POLITISASI AGAMA DI ACEH


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 25 Maret 2012

Menjelang pemilukada di Aceh yang direncanakan jatuh pada 9 April 2012 mendatang baik Pilgub (Pemilihan Gubernur) maupun Pilbup (Pemilihan Bupati) kita menyaksikan macam-macam saja tingkah para kandidat yang terkadang lucu sekaligus aneh. Ada yang sibuk turun ke desa dengan alasan ingin berjumpa dengan masyarakat sembari mendengar keluhan mereka. Ada juga yang pandai memanfaatkan momentum, seperti musibah banjir di Tangse, Pidie beberapa waktu lalu. Di beberapa media kita lihat banyak kandidat yang menyerbu kesana untuk mengantarkan bantuan. Entah bantuan tersebut diberikan ikhlas atau hanya sekedar sebagai sebuah atraksi untuk meraih dukungan, hanya mereka (baca: kandidat) dan Allah yang tau.

Disamping itu, ada pula kandidat yang memberikan kuliah umum di kampus-kampus dengan harapan dukungan dari mahasiswa dan dosen di hari H akan bertambah. Ada juga kandidat yang asyik mengkampanyekan pengobatan gratis kepada masyarakat dengan tujuan agar elektabilitas mereka meningkat. Dan banyak lagi tingkah-laku kandidat yang tidak ada waktu untuk kita sebut satu-persatu. Bahkan tragisnya ada kandidat yang menjadikan agama sebagai alat untuk meraih simpati masyarakat.

Politisasi Agama

Istilah politisasi agama sebenarnya bukanlah istilah yang baru dalam dunia politik praktis, khususnya di Indonesia dan tak terkecuali Aceh yang notabene mayoritas penduduknya berKTP Islam. Maaf sebelumnya agar tidak terjadi kesalahfahaman ketika membaca tulisan ini perlu penulis tegaskan bahwa politisasi agama yang penulis maksudkan bukanlah politisasi agama dalam pemahaman orang – orang sekuler yang menafikan keterlibatan agama dalam kehidupan. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa penulis adalah salah satu dari ratusan juta umat Islam yang sangat tidak sepakat dengan faham – faham sekuler yang dipelopori dunia barat.

Ilustrasi. Sumber: partaisardem.blogspot.com
Muhammad Shiddiq al-Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Politisasi Agama Dan Sekularisme” menyebutkan bahwa secara normatif dan historis-empiris, Islam mempunyai pandangan sangat berbeda dengan sekularisme dalam masalah. politik. Politik adalah bagian integral dari keseluruhan norma Islam (khilafah1924.org). Keyakinan ini tentu berbeda dengan pemahaman kaum sekuler yang dengan tegas memisahkan agama dari politik. Semoga tidak salah difahami. 

I Gusti Ketut Widana dalam artitikelnya “Politisasi Agama oleh Politisi” mendifinisikan politisasi agama sebagai sebuah cara menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Agama dimaksud meliputi berbagai elemen yang diklaim sebagai ''milik/ bagian'' dari suatu agama. Mulai dari yang bersifat abstrak seperti theologi, filosofi, epistemologi, atau doktrin-doktrin Tuhan yang dikemas ke dalam bahasa kenabian sampai pada urusan kekinian (balipost.co.id)

Di Aceh isu agama lumayan laris dan layak jual disebabkan rasa fanatisme orang Aceh terhadap agama sangat tinggi. Wajar jika ada sebagian kandidat yang memanfaatkan isu ini dalam rangka mencapai tujuannya termasuk dalam dunia politik. Agar seorang kandidat dianggap ‘alim dan cinta kepada agama sudah tentu kandidat tersebut akan melakukan manuver apa saja demi pencitraan dirinya dihadapan publik. 

Menurut penulis, secara umum ada dua karakteristik politikus dalam menggunakan agama sebagai senjata politik. Pertama, politikus tersebut memang seorang agamawan murni baik secara adiministratif maupun faktual. Secara administratif dia (baca: politikus) memiliki KTP beragama Islam sebagai alat bukti bahwa dia benar beragama Islam, sedangkan secara faktual dia memiliki latar belakang religius yang bisa dibuktikan dengan latar belakang pendidikan (sekolah dan dayah), memiliki keluarga yang ta’at, memiliki kepribadian maupun tingkah laku yang secara jelas mencerminkan bahwa dia memang agamawan.

Kedua, politikus yang menjadi agamawan dadakan atau lebih cocok disebut agamawan musiman. Maaf bukan maksud menyindir namun memang demikian adanya. Dia (baca: politikus) Cuma menjadi agamawan ketika menjelang pemilu, sedangkan diluar jadwal pemilu dia terlihat jauh dari agama. Memang secara administratif dia memiliki KTP beragama Islam, namun secara faktual jika telisik dari latar belakang kehidupannya sangat jauh dari nilai-nilai agama. 

Bagi politikus kelompok pertama (agamawan murni) adalah hal yang lumrah ketika dia menjadikan agama sebagai backgroundnya dalam berpolitik. Hal ini disebabkan karena agama yang dimilikinya bukanlah agama yang lahir tiba-tiba. Jadi sudah sewajarnya jika gerakan politik yang dilakukannya dilandaskan kepada ajaran agama yang dianutnya. Tidak aneh ketika musim pemilu dia turun ke desa-desa untuk memberikan ceramah agama dikarenakan kegiatan tersebut memang sudah menjadi tradisi baginya baik dimusim pemilu ataupun diluar musim pemilu. Demikian juga tidak ada yang janggal ketika dimusim pemilu dia melakukan safari untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan ulama untuk meminta dukungan dikarenakan sebelum terjun kedunia politik dia juga terkenal dekat dengan ulama. Demikian juga sangat lumrah ketika dimusim pemilu dia rajin mengunjungi dayah* dan tempat pengajian dikarenakan dia memang pernah mengecap pendidikan didayah.

Perilaku yang penulis sebutkan diatas akan sangat aneh apabila di adopsi oleh politikus kelompok kedua (agamawan dadakan). Menurut penulis sikap sebagian politikus (baca: agamawan dadakan) yang menampakkan diri kepada masyarakat bahwa seolah-olah dia dekat dengan agama merupakan cerminan dari sikap munafiq. Ketika musim pemilu sudah tiba, dengan semangat membara dia nampak rajin melakukan berbagai ritual keagamaan baik di mesjid maupun dimenasah**. Bahkan ada kandidat (agamawan dadakan) yang melakukan kerjasama dengan pengurus mesjid agar dia bisa menjadi imam shalat, khususunya shalat jumat. Kenapa harus jumat? Karena hari jumat jama’ahnya ramai, sedangkan shalat lima waktu biasanya sepi pengunjung. Bahkan ada kandidat yang tiba-tiba menjadi khatib dan penceramah, padahal sebelum musim pemilu jangankan menjadi imam shalat, bahkan ke mesjid pun tidak pernah hadir. Apa tidak munafiq namanya?

Di akhir tulisan ini penulis mengajak masyarakat Aceh agar tidak tertipu dengan tingkah sebagian kandidat yang hanya memakai agama sebagai media untuk mencapai tujuan politik. Sayangnya ketika pesta pemilu sudah selesai mereka tidak segan-segan meninggalkan agama mereka. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments