MURNIKAN TAUHID DARI SYIRIK


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 29 Januari 2012

Sumber: muslim.or.id
 Meskipun persoalan tauhid sudah sangat sering dibicarakan baik dibuku, majalah, media cetak, media online, sekolah dan juga majlis-majlis pengajian namun persoalan ini merupakan hal yang sangat penting untuk terus dikaji guna memantapkan pengetahuan kita tentang perkara tersebut. Para ulama membagi tauhid kepada tiga bentuk; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma wa shifat. Tauhid rububiyah adalah keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap muslim tentang kesendirian Allah dalam hal penciptaan alam (termasuk manusia) dan dalam hal pemeliharaan. Kita semua mesti yakin bahwa Cuma Allah saja yang mengatur dan memelihara jagat raya ini. Allah tidak bersekutu dengan siapapun dalam hal penciptaan dan pemeliharaan. Dengan demikian gugurlah anggapan orang-orang yang mengganggap bahwa dukun dan paranormal mampu memberi manfaat dan mudharat kepada manusia. 

Tauhid uluhiyyah adalah tauhid dalam hal penyembahan. Sebagai mukmin kita harus yakin bahwa Cuma Allah yang patut disembah, tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Tidak ada sekutu terhadap Allah dalam hal penyembahan. Allah tidak memiliki anak sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang nasrani (kristian) dan Yahudi. Nasrani tersesat karena menganggap Isa bin Maryam ‘Alaihissalam sebagai anak Allah, demikian juga Yahudi yang menyekutukan Uzair ‘Alaihissalam dengan Allah. Dengan demikian terlaknatlah orang-orang yang menjadikan kubur orang – orang ‘alim sebagai tempat mereka meminta dan berdoa. Mereka tidak ada bedanya dengan kaum jahiliyah yang menjadikan Latta, ‘Uzza dan Manat sebagai sesembahan selain Allah. 

Yang terakhir adalah tauhid asma wa shifat; adalah keyakinan kita bahwa Allah memiliki nama-nama yang baik (asmaul husna) dan memiliki sifat-sifat ketinggian yang Allah menyifatkan diri dengannya. Kita harus yakin dan percaya bahwa Cuma Allah yang memiliki sifat seperti itu dan tidak dimiliki oleh makhluk selainnya. Terhadap sifat-sifat Allah kita harus menerimanya sebagaimana di datangkan tanpa melakukan ta’thil, tahrif, takyif dan tamtsil.

Ta’thil adalah membatalkan sifat – sifat Allah dan mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut. sedangkan tahrif adalah memalingkan makna dari sifat Allah kepada makna yang bathil dan tidak sepadan. Takyif adalah menanyakan tentang kaifiyat atapun tata cara tentang bentuk dari sifat Allah. Sedangkan tamtsil adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. 

Jangan Sekutukan Allah dengan Siapapun

Salah satu rukun Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat; “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah. Kalimat ini terdiri an nafyu dan al isbat. Kalimat “tidak ada Tuhan” adalah bentuk daripada nafyu yaitu menafikan semua Tuhan yang lain (yang oleh sebagian manusia dianggap sebagai Tuhan seperti Yesus dalam ajaran Kristen ataupun Api dalam ajaran Majusi). Sedangkan kalimat “kecuali Allah” adalah bentuk dari isbat (menetapkan) bahwa Cuma Allah saja Tuhan yang patut disembah. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah. Kita harus mengingkari tuhan-tuhan palsu dan menetapkan dalam hati dan pikiran kita bahwa Cuma Allah Tuhan yang patut disembah oleh manusia. Tidak ada Tuhan selain Allah. 

Ilustrasi. Sumber: akhjoko.blogspot.com
Dalam surat Al-Ikhlas, Allah menetapkan diriNya bahwa Dia adalah Esa (satu), tidak beranak dan juga tidak ada yang setara dengannya. Ini adalah inti daripada tauhid, umat Nasrani tersesat karena mereka menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah anak Allah, demikian juga dengan kaum jahiliyah yang tersesat karena menjadikan berhala sebagai tandingan dari Allah. 

Jika kita ingin meminta, mintalah kepada Allah karena Cuma Allah tempat meminta. Jangan meminta sesuatu kepada makhluk kecuali apa yang disanggupi olehnya. Hal ini sering diplesetkan oleh sebagian masyarakat kita. Ketika kita katakan kepada mereka bahwa meminta kepada selain Allah adalah syirik, mereka balik bertanya; apakah para pengemis juga syirik karena mereka meminta belas kasihan kepada manusia? Menurut penulis pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan konyol yang sering keluar dari mulut-mulut orang yang jahil. Apabila kita meminta kepada manusia sesuatu yang disanggupi olehnya tidaklah dikatakan syirik, seperti meminta uang kepada orang tua untuk membeli permen karet. Ini tidak syirik Bung! Tanya kenapa? Karena orang tua kita memiliki kemampuan untuk memberikan uang kepada kita. Berbeda halnya dengan sebagian orang yang meminta bantuan dukun agar mendapat kekayaan, ini baru Syirik namanya. Kenapa? Karena tuan dukun tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi keinginan kita, buktinya dia sendiri tidak pernah kaya. Cuma Allah saja yang mampu memberi rizki kepada seluruh makhluk yang ada di alam ini. Demikian juga dengan perilaku sebagian orang yang meminta kepada orang ‘alim yang sudah mati. Perlu diketahui dan diyakini bahwa orang yang sudah mati tidak akan mampu memberi manfaat maupun mudharat kepada orang yang masih hidup. Mereka (orang yang sudah mati) memiliki kesibukan tersendiri di dalam kubur dan tidak sempat mengurusi orang yang masih hidup. Khususnya di Aceh, perilaku ini masih terjadi di beberapa tempat, sebagian masyarakat kita bernazar dan meminta dikuburan orang-orang ‘alim yang sudah mati ratusan tahun yang lalu. Tidak diragukan lagi bahwa perilaku ini adalah Syirik tulen apapun alasannya. Di setiap shalat kita membaca surat Al-Fatihah ; “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”; hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan. Fakta ini juga sering diplesetkan oleh sebagian orang dengan mengatakan bahwa, “kami tidak meminta kepada orang mati, kami Cuma menjadikan mereka sebagai washilah (penghubung) antara kami dan Allah”. Perumpamaan ini adalah perumpamaan yang bathil dan salah besar. Bagaimana mungkin kita menyetarakan Allah dengan makhluk (orang ‘alim yang sudah mati). Jika ingin meminta dan berdoa, mintalah langsung kepada Allah, tidak perlu memakai jasa orang mati sebagai “agen”. Jika perilaku ini terus kita pertahankan apa bedanya kita dengan kaum jahiliyah yang menjadikan “Latta, Uzza dan Manat” sebagai washilah untuk meminta kepada Allah? Wallahu Waliyut Taufiq.


*Referensi: (1) Ibnu Taimiyah; Aqidah Washitiyah, (2) Muhammad bin Zaid Al Madkhaly; Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahab, (3) Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarah Tsalasatul Ushul.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di The Aceh Traffic

loading...

No comments