Para Pemuja “Budaya Kafir”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 01 Januari 2013

Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim penulis memulai tulisan ini sebagai tulisan pertama di awal tahun 2013 Masehi. Sebelum masuk dalam pembahasan, perlu penulis tegaskan bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk memojokkan siapapun, tidak pula sebagai pelecehan dan bukan pula bentuk provokasi. 
Penyebutan “kafir” dalam tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menghukumi seseorang atau kelompok tertentu, karena seorang muslim tidak diberi kewenangan oleh Allah ‘Azza Wajalla untuk mengkafirkan saudaranya sesama muslim. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan bahwa jika kita mengkafirkan orang lain dan orang yang kita tuduh tersebut bukan kafir maka kekafiran tersebut akan kembali kepada si penuduh. 

Penulis terinspirasi untuk menulis tulisan ini setelah melihat beberapa perilaku kaum muslimin yang dengan “semangat 45” ikut menyemarakkan perayaan tahun baru 2013 Masehi dengan cara-cara yang lazim dilakukan oleh orang-orang kafir. Aceh sebagai “markas besar” syari’at Islam di Indonesia juga tidak absen dalam perayaan tersebut. Beberapa media lokal di Aceh memberitakan bahwa masyarakat Aceh juga terlibat aktif dalam perayaan pergantian tahun 2012-2013. Banda Aceh yang konon pernah disebut-sebut sebagai “bandar wisata Islami” pada malam tersebut justru menjadi sentral utama perayaan pergantian tahun. Kemana ibu Wakil Walikota Banda Aceh yang katanya punya komitmen untuk memberangus maksiat di Banda Aceh?

The AtjehLink, sebuah situs berita lokal di Aceh mengabarkan bahwa pada detik-detik malam pergantian tahun baru di Simpang Lima Banda Aceh dipenuhi oleh lautan manusia yang berjumlah ratusan ribu orang. Di kawasan tersebut terdengar hiruk pikuk dan riuhnya suara terompet serta dentuman suara letusan kembang api yang diikuti terangnya percikan sinar kembang api ke udara. (AtjehLink, 01/01/13).

The AtjehPost juga mengabarkan bahwa di depan Hotel Hermes Banda Aceh ratusan orang juga menikmati perayaan tahun baru dengan cara melepaskan Lampion ke udara (The AtjehPost, 01/01/13). Kabupaten Bireuen sebagai pelaksana hukuman cambuk pertama di Indonesia juga tidak ketinggalan dalam perayaan tahun baru, meskipun tak semegah yang terjadi di Banda Aceh namun letusan mercon dan percikan kembang api turut meramaikan malam pergantian tahun di Kota Juang tersebut.

Padahal sebelumnya pihak MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh telah menyerukan kepada masyarakat Aceh untuk tidak melakukan huru-hara dan merayakan tahun baru dengan cara-cara yang melanggar syariat Islam. Namun seruan tinggal seruan, bujuk rayu syaithan la’natillah telah merasuk ke dalam sanubari sebagian masyarakat Aceh sehingga mata mereka menjati buta dan telinga mereka menjadi tuli.

Budaya Kafir

Dalam Islam tidak dikenal istilah perayaan tahun baru, jangankan tahun baru Masehi yang notabene merupakan tahunnya kaum nashrani (Kristen), tahun baru Islampun tidak pernah dianjurkan untuk dirayakan, apalagi dengan cara-cara yang bathil dan melanggar ketentuan syariat. Tidak ada perayaan dalam Islam kecuali untuk dua hari saja yang memiliki landasan dari syari’at, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, selain dari dua hari tersebut tidak ada perayaan yang memiliki landasan hukum yang kuat, sebagaimana hal tersebut sudah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.

Foto Google.com
Perayaan tahun baru yang terjadi di beberapa tempat di Aceh, khususnya di Banda Aceh adalah sebuah bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir yang hal tersebut secara jelas dilarang oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa; barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari kaum tersebut. Perayaan malam tahun baru sudah jelas-jelas merupakan budaya kafir nashrani yang sangat tidak patut untuk diikuti oleh muslim khususya orang Aceh yang kononnya dikenal sangat fanatik dengan Islam. 

Dalam perayaan tersebut dikabarkan bahwa ada masyarakat di Aceh yang rela menghabiskan uangnya sampai jutaan rupiah hanya untuk membeli mercon dan kembang api untuk kemudian dibakar. Ironisnya, untuk bersedekah sebagian kita merasa berat, tapi untuk membakar mercon dalam perayaan tahun baru enteng-enteng saja kita keluarkan sejumlah uang tanpa sungkan.

Ambigu

Dalam pandangan penulis sebagian masyarakat Aceh tampak “ambigu” dalam memandang syari’at Islam. Di satu sisi sebagian masyarakat Aceh menyatakan sepakat untuk menjalankan syariat Islam di Aceh apalagi mayoritas penghuni Aceh adalah muslim. Hal ini turut didukung dengan status otonomi khusus sehingga Aceh diberi hak oleh undang-undang untuk dapat menjalankan syariat Islam. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat Aceh justru melanggar dan melecehkan syari’at Islam dalam berbagai aktivitas hariannya termasuk dalam perayaan tahun baru. Masyarakat kita akan sangat gelisah dan marah bercambur benci jika mereka mendengar ada aliran sesat yang masuk ke Aceh, namun tanpa sadar sebagian masyarakat Aceh justru terjebak dalam praktek-praktek budaya sesat yang notabene adalah produk kafir seperti meniup terompet dan menghamburkan uang di malam tahun baru.

Aksi perayaan tahun baru yang terjadi di beberapa tempat di Aceh jelas-jelas merupakan pelecehan dan pengkhianatan besar terhadap syari’at Islam yang selama ini digembar-gemborkan oleh masyarakat Aceh. Pemerintah Aceh yang katanya memiliki komitmen tinggi untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh juga tampak layu dan tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah perayaan tahun baru di Aceh. Di samping itu, bencana tsunami delapan tahun lalu yang memporak-porandakan Aceh ternyata belum mampu mengubah perilaku menyimpang sebagian masyarakat Aceh, atau mungkin masyarakat Aceh telah lupa? Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments