PERLU KONSOLIDASI SEBELUM BERPOLITIK ( Renungan Untuk Para Ulama )


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 19 Januari 2011 

Menyikapi opini yang berkembang menjelang pilgub 2011 tentang keterlibatan ulama dalam politik yang beberapa hari ini hangat dibicarakan di warung-warung kopi. menginspirasi saya untuk sedikit memberi sumbangan pikiran kepada para ulama sekiranya diterima. Saya akan sedikit membahas dan mengulas kisah-kisah politik dalam Islam yang pondasinya telah dibangun oleh Nabi Saw 1400 tahun yang lalu.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam tidak pernah melarang Ulama berpolitik. Hal ini bisa dibuktikan dengan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw selain sebagai seorang Rasul juga berperan sebagai Pemimpin Negara di Negeri Islam Madinah. Bahkan Nabi Muhammad Saw mampu menyatukan suku-suku di Madinah menjadi Ummah yang satu melalui proses politik dengan lahirnya Piagam Madinah ( The Charter Of Medina ). Ummah yang dimaksud terdiri dari empat komunitas, yaitu : Yahudi, Nasrani, Anshar dan Muhajjrin. Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis tertua didunia. Peristwa yang tak kalah pentingnya adalah pada saat Nabi Saw bersama 1.400 kaum muslimin hendak berziarah ke Mekkah yang merupakan tanah kelahiran Rasulullah dan kaum muhajjirin mereka dihadang oleh kaum kafir Quraisy. Setelah melalui proses negoisasi lahirlah Perjanjian antara kedua belah pihak yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah . Fakta ini juga membuktikan keberhasilan Rasulullah dalam berpolitik. 

Kemudian pasca wafatnya Rasulullah Saw, Abu Bakar r.a terpilih sebagai Khalifah Pertama melalui proses politik (musyawarah). Dan sejarah juga telah membuktikan bahwa para ulama pendahulu hampir semuanya terlibat dalam politik. Saya kira sedikit penjelasan diatas sudah cukup membuktikan bahwa “Politik dalam Islam itu nyata “. Artinya Islam tidak pernah memisahkan antara politik dan agama. Berangkat dari fakta ini pula dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Ulama dalam politik adalah sah. Seperti Kita ketahui bersama bahwa Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Radhiallahu `Anhum ajma`in adalah pemuka Agama yang juga menjadi pemimpin negara (khalifah).

Berhasilnya para Ulama (shahabat) menjadi pemimpin pada waktu itu tidak terlepas dari keberhasilan Nabi Saw dalam mendidik para shahabatnya, sehingga hampir tidak ada perselisihan antara mereka. Pada saat itu para shahabat bersatu dan apabila ada permasalahan mereka akan duduk bersama untuk memecahkan persoalan tersebut. Fakta ini berbeda dengan zaman kita ini dimana ulama terpecah-pecah dalam berbagai pemikiran. Perlu saya tegaskan bahwa perpecahan yang saya maksudkan disini bukan perpecahan dalam arti sekte atau aliran (syi`ah, mu`tazilah dll). Tetapi lebih kepada perpecahan dalam pemikiran dan pemahaman. Jika boleh saya mengelompokkan khususnya di Aceh Ulama kita terbagi dua ; Ulama Dayah dan Ulama Kampus. Secara umum dapat saya gambarkan bahwa yang dimaksud dengan Ulama Dayah adalah ulama yang masih terikat dengan pemikiran tradisional atau bisa disebut Ulama Kitab Kuning karena mereka berkeyakinan bahwa segala amal perbuatan umat Islam harus sesuai dengan kitab kuning, walaupun kadang-kadang menyalahi hadits tidak mengapa asal tidak menyalahi kitab kuning, wallahu`alam. sedangkan Ulama kampus adalah Ulama yang pikirannya sudah mulai terbuka dengan hal-hal baru, yang dimaksud hal baru disini adalah hal baru dalam kancah pemikiran dan teknologi, bukan hal baru dalam agama, semoga jangan salah difahami. Saya namakan ulama kampus bukan berarti mereka semua berasal dari kampus, bisa saja mereka juga berasal dari kalangan dayah, Cuma pemikiran mereka sudah sedikit terbuka dan tidak terikat dengan fatwa-fatwa kitab kuning. Penyebutan Ulama kampus saya maksud kan supaya mudah di fahami. 

Perbedaan pendapat diantara dua ulama tersebut secara otomatis berpengaruh kepada masyarakat khususnya masyarakat awam yang bisa dikatakan mudah digiring oleh kepentingan politik manapun.

Di akui ataupun tidak ini adalah fakta yang terjadi di Aceh, dimana Ulama dayah mempunyai pendukung yang cenderung fanatik kepada para Abu, demikian pula dengan Ulama kampus juga mempunyai basis tersendiri walaupun bisa dikatakan minoritas di Aceh. Saya bukanya ingin mengangkat isu perpecahan tetapi ini penting untuk dicermati karena akan sangat berpengaruh dalam suksesi politik di Aceh. Sebagai contoh pada saat para Ulama dayah mendukung salah satu kandidat maka dengan sendirinya seluruh masyarakat yang fanatik dengan Ulama tersebut akan mendukungnya. Demikian pula sebaliknya. Perselisihan yang saya maksud bukan perselisihan antar ulama tersebut, tetapi yang sangat kita khwatirkan adalah perselisihan antara pengikut kedua ulama tersebut tidak dapat dihindari. Dan saya meyakini hal – hal seperti ini sudah pernah terjadi dan akan kembali terjadi ketika para ulama menunjukkan sikap politiknya. 

Perlu saya ulang kembali bahwa tulisan singkat ini bukan untuk menghina ulama tetapi dalam rangka sayang kepada ulama jangan sampai larut dalam trik – trik politik yang nantinya merusak citra ulama tersebut dimata umat. Pada prinsipnya saya sangat sepakat dengan adanya keterlibatan ulama dalam politik tetapi tidak ada salahnya jika kita mengkaji laba dan rugi. Dan yang sangat kita sayangkan adalah ketika para elit politik memanfaatkan ulama untuk kepentingan politik mereka dengan mengorbankan kezuhudan dan ke wara`an para Ulama.

Saya berpendapat sebaiknya sebelum para ulama baik ulama dayah maupun ulama kampus terlibat langsung dalam politik lebih baik mereka melakukan konsolidasi terlebih dahulu. Konsolidasi yang saya maksud adalah konsolidasi dalam pemahaman sehingga tidak terjadi cela-mencela antar pendukung. Saya yakin untuk menyatukan pemahaman antara dua komunitas ini sangat sulit dikarenakan masing-masing mempunyai landasan sendiri. Dan perselihan kedua komunitas ini sudah menjadi fenomena klasik yang tidak dapat dihindari. Yang menjadi pembahasan saya bukan siapa benar siapa salah tetapi lebih kepada bagaimana kedua kasta ini disatukan menjadi sebuah “ummah “ yang saling menguatkan satu sama lain. Ada baiknya kita untuk kembali melihat sejarah perjuangan Nabi Saw ketika hijrah ke madinah, seperti saya sebutkan diatas Nabi Saw berhasil menyatukan empat kelompok yaitu : yahudi, nasrani, anshar dan muhajjirin dalam satu ummah yang kesepakatannya ditulis dalam konstitusi Piagam Madinah. Jika Nabi Saw mampu menyatukan empat kelompok sekaligus, kenapa kita tidak mampu menyatukannya padahal Cuma ada dua kelompok. Seperti kita ketahui bersama kelompok yang disatukan oleh Nabi Saw ada yang seaqidah (anshar dan muhajjirin) dan ada juga kelompok yang berlainan aqidah (Nasrani dan Yahudi). Dan apabila salah satu kelompok tersebut melakukan kesalahan Nabi Saw sebagai kepala negara akan menindak dengan tegas. Apakah fakta ini tidak bisa kita jadikan hujjah umtuk menyatukan para ulama yang notabene adalah seagama dan seaqidah? Jikapun ada perbedaan Cuma berkisar dalam persoalan fiqih (amaliah) bukan pada dataran aqidah. Dengan fakta ini sudah sewajarnya para ulama bersatu, terlebih lagi jika para ulama ingin melibatkan diri dalam politik.

Memang harus kita akui sangat sulit untuk menyatukan dua komunitas ulama yang perbedaannya sudah sangat kental. Jikapun bersatu dalam pemahaman itu tidak mampu dilakukan oleh para ulama, saya punya solusi lain sekiranya bisa diterima dengan lapang dada dan mengedepankan persaudaraan serta meninggalkan perselisihan. Saya berpendapat jika para ulama memang tidak mampu bersatu dalam pemahaman setidaknya mereka bisa bersatu dalam bentuk sebuah perjanjian tertulis seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw dalam piagam madinah. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian antara dua kubu ulama untuk tidak saling menfitnah satu sama lain. Secara tekhnis ini bisa diatur sendiri oleh para ulama. Hal ini sangat penting jika memang para ulama ingin terjun kedunia politik. 

Perjanjian ini mutlak diperlukan agar para ulama tidak terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan politik yang tidak disengaja. Karena sangat disayangkan ketika para ulama mengangkat isu – isu khilafiah dalam agama sebagai alat demi mencapai kesuksesan politik. Sebagai contoh kecil ketika ada ulama yang berfaham “ Nujoeh adalah Bid`ah “ mendukung kandidat A, kemudian satu kelompok ulama lagi yang berfaham “ Nujoeh adalah adat “ mendukung kandidat B. Disini akan terjadi persaingan tidak sehat antara kedua kubu ulama tersebut. Ulama yang mendukung kandidat A akan mengisukan kepada masyarakat untuk tidak memilih kandidat B karena mereka adalah “ Ahli Bid`ah “, demikian juga dengan ulama yang mendukung kandidat B akan balik menyerang dengan menyeru kepada masyarakat untuk tidak memilih kandidat A karena mereka “ anti nujoeh “. Percaya ataupun tidak saya yakin fenomena ini akan terjadi jika kedua kubu ulama tidak terikat perjanjian. Persoalan agama adalah persoalan yang sangat sensitif. Semoga saja tidak dijadikan sebagai alat politik untuk memenangkan pasangan tertentu.

Perlu saya pertegas kembali bahwa saya tidak bertujuan menghina ulama. Saya sangat khawatir ketika citra para ulama rusak dan hancur hanya karena kepentingan politik orang-orang tertentu. Ulama adalah panutan kita semua dan semoga tetap menjadi panutan sampai akhir zaman. Wallahu`a`lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments