Politik Ghuluw di Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Maret 2014

Pemilu semakin dekat. Kekerasan antar pelaku politik masih terus berlangsung hingga detik ini. Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, bentrok antar pendukung parpol belum juga berakhir. Di Aceh Tengah dikabarkan kelompok Pembela Tanah Air (PETA) melakukan perusakan terhadap atribut Partai Aceh (PA). Aksi PETA tersebut akhirnya memicu tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak PA sehingga kondisi Aceh Tengah terkesan mencekam.

Sebagaimana dilansir oleh beberapa media, di Aceh Utara juga terjadi aksi penembakan yang mengakibatkan seorang kader PA terluka. Di hari yang sama dikabarkan juga terjadi beberapa aksi kekerasan di tempat yang berbeda, mulai dari aksi perusakan rumah salah seorang caleg sampai dengan aksi penganiayaan terhadap satgas PNA.

Kekerasan dan teror politik yang terjadi di Aceh akhir-akhir ini tidak hanya menimpa partai lokal, tapi partai nasional juga ikut menjadi sasaran teror, seperti penembakan terhadap kantor Nasdem beberapa waktu lalu. Meskipun sebagian terduga pelaku teror telah berhasil diringkus oleh polisi, namun tindak kekerasan tak jua berhenti.

Kondisi politik Aceh yang sarat dengan intimidasi akhir-akhir ini jika tidak ditanggapi secara serius oleh pihak berwenang, baik Pemerintah Aceh maupun pihak Kepolisian maka dikhawatirkan pada 9 April 2014 nanti masyarakat Aceh akan sulit menentukan pilihan sesuai hati nuraninya.

Politik Syi’ah 

Sebagaimana tercatat dalam literatur sejarah, bahwa Syi’ah adalah sebuah gerakan politik yang dipelopori oleh seorang mantan Pendeta Yahudi asal Yaman yang dikenal dengan nama Abdullah bin Saba’. Sekte Syi’ah yang pada awalnya lahir akibat pergolakan politik merupakan sebuah firqah yang bersikap ghuluw kepada ‘Ali bin Abi Thalib. Menurut Syi’ah, hanya Ali dan keturunannya yang berhak memegang tampuk kepemimpinan setelah Rasul Shallallahu 'Alaihi Wassallam wafat. Akibat sikap ghuluw (berlebihan/fanatik) tersebut akhirnya partai Syi’ah mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Usman karena dituduh telah merebut kepemimpinan dari Ali.

Mencermati dinamika politik Aceh hari ini, diakui ataupun tidak, praktek politik ghuluw ala Syi’ah juga sedang marak di Aceh. Sikap tersebut setidaknya tercermin dari statemen beberapa tokoh politik yang melakukan propaganda kepada publik bahwa partainya-lah yang paling benar sembari menyebut partai lain sebagai pengkhianat dan aneka stigma buruk lainnya. Sebagai misal, penyebutkan PDA dan PNA sebagai partai yang tidak memiliki ayah dan ibu yang dilakukan oleh oknum partai tertentu beberapa waktu lalu sebagaimana dilansir oleh theglobejournal.com juga merupakan praktek ghuluw dalam politik. Demikian pula “ancaman” bagi siapa saja yang tidak memilih partai tertentu harus keluar dari Aceh juga merupakan sikap ekstrem yang identik dengan praktek politik Syi’ah di masa lalu.

Sikap ghuluw terhadap partai tertentu dan menyatakan bahwa “kita” lah yang berhak memimpin Aceh adalah cerminan dari sikap politik Syi’ah yang harus dihindari oleh masyarakat Aceh. Sebagaimana kita ketahui bahwa Syi’ah membatasi kepemimpinan hanya bagi keturunan Ali Radhiallahu 'Anhu. Menurut Syi’ah cuma keturunan Ali yang berhak menjadi imam, sedangkan orang-orang yang berada di luar lingkaran Ahlul Bait tidak berhak menyandang gelar sebagai pemimpin.

Jika dicermati dengan seksama, dapat dikatakan bahwa dalam dinamika politik Aceh hari ini telah terjadi praktek politik yang tidak sesuai dengan nili-nilai Islam, di mana ada pihak-pihak yang dengan sengaja ataupun tidak telah mempraktekkan gaya-gaya politik Syi’ah dan juga Khawarij.

Politik Khawarij

Dalam kitab-kitab tarikh disebutkan bahwa golongan Khariji (Khawarij) muncul pada saat terjadinya peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Mu’awiyah Radhiallahu 'Anhuma. Pada saat itu, para pendukung Ali yang tidak sepakat dengan tahkim meninggalkan barisan Ali dan mendirikan sekte Khawarij. Para pendukung partai Khawarij mengkafirkan siapa saja yang terlibat dalam tahkim, baik dari pendukung Ali mapun pendukung Mu’awiyah. Sebagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah, bahwa salah satu ciri khas Khawarij adalah mengkafirkan siapa saja yang berada di luar kelompoknya.

Partai Khawarij bersikap ghuluw dan menganggap golongannya yang paling benar. Kaum Khawarij tidak segan-segan mengkafirkan siapa saja yang berada di luar kelompok mereka. Konsekwensi dari sikap ekstrem yang dipraktekkan oleh kaum Khawarij tersebut telah mengakibatkan mereka “punah” ditelan masa dan hilang di pentas sejarah.

Meskipun firqah Khawarij sudah tidak ada lagi di muka bumi ini, namun sikap dan idiologi Khawarij masih saja diwarisi oleh sebagian kelompok di berbagai belahan dunia, baik kelompok teroris mau pun kelompok politik. Dalam ranah politik, sikap Khawarij ini tercermin dari perilaku tokoh-tokoh politik yang menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar dan tidak segan-segan menyebut kelompok lain sebagai pengkhianat dan sebutan-sebutan tak etis lainnya.

Mengedepankan Ukhuwah Islamiyah 

Perlu kita ketahui bersama bahwa setiap partai politik yang ada di Aceh, baik partai lokal mau pun partai nasional memiliki hak yang sama untuk menjalankan aktivitas politiknya di Aceh. Masyarakat Aceh berhak memilih partai mana pun sesuai dengan kehendak hati nuraninya dan tidak ada seorang pun yang berhak mengekang kebebasan politik rakyat.

Dalam melaksanakan aktivitas politik sudah semestinya kita harus mengedapankan ukhuwah Islamiyah. Penulis yakin bahwa seluruh partai Politik, baik lokal mau pun nasional yang ada di Aceh hari ini sebagaian besar atau bahkan seluruh pengurusnya adalah orang Islam. Menjadi tidak etis jika hanya demi kebutuhan kursi parlemen kita saling tuding-menuding sesama umat Islam, dan lebih tragis lagi saling serang dan saling bunuh. 

Aceh sebagai satu-satunya wilayah yang diberi hak untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah sudah semestinya menjalankan praktek politik sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana diajarkan oleh para pendahulu umat ini. Praktek politik ala Syi’ah dan Khawarij sudah saatnya kita tinggalkan demi kemaslahatan umat, khususnya masyarakat Aceh yang masih rindu dengan damai. Mari bergandeng tangan membangun Aceh bersama-sama. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments