Polemik Kolom Agama di KTP


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 November 2014

Dalam beberapa waktu terakhir, polemik terhadap wacana penghilangan (pengosongan) kolom agama di KTP terus bergulir. Fenomena ini telah mengundang sejumlah pihak untuk adu argumen. Berbagai dalil pun dikemukakan, baik pro maupun kontra. Isu tentang penghilangan kolom agama di KTP telah berhembus pada saat kampanye pilpres beberapa waktu lalu.

Gagasan “ngawur” tersebut diduga berasal dari statemen Musdah Mulia dalam sebuah diskusi di Jakarta sebagaimana dilansir Hidayatullah.com (19/06/14). Dalam diskusi tersebut Musdah Mulia menyatakan bahwa jika Jokowi-JK menang, maka kolom agama di KTP akan dihapus. Namun, gagasan ini dibantah oleh Hamka Haq, salah seorang Ketua PDI-Perjuangan (tribunnews.com, 19/06/14). 

Baru-baru ini, isu penghilangan kolom agama di KTP kembali menyeruak setelah Mendagri, Tjahjo Kumolo melemparkan wacana serupa kepada publik. Berbagai tanggapan pun muncul. Seorang tokoh Muhammadiyah, KH Abdul Halim Soleh, menentang keras pengosongan kolom agama di KTP yang menurutnya merupakan pelanggaran terhadap sila pertama dari Pancasila (Islampos.com, 07/11/14). Tanggapan berbeda datang dari Wapres JK yang menyatakan bahwa pengosongan kolom agama di KTP adalah hal wajar dan merupakan kebijakan yang adil untuk seluruh warga Indonesia (nasional.kompas.com/, 07/11/14).

Polemik kolom agama tidak hanya diperbincangkan di “dunia nyata”, tapi isu tersebut juga menyasar di dunia maya. Fenomena ini terlihat dari munculnya berbagai dukungan dan juga penolakan dari warga dunia maya, baik “penghuni” Facebook maupun Twitter. Dalil penolakan paling “ekstrim” yang diajukan oleh warga dunia maya adalah bahwa Indonesia bukanlah negara Komunis sehingga kolom agama menjadi penting untuk dicantumkan. 

Tidak hanya dalil penolakan, dalil pendukung pengosongan kolom agama juga bertaburan di dunia maya. Dalil pendukung paling “lembut” yang coba disodorkan oleh warga dunia maya adalah dengan menyebut penghilangan (pengosongan) kolom agama di KTP sebagai sebuah strategi ampuh untuk meminimalisir para penganut “Islam KTP”. Si “komentator” tersebut menyatakan bahwa agama seseorang tidak perlu dicantumkan di KTP, tetapi cukup dengan mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Meskipun terkesan logis, tapi menurut penulis, argumen ini hanya sarana hipnotis dalam rangka membela sebuah keterlanjuran. 

Dari berbagai dalil yang dikemukakan oleh pihak pro dan kontra, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sebagai umat beragama, khususnya umat Islam, tentunya kita bisa mendeteksi, mana dalil yang benar dan mana pula dalil “pembenaran”. Bagi pengagum Sekulerisme, Pluralisme dan Humanisme, tentunya penghilangan (penghapusan) kolom agama tidak menjadi masalah dan justru dianggap sebagai sebuah kemestian. Parahnya lagi, oleh sebagian pegiat HAM, hal tersebut dianggap sebagai sebuah perwujudan nilai-nilai HAM dan sekaligus sebagai tips untuk menghilangkan diskriminasi.

Meskipun gagasan penghapusan kolom agama di KTP masih sebatas wacana – dan oleh sebagian pihak justru dianggap sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga BBM yang tinggal menunggu hari. Namun, menurut hemat penulis, ide kontroversial tersebut telah mendorong beberapa pihak terlibat dalam polemik, sehingga “ide panas” ini menjadi menarik untuk dikupas dengan menggunakan sudut pandang kebangsaan.

Nasionalisme dan Pancasila

Sebagai warga negara yang baik, tentunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi sebagai bentuk kesetiaan kita terhadap tanah air yang kita diami. Adalah aneh, jika kita sebagai warga negara Indonesia tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Kecintaan kita terhadap Indonesia mestilah diaplikasikan dalam tindakan nyata, tidak cukup hanya dengan basa-basi di bibir saja.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nasionalisme dan Pancasila adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Meskipun telah terjadi perdebatan alot di masa lalu terkait idiologi dan dasar negara, antara kubu Islam dan kubu Nasionalis, namun pada akhirnya para pendiri bangsa ini nampaknya telah “bersepakat” untuk menjadikan Pancasila sebagai idiologi dan identitas kebangsaan. Dengan demikian, sepakat atau pun tidak, nilai-nilai Pancasila harus-lah tercermin dalam perilaku dan sikap bangsa Indonesia.

Demikian pula dalam praktik bernegara, tentunya tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam Pancasila. Artinya, kelima sila Pancasila tersebut harus menjadi falsafah hidup bagi bangsa Indonesia. Mengabaikan salah satu sila dari Pancasila, sama saja dengan menolak Pancasila itu sendiri. 

Pancasila dan Agama

Dalam sila pertama Pancasila, jelas disebutkan bahwa bangsa Indonesia menganut prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Meskipun redaksi dari sila pertama ini telah “menyimpang” jauh dari Piagam Jakarta., namun setiap warga negara yang mengaku sebagai bangsa Indonesia, tetap harus berpegang teguh pada prinsip ini. Aspek Ketuhanan yang tercantum dalam sila pertama merupakan isyarat paling otentik bahwa Indonesia telah menjadikan agama sebagai sebuah pondasi penting dalam berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, argumen Tjahjo Kumolo, bahwa Indonesia bukan negara agama menjadi tidak relevan digunakan dalam rangka menjustifikasi penghapusan kolom agama di KTP. Indonesia memang bukan negara agama sebagaimana disebut Kumolo, tapi warga negara Indonesia mestilah beragama sebagai manifestasi prinsip Ketuhanan dari sila pertama. Jika ada warga negara Indonesia yang tidak beragama (atheis), berarti (maaf) mereka telah “mengkhianati” Pancasila. Seseorang yang “mengkhianati” Pancasila, tentunya nasionalisme-nya diragukan. Jika dia tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia, maka konsekwensi logisnya orang tersebut “tidak pantas” menjadi warga negara Indonesia.

Secara lebih tegas dapat dikemukakan bahwa, seorang warga negara mestilah memiliki rasa nasionalisme terhadap negaranya. Dalam konteks Indonesia, seorang Nasionalis mestilah Pancasilais, dan seorang Pancasilais mestilah Agamis (agamais). Sebagai warga negara yang baik, kita tidak bisa mengingkari siklus ini yang saling terkait satu sama lain.

Wacana penghapusan (pengosongan) kolom agama di KTP yang berhembus akhir-akhir ini, dalam pandangan penulis merupakan sebuah tindakan yang akan berakibat kepada munculnya peluang bagi warga negara untuk tidak beragama. Agama merupakan bagian dari indentitas seseorang, sehingga menjadi “wajib” hukumnya untuk dicantumkan. Jika pengosongan kolom agama dimaksudkan kepada para pemeluk agama yang belum diakui di Indonesia, mungkin masih bisa ditolerir. Demikian pula jika pemerintah dengan alasan HAM ingin mengakomodir keberadaan seluruh agama di Indonesua, maka hal ini juga masih terbilang wajar. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut pemerintah tinggal membuat regulasi sebagai payung hukumnya sehingga agama tersebut dapat dicantumkan di KTP, bukan justru melemparkan “wacana ngawur” untuk menghapuskan kolom agama.

Dengan tetap mencatumkan kolom agama di KTP, maka pemerintah telah menunjukkan kesetiaanya kepada Pancasila. Lantas, apakah kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai sebuah tindakan diskriminasi terhadap orang-orang atheis yang bermukim di Indonesia? Jawabannya adalah kembali kepada rumus di atas: warga negara=Nasionalis=Pancasilais=Agamis. Siapa saja yang keluar dari siklus ini, pilihan paling tepat adalah “keluar” dari Indonesia. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments