Perayaan Natal dan Sikap Kaum Muslimin


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 Desember 2014

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam menghargai keberbedaan dan keragaman. Islam menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia (HAM) dan toleransi. Konsep HAM yang digagas oleh Nabi Muhammad Saw adalah HAM yang langsung dibimbing oleh wahyu. Hal ini berdasarkan pada khutbah Nabi Saw di Arafah pada tanggal 09 Dzulhijjah tahun ke 9 Hijrah: “Hai manusia! Masing-masing Tuhanmu itu satu, agamamu satu, nenek moyangmu satu, masing-masing orang di antara kamu dari keturunan Adam Alaihissalam dan Adam terbuat dari sari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab melebihi orang-orang `Azam, kecuali karena taqwa. Manusia itu memiliki hak seperti gigi-gig sisir.” 

Karim (2009), mengemukakan bahwa ayat Al-Quran yang turun pada tahun 630 M telah mendahului lebih dari 11 abad sebelum David Hume (1711-1776 M) mempopulerkan humanisme untuk membela kemanusiaan dan menghindarkan manusia dari perbudakan. 

Islam tidak mengenal kasta dan kelas sosial. Perbedaan individual manusia di hadapan Tuhan hanya ditentukan oleh level ketakwaan. Perbedaan agama dalam masyarakat tidak menghalangi seseorang untuk ber-mu’amalah antar kaum muslimin dengan pemeluk agama lain. Kondisi ini telah dibangun pada awal-awal pertumbuhan Islam di Madinah. Nabi Muhammad, di samping menjadi pemimpin agama, juga bertindak sebagai kepala negara yang telah berhasil mempersatukan umat Islam, Yahudi dan Nasrani menjadi satu ummah. Perjanjian untuk hidup rukun dan saling menghargai termaktub dalam Piagam Madinah yang merupakan konstitusi tertulis tertua di dunia.

Sikap toleransi umat Islam terhadap pemeluk agama lain juga terukir indah di benua Eropa yang pernah dikuasai oleh umat Islam selama kurang lebih tujuh abad lamanya. Bahkan, munculnya peradaban baru di dunia Barat juga tidak terlepas dari kemajuan yang diukir umat Islam di daratan Spanyol. Namun tragisnya, sikap toleransi umat Islam di Spanyol justru tidak dihargai oleh para pemimpin Kristen. Sejarah telah mencatat bagaimana brutalnya para penguasa Kristen yang melakukan pengusiran dan pemaksaan agama kepada umat Islam. Thomson dan ‘Ata ‘Urrahim (2004) menyebutkan , bahwa berdasarkan dekrit yang dikeluarkan oleh Ratu Isabella, semua pria di bawah usia 14 tahun dan wanita di bawah usia 12 tahun harus dipisahkan dari keluarga mereka dan diserahkan kepada Gereja Katholik Roma untuk dibesarkan sebagai Kristen Trinitarian. Madu yang diberikan oleh umat Islam kepada umat Kristen di Spanyol akhirnya dibalas dengan tuba. Lantas siapa yang tidak toleran?

Toleransi dalam Islam

Islam adalah agama yang menganjurkan toleransi, tidak hanya dengan sesama muslim, bahkan Islam juga memberi ruang untuk saling menghargai dengan pemeluk agama lain. Namun demikian, toleransi dengan non muslim hanya sebatas pada mu’amalah, tidak pada ‘aqidah. Hal ini secara tegas telah disebutkan oleh Allah dalam ayat keenam surat Al-Kafirun: lakum diinukum waliya din. Dalam Tafsir Qurthubi, sebagaimana dikutip Tuasikal, dikisahkan bahwa kafir Quraisy pernah mengajak Nabi Muhammad untuk bertoleransi dalam ibadah, di mana kafir Quraisy akan beribadah kepada Allah dan mereka meminta Nabi untuk beribadah kepada tuhan mereka. Akhirnya turunlah surat Al-Kafirun sebagai jawaban bagi orang-orang kafir.

Islam menganjurkan umatnya untuk tidak mengganggu ibadah yang dilakukan oleh non muslim sebagai perwujudan toleransi dan menjaga hubungan baik dengan pemeluk agama lain. Bahkan dalam perang sekalipun, Nabi melarang membakar gereja dan membunuh pendeta.

Umat Islam dan Natal


Munculnya sebagian umat Islam yang tertarik untuk mengucapkan selamat Natal pada perayaan kelahiran Yesus Kristus sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh mewabahnya paham pluralisme agama yang dianggap sebagai trend beragama orang-orang modern. Paham tersebut telah melahirkan konsep toleransi yang cenderung destruktif.

Illustrasi. Sumber: spigadenpasar.weebly.com

Paham pluralisme agama, sebagaimana dikemukakan Adian Husaini, merupakan produk perjalanan peradaban barat yang traumatik terhadap teologi ekslusif gereja, problema teologis Kristen dan realitas teks Bible, sehingga adopsi paham tersebut dalam Islam harus dikaji secara cermat dan dibandingkan dengan konsep teologis Islam dan realitas teks Al-Quran.

Kontroversi Natal

Sebenarnya dalam tubuh umat Kristen itu sendiri telah terjadi perbedaan pandangan terkait dengan perayaan Natal pada 25 Desember. Sampai abad ke-4 M, kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari, dan keyakinan ini masih dipegang oleh kelompok Kristen ortodoks tertentu (Adian Husaini). 

Irena Handono, dalam tulisannya, menyebut bahwa perayaan Natal dicetus untuk pertama kalinya pada tahun 325-354 M oleh Paus Liberius. Adapun penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal ditetapkan oleh Kaisar Konstantin. Dalam keyakinan Romawi, tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran dewa matahari. Uniknya lagi, perintah memperingati Natal justru tidak terdapat dalam Bibel.

Dalam Encyclopedia Britanica edisi 1946, disebutkan bahwa Natal tidak dirayakan oleh gereja pada abad pertama. Yesus Kristus dan para muridnya juga tidak pernah merayakan Natal karena hal tersebut tidak pernah dianjurkan oleh Bibel. Upacara tersebut diadopsi oleh pihak gereja dari kepercayaan paganisme. Nah, jika dalam kepercayaan Kristen saja masih terdapat perbedaan pendapat tentang Natal, lantas mengapa masih ada muslim yang mau dibodohi untuk ikut mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen?

Sikap Umat Islam 

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, sebagaimana dicatat oleh Muhammad bin Ali Adhabi’i dalam Mukhtarat min kitab iqtidha’ Ash Shirathal Mustaqim, menyatakan bahwa umat Islam dilarang menghadiri upacara dan hari besar non muslim. Pendapat ini berdasarkan pada ayat 72 surat Al-Furqan. Rabi’ bin Anas dan Ikrimah menafsirkan kata zuur dalam ayat tersebut sebagai hari besar kaum musyrik atau hari bersenang-senang pada zaman jahiliyah. Menurut Ibn Taimiyah, pada hari-hari besar golongan musyrik itu terkumpul perkara-perkara syubhat, kesaksian (bohong) dan kebatilan sehingga menghadiri acara tersebut tidak ada manfaatnya baik bagi agama maupun bagi kehidupan dunia, sedangkan akibat buruknya jelas merugikan. Oleh karena itu, dikatakan sebagai perbuatan dusta (bohong), dan menghadiri acara semacam itu dikatakan menyaksikan kebohongan (Thalib, 2003).

Dalam surat Al-Maidah ayat 17 juga jelas disebutkan bahwa orang-orang Nasrani (Kristen) telah kafir karena mengatakan Allah adalah Isa Al-Masih. Dalam surat Al-Maidah ayat 73 juga disebutkan bahwa telah kafir orang-orang Kristen yang mengatakan bahwa Allah adalah satu dari yang tiga (Trinitas). Dua ayat tersebut secara tegas mengkafirkan orang-orang Nasrani karena mereka telah menyekutukan Allah dalam paham Trinitas.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin secara tegas menyatakan bahwa memberikan ucapan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal adalah haram. Perayaan Natal, sebagaimana disebut oleh Ruray adalah perayaan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai Tuhan oleh Kristen. Mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, sama saja dengan membenarkan keyakinan mereka. 

Menurut penulis, cukuplah Alquran dan Hadits yang menjadi pedoman bagi kita semua tanpa perlu berkiblat kepada paham pluralisme ala Barat yang dapat mendorong kita melakukan hal-hal yang dilarang oleh syara’. Membiarkan umat Kristen melaksanakan perayaan Natal dengan tenang dan bebas tanpa adanya gangguan adalah sebuah bentuk toleransi. Dengan tidak mengucapkan selamat Natal, apalagi menghadiri upacara Natal, tidak-lah secara otomatis menjadikan kita sebagai intoleran. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments