PENGARUH STIGMA WAHABI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 07 Desember 2012

Meskipun isu wahabi terkesan sudah usang namun kontroversi terhadap wahabi terus terjadi sampai hari ini. Bagi kaum modernis wahabisme merupakan sebuah gerakan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam sedangkan bagi kaum tradisional/konservatif wahabisme dianggap sebagai ajaran baru yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Terlepas dari kontroversi tersebut dalam tulisan singkat ini penulis akan mencoba mengulas kembali isu-isu seputar wahabisme dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam di Indonesia. 

Mengenal Wahabi.

Istilah wahabi merupakan istilah yang dinisbatkan kepada para pengikut dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab meskipun para pengikut dakwah tauhid ini tidak pernah menamakan dirinya sebagai wahabi. Namun nama wahabi sengaja dihembuskan oleh orang-orang anti dakwah tauhid sebagai bentuk pelecehan terhadap dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Gerakan dakwah yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab merupakan lanjutan dari perjuangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Inti dakwah mereka adalah mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta meninggalkan taqlid buta terhadap mazhab-mazhab fiqh yang telah membekukan potensi akal manusia pada saat itu. 

Dalam perkembangan selanjutnya di Mesir juga muncul tokoh pembaharu seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. Di Indonesia gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah). Dibeberapa belahan dunia lain juga banyak bermunculan tokoh-tokoh pembaharu yang bertujuan memurnikan ajaran Islam dari praktek bid`ah, syirik dan khurafat. Yang sangat disayangkan adalah banyak kalangan, khususnya dari kalangan ulama tradisional menghembuskan klaim-klaim sesat terhadap para pembaharu. Mereka menganggap dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul wahab adalah faham sesat dan tidak sesuai dengan prinsip ahlussunnah waljama’ah. Namun sayang, klaim sesat yang mereka lontarkan terkadang tidak sanggup dibuktikan secara ilmiah. Akhirnya pertentanganpun terus terjadi sampai hari ini. Khususnya di Indonesia bahkan ada beberapa tokoh Islam konservatif yang menyamakan wahabi dengan teroris. 

Pengaruh terhadap Pendidikan Islam

Diakui ataupun tidak klaim – klaim sesat yang dihembuskan oleh kalangan konservatif terhadap tokoh-tokoh wahabi telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan pendidikan Islam. Khususnya di Aceh, tuduhan sesat terhadap wahabi masih terus terjadi sampai saat ini. Bahkan ada sebagian tokoh-tokoh agama di Aceh khususnya yang berasal dari kalangan pesantren/dayah yang tidak segan – segan mengkafirkan orang-orang yang dianggap sebagai wahabi. Penyesatan ini tidak saja dilakukan ditempat-tempat pengajian tetapi juga di forum-forum terbuka seperti khutbah Jum’at. 

Pernah pada suatu ketika, beberapa murid di sekolah tempat penulis mengajar menjadi malas kesekolah karena menganggap pendidikan disekolah adalah pendidikan wahabi. Penulis sempat berfikir, tidak mungkin anak kecil seperti dia mengenal istilah wahabi jika tidak ada orang yang mengajarkan padanya. Setelah penulis teliti rupanya beberapa murid tersebut pada sore hari juga belajar disebuah pesantren yang tidak seberapa jauh dari sekolah. 

Di kesempatan lain penulis juga sempat terjebak perdebatan kecil dengan seorang guru pesantren (di Aceh dikenal dengan sebutan Teungku). Sebelum terjadi perdebatan kami sempat shalat bersama disebuah mesjid di Bireuen, Aceh. Kebetulan teungku tersebut yang menjadi imam shalat. Selepas shalat, teungku tersebut memulai zikir bersama dan dilanjutkan dengan berdoa. Rupanya sambil berdoa teungku tersebut melirik kearah sebagian jamaah yang tidak ikut berzikir dan tidak mengangkat tangan sewaktu teungku tersebut memimpin doa. Waktu itu penulis yang duduk pas disamping imam juga tidak mengangkat tangan. Selepas berdoa teungku tersebut berkata kepada penulis; “wahabi itu kafir dan bukan ahlusunnah masa berdoa saja tidak mau”. Penulis hanya tersenyum sambil berkata kepada teungku tersebut; anda punya ilmu, saya dan mereka (yang tidak angkat tangan) juga punya ilmu sedikit yang mungkin berbeda dengan ilmu teungku”. “Pokoknya wahabi itu kafir”, sambung teungku tersebut. Melihat kondisi sudah kurang kondusif penulis pamit dan keluar dari mesjid, menurut penulis tidak ada gunanya melakukan debat kusir dengan teungku tersebut yang Cuma mengandalkan dalil “POKOKNYA”. 

Pada suatu malam penulis sempat mengikuti pengajian di menasah (surau) dikampung penulis. Pada malam tersebut pengajian membahas tentang tata cara shalat. Sang teungku dengan semangatnya mengajarkan cara – cara shalat sampai pada bab meletak tangan sang teungku berkata; “ meletakkan tangan dalam shalat harus diatas pusar agak ke kiri, jangan letak diatas dada seperti orang kedinginan”. Penulis menyanggah pendapat teungku tersebut; “saya pernah membaca di kitab shifat shalat Nabi yang ditulis oleh Syaikh Al Bani bahwa meletak tangan diatas dada itu ada haditsnya dan shahih”. Teungku tersebut menjawab; “itu kitab wahabi kamu baca, apa kamu tidak tau wahabi itu sesat?”. 

Beberapa kasus yang pernah penulis temui tersebut setidaknya menjadi bukti kecil bahwa klaim-klaim sesat terhadap tokoh-tokoh pendidikan Islam berhaluan wahabi (dituduh sebagai wahabi) telah merusak khazanah pendidikan Islam. Kita semua juga yakin bahwa kejadian-kejadian serupa juga terjadi didaerah lain. Pada majelis-majelis tertentu materi pendidikan Islam Cuma terbatas pada pemikiran dan pendapat-pendapat tokoh pendidikan dari kalangan tradisional. Referensi pendidikan yang berasal dari tokoh wahabi menjadi terpinggirkan dan nyaris tidak terpakai. Dengan demikian pendidikan Islam menjadi sempit karena mereka terkurung dengan fatwa-fatwa ulama konservatif. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Hidayatullah.com

loading...

No comments