi mereka kepada Al-Asy’ari (Asy’ariyah) justru menolak golongan Salafiyah yang notabene merupakan penerus pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal sebagai bagian dari Ahlussunnah Waljama’ah.

Kecuali itu, perlu pula diingat bahwa di Indonesia sendiri sebagaimana diungkapkan oleh Al-Thalibi (2006), bahwa dakwah Salafiyah yang dikembangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah masuk ke Indonesia pada awal abad ke-19 melalui tokoh-tokoh Paderi di Sumatera Barat. Di samping itu, pengaruh dari gerakan Salafiyah ini juga berkembang dalam beberapa ormas berhaluan modernis di Indonesia, di antaranya Muhammadiyah, Persis, Syarikat Islam dan Al-Irsyad. Perlu pula dicatat, bahwa berkembangnya pendidikan di Indonesia, termasuk di Aceh tidak terlepas dari peran besar kaum modernis yang pemahaman teologinya identik dengan Salafiyah. Sebagaimana telah kita saksikan bersama di Indonesia pada pra dan pasca kemerdekaan banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh kaum modernis. Di Sumatera Barat ada “Sumatera Thawalib” dan di Aceh di antaranya ada “Djami’ah Al-Muslim” yang keduanya merupakan buah karya tokoh-tokoh Salafiyah di masa lalu.

Akhirnya dengan meminjam istilah Profesor Al-Yasa’ Abu Bakar, penulis mengajak kita semua untuk tidak “memonopoli” kebenaran – di mana kita mengklaim bahwa kita-lah yang paling benar. Setiap kaum muslimin berhak menyandang predikat Ahlussunnah Waljama’ah selama mereka tetap konsisten dengan Al-Qur’an dan Hadits, tentunya dengan pemahaman Salafusshalih. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

1 comment:

  1. Assalamu'alaikum, Semoga rahmat Allah senantiasa meliputi Tgk Khairil beserta keluarga, loen lakee izin nibak droeneuh supaya jet loen posting ulang artikelnyou di blog uloen tuan. Syukran.

    ReplyDelete