Pilpres 2014 dan Pertarungan Idiologis


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen. 28 Mei 2014

Jika tidak ada aral melintang, pada 9 Juli 2014 mendatang, masyarakat Indonesia akan kembali menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin Indonesia lima tahun ke depan. Berbeda dengan Pilpres sebelumnya (2004 dan 2009), kali ini panggung Pilpres hanya diisi oleh dua pasangan capres yang akan bertarung menuju RI 1. Hal menarik lainnya, pada Pilpres kali ini tidak ada dominasi capres dari unsur militer seperti halnya pada Pilpres sebelumnya, di mana komposisi capres dan cawapres saat itu diisi oleh mantan militer seperti Prabowo, Wiranto dan SBY. Sedangkan kedua capres yang akan berlaga pada Pilpres 2014 memiliki latar belakang yang berbeda, Prabowo dari unsur militer dan Jokowi dari sipil.

Pasca pendaftaran ke KPU, kedua pasangan capres/cawapres terus menggalang dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang ada di tanah air. Di samping itu, seiring dengan usaha-usaha keras yang dilakukan oleh kedua pasangan capres untuk menarik simpati publik, pihak-pihak tertentu juga terlihat giat melakukan kampanye hitam (black compaign) yang ditujukan kepada kedua pasangan capres, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK. 

Prabowo dan Jokowi pada Debat Capres 2014
Di antara isu yang dikembangkan untuk memojokkan Jokowi adalah tentang kedekatan Jokowi dengan Kristen dan bahkan ada sebagian pihak yang meragukan keislaman Jokowi. Kondisi ini “memaksa” Jokowi untuk terus mengulang kalimat-kalimat yang sama kepada publik, seperti: “saya sudah haji, orang tua saya sudah haji, ibu saya haji, istri saya juga haji.” Kalimat “sudah haji” terus diulang secara kontinu oleh Jokowi sebagai bentuk klarifikasi terhadap “isu jahat” tersebut. Sementara itu, Prabowo juga tidak terbebas dari isu serupa, di mana Prabowo selalu saja diterpa dengan isu-isu pelanggaran HAM. Namun anehnya, pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One beberapa waktu lalu, Efendi Simbolon (timses Jokowi) justru “kelimpungan” ketika dicecar pertanyaan oleh Fadli Zon (timses Prabowo) terkait dengan keterlibatan Prabowo dalam kasus 1998.

Aksi “saling serang” antar kubu capres tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga merambah di dunia maya. Media sosial seperti Twiter dan Facebook menjadi senjata ampuh untuk menebar kecintaan kepada capres tertentu sembari menyeru kebencian kepada capres lain. Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya blogger dadakan yang menyajikan berbagai informasi, baik dalam rangka mendukung ataupun menolak capres tertentu. Tidak hanya itu, media televisi sebagai wadah informasi publik nampaknya juga telah “terjebak” dalam pusaran pertarungan. Hal ini tidak dapat dielakkan mengingat kedua pasangan capres turut didukung oleh tokoh-tokoh politik yang notabene di antaranya adalah “bos-bos” media. Di kubu Jokowi ada Metro TV (Surya Paloh/Nasdem), sedangkan di kubu Prabowo ada TV One dan ANTV (Abu Rizal Bakri/Golkar). Di samping itu, kesediaan Hari Tanoe bergabung dengan Prabowo, secara tidak langsung nampaknya juga akan berpengaruh kepada media (RCTI/MNC/Global TV) yang dimiliki oleh HT tersebut. 

Pertarungan Idiologis

Setiap orang tentunya memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan pilihannya pada Pilpres 2014 mendatang. Terkait dengan dua sosok capres yang akan bertarung pada 9 Juli mendatang, masyarakat juga memiliki persepsi tersendiri dalam menilai siapa yang lebih layak memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Jokowi sering dipersepsikan sebagai sosok yang merakyat dan sederhana, sedangkan Prabowo dianggap sebagai tokoh yang anti korupsi dan memiliki ketegasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang benar-benar berdaulat dan bebas dari intervensi asing. 

Dalam sebuah wawancara di salah satu televisi, Mahfud MD mengemukakan bahwa kedua pasangan capres tidak ada yang benar-benar baik dan tidak ada pula yang benar-benar buruk. Secara tidak langsung, Mahfud MD hendak memberi sinyal kepada publik bahwa kedua pasangan capres layak untuk didukung karena kedua pasangan tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan juga kekurangan.

Namun demikian, terlepas dari berbagai sudut pandang yang digunakan oleh tokoh politik maupun masyarakat untuk menentukan pilihannya pada Pilpres mendatang, menurut penulis ada satu aspek penting yang semestinya juga menjadi pertimbangan bagi kita semua dalam menentukan pilihan. Meskipun terkesan subjektif, namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Indonesia saat ini tidak terlepas dari jasa-jasa besar umat Islam di masa lalu, tentunya dengan tidak menafikan peran tokoh-tokoh dari agama lain. Namun adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa umat Islam memiliki kontribusi besar terhadap bangsa Indonesia. Dengan demikian, kepentingan umat Islam di negeri ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh beberapa penulis bahwa ada potensi pertarungan idiologis dalam Pilpres kali ini antara koalisi partai berbasis Islam dengan partai nasionalis. Oleh sebagian pihak, kondisi ini dianggap sebagai pengulangan sejarah masa lalu antara partai Islam (Masyumi) dan partai nasionalis (PNI). Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan hasil peleburan dari partai-partai nasionalis, yaitu: PNI, Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katholik dan Parkindo. Sedangkan partai berbasis Islam, seperti: NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), PSII dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), oleh pemerintah Orba dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sebagaimana telah kita lihat bahwa pasangan Jokowi-JK diusung oleh PDI-P, Nasdem, PKB dan Hanura yang merupakan barisan partai nasionalis. Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta diusung oleh Gerindra, PPP, PKS, PAN dan PBB. Dari koalisi partai pengusung tersebut terlihat jelas bahwa partai berbasis Islam mendominasi komposisi koalisi Prabowo-Hatta. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh Islam di Indonesia, di antaranya Amin Rais (tokoh Muhammadiyah), Said Agil Siraj dan Mahfud MD (tokoh NU) juga mengarahkan dukungannya kepada Prabowo Hatta.

Menurut penulis, arah politik partai berbasis Islam serta keberpihakan tokoh-tokoh Islam patut dipertimbangkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Aceh sebagai satu-satunya wilayah yang menerapkan Syariat Islam. Hal ini penting demi masa depan umat Islam ke depan. Semoga saja masyarakat Aceh tidak terpengaruh dengan pola pikir sekuler yang menyatakan bahwa agama tidak boleh dibawa dalam politik. Pola pikir seperti itu adalah keliru, karena dalam Islam tidak ada dikotomi antara politik dan agama. Dengan demikian dalam ajang Pilpres 2014 mendatang, kepentingan agama juga penting untuk diperhatikan oleh umat Islam, khususnya di Aceh. Memilih capres yang pro kepada umat Islam adalah solusi yang tepat. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia


loading...

No comments