Pemuda Aceh, Dulu dan Kini


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Oktober 2014

Tanggal 28 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai hari “Sumpah Pemuda”, di mana kejadian sejarah tersebut menjadi titik awal bangkitnya para pemuda di tanah air. Sebagamana telah dicatat dalam sejarah bahwa ada tiga isu pokok yang didengungkan oleh pemuda kala itu, yaitu isu kebangsaan, tanah air dan bahasa. Pemuda Indonesia bersatu dan bahu-membahu dalam memperjuangkan ketiga slogan tersebut. 

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak hanya merumuskan aspirasi yang hidup di kalangan pemuda, tetapi sekaligus menciptakan arah perjuangan pemuda. Bahkan sampai saat ini Sumpah Pemuda tetap bermakna dalam kehidupan bangsa. Hal ini menjadi bukti bahwa perumusan Sumpah Pemuda bukan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan seketika. Sumpah Pemuda adalah tekad abadi yang mengikat setiap insan Indonesia akan fitrahnya yang terikat dalam kesatuan bangsa yang utuh (Ahmaddani, 1985).

Tentang sejarah kepemudaan di Indonesia, secara umum sampai saat ini masih bisa diakses secara mudah oleh masyarakat Indonesia, khsususnya para pelajar dan mahasiswa, melalui pelajaran wajib yang tersaji dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial, Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan yang dipelajari oleh seluruh lembaga pendidikan di setiap level, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. 

Namun tentang sejarah kepemudaan di Aceh secara khusus, nampaknya belum pernah dipelajari secara memadai oleh pemuda-pemuda Aceh. Hal ini sangat wajar, mengingat, dalam kurikulum pendidikan kita tidak memuat pelajaran tentang sejarah Aceh secara khusus. Jika pun ada, mungkin hanya sebatas sejarah Kerajaan Pasai, Kerajaan Aceh, kisah Teuku Umar, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Mutia – tak lebih dari itu, dan itu pun sudah lebih. Padahal pengetahuan tentang sejarah Aceh secara utuh sangat penting untuk diketahui oleh pemuda-pemuda kita, setidaknya untuk bisa mengenal Aceh lebih dekat.

Dalam tulisan singkat ini, penulis hanya menguraikan secara ringkas tentang semangat dan kontribusi yang telah diberikan oleh pemuda-pemuda Aceh di masa lalu, setidaknya sebagai bahan renungan kita semua. Sebagaimana dicatat oleh Ali Hasyimi (1985) bahwa atas usaha-usaha dari para pemuda Aceh, pada tahun 1916 telah didirikan cabang Syarikat Islam di Aceh. Dengan keseriusan pemuda-pemuda Aceh kala itu, organisasi ini berkembang sangat cepat di Aceh. Syarikat Islam adalah organisasi yang bersifat nasional yang saat itu diketuai oleh H.O.S. Cokroaminoto.

Di samping itu, pada tahun 1935 atas prakarsa dari Ali Hasyimi dan pemuda-pemuda Aceh yang belajar di Sumatera Barat, antara lain Said Abu Bakar, Muhammad Ali Piyeung dan Abdul Jalil Amin, dalam sebuah pembicaraan terbatas juga bermaksud mendirikan sebuah organisasi pemuda di Aceh. Dari perbincangan tersebut akhirnya dilaksanakanlah sebuah pertemuan besar yang melibatkan sekitar 50 orang pemuda Aceh yang diadakan di Montasik Aceh Besar. Pertemuan tersebut akhirnya melahirkan sebuah kesepakatan untuk mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) yang diketuai oleh Said Abu Bakar (Hasyimi, 1995: 71). 

Pada tahun 1939, setelah berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Matangglumpangdua yang diketuai oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh, untuk menampung aspirasi para pemuda juga dibentuk organisasi Pemuda PUSA yang diketuai oleh seorang pemuda pemberani bernama Tgk. Amir Husen Al-Mujahid (Hasyimi, 1985).

Pemuda Aceh juga terlibat aktif dalam berbagai aksi pergerakan kemerdekaan, baik pada masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang dan masa Revolusi Kemerdekaan. Sebagaimana telah dicatat oleh para penulis sejarah, bahwa kekosongan waktu antara 9 Agustus 1945 s/d 12 September 1945 telah dimanfaatkan secara cerdik dan heroik oleh para pemuda Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Peluang emas sebagai rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut benar-benar telah diaktualisasikan secara efektif oleh pemuda Indonesia dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta . 

Teuku Nyak Arief
Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia secara resmi baru diketahui oleh para pemuda Aceh pada 20 Agustus 1945. Sebelumnya berita proklamasi ini hanya diketahui oleh beberapa tokoh muda Aceh, di antaranya Husen Yusuf dan Ali Hasyimi. Mendengar kabar kemerdekaan tersebut, pada tanggal 23 Agustus 1945, seorang tokoh muda Aceh,T.Nyak Arif berkeliling kota seraya memamerkan bendera Merah Putih dengan melalui pemukiman dan kantor-kantor militer Jepang di Kuta Radja. Menyadari betapa beratnya tugas menjaga kemerdekaan, Teuku Nyak Arif juga menghimpun para pemuda Aceh yang ada di Kuta Radja, di antaranya Syamaun Gaharu, Teuku Hamid Azwar, Nyak Neh, Said Usman, Teuku Sarong, Said Ali, Usman Nyak Gade dan Bachtiar Idham. Pada perkembangan selanjutnya berdasarkan musyawarah yang diadakan oleh para pemuda tersebut terbentuklah Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan pada saat bersamaan lahir pula Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang diketuai oleh Ali Hasyimi (Jakobi, 1992: 1-11).

Semangat untuk merdeka dan lepas dari penjajahan telah menjadikan para pemuda Aceh rela berjuang mati-matian mengusir kafir penjajah dari bumi Aceh. Bermodalkan rasa nasionalisme yang tinggi, pemuda Aceh tidak hanya berjuang di kampung sendiri, tetapi para pemuda Aceh juga berbondong-bondong melakukan jihad di Medan Area pada saat terjadi agresi militer Belanda.

Pemuda Aceh Masa Kini

Setelah menyimak secebis riwayat pemuda Aceh tempoe doeloe sebagaimana telah diuraikan di atas, lantas bagaimana dengan pemuda-pemuda Aceh hari ini? Apa yang telah mereka sumbangkan untuk Aceh – tanah kelahiran yang telah diperjuangkan matian-matian oleh pemuda tempoe doeloe? Jika pemuda Aceh dulu dengan semangat membara mengusir penjajah, sebaliknya ada sebagian pemuda kita hari ini yang justru “bermental penjajah”. Jika pemuda Aceh dulu menjunjung tinggi syariat Islam, pemuda Aceh hari ini malah ada yang telah “menukar” agamanya dengan poker dan domino. Jika pemuda Aceh dulu terlibat aktif dan kreatif dalam membangun negeri, sebagian pemuda kita hari ini malah menjadi “gembong narkoba” dan merusak masa depan anak negeri dengan ganja dan sabu-sabu. Jika pemuda Aceh dulu menjadi pembimbing masyarakat, pemuda Aceh hari ini justru ada yang menjadi “tukang teror” dalam masyarakat. Tragis memang. 

Ilustrasi Pengguna Narkoba
Padahal, Aceh membutuhkan pemuda yang mampu berkarya demi tanah kelahirannya, bukan pemuda yang hanya “numpang hidup” dan “numpang mati”. Kita butuh pemuda yang mandiri dan berdikari, bukan pemuda yang “sok” kuliah di luar negeri, tapi “merengek” ingin jadi pegawai negeri. Kita butuh pemuda berjiwa reformis, bukan pemuda cengeng yang cuma bisa “mengemis”. Kita butuh pemuda yang punya jati diri, bukan pemuda yang menggadaikan idealisme demi sebungkus nasi. 

Namun demikian, penulis optimis, bahwa pemuda-pemuda tangguh masih ada dan akan selalu muncul di Aceh, meskipun dalam jumlah yang “sekarat”. Mereka adalah para pemuda yang menggunakan segenap potensi dan intelegensinya demi membangun negeri. Meskipun di tengah “badai”, mereka tetap berkiprah sesuai bidangnya masing-masing. Pemuda tangguh akan mengabdikan diri sesuai profesi yang digeluti. Seorang dokter akan melayani pasiennya tanpa pandang bulu, seorang guru akan mencerdaskan anak-anak negeri tanpa mengeluh, seorang polisi dan tentara akan memberikan rasa aman kepada rakyatnya, seorang politisi akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan tidak menjadikan mereka sebagai komoditi. Demikian pula dengan seorang Gubernur atawa Bupati akan memastikan agar rakyatnya tetap bisa tersenyum dan tidak membiarkan mereka “mengikat perut”. 

Sudah saatnya pemuda Aceh bangkit dan berdedikasi untuk negeri. Di tangan pemuda-lah negeri ini dititipkan oleh para indatu. Negeri ini tidak akan bernilai jika pemuda-pemudanya “lalai”. Harapan untuk melakukan perubahan ada di pundak para pemuda. Kita tentu masih ingat bahwa bapak pendiri bangsa, Soekarno pernah berujar: “berilah aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. Bangkitlah pemuda Aceh!” Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia. Artikel ini juga dikutip secara penuh oleh KNPI Aceh Tamiang.


loading...

No comments