MONSTER POLITIK ALA “MIE AGAM“


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 30 Januari 2011

Ilustrasi Monster. Sumber: www.clancodes.com
Secara sederhana “monster“ dapat diartikan dengan binatang, orang, atau tumbuhan yang bentuk atau rupanya sangat menyimpang dari kebiasaan. Monster berasal dari bahasa latin "monstrum" yang akar katanya adalah "monere" berarti "memperingatkan". Bisa juga mengandung arti "keajaiban" atau "keanehan". Pengertian "monster" sering diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi atau diluar kebiasaan dari hukum alam. Selain itu monster juga mempunyai andil yang buruk terhadap keberlangsungan suatu ekosistem. Seperti mempunyai kemampuan untuk menghancurkan kehidupan manusia atau lingkungan manusia, daripada sekedar contoh kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang kurang mendukung kehidupannya (wikipedia).

Seseorang dikatakan sebagai monster apabila dia dianggap oleh lingkungannya luar biasa jahat, memiliki keanehan fantastis, tidak punya alasan yang jelas untuk begitu tegas dan tidak memperhatikan lingkungan, bahkan berbuat sadis. Dapat disimpulkan bahwa kata "monster" berhubungan dengan "sesuatu yang salah / jahat" dan ini berlaku lebih luas lagi seperti di bidang moral, fisik, psikis, atau secara biologis (pada pengertian yang berbeda) seperti keanehan yang terjadi pada mahluk-mahluk yang terlihat janggal. 

Politik Kucing

“Sifeut mie agam“ adalah salah satu istilah yang berkembang di Aceh yang mungkin saja bisa kita serupakan dengan istilah monster. Mie agam (baca ; kucing jantan) sangat tidak suka jika ada kucing jantan lain yang hidup dilingkungannya. Dengan segala upaya mie agam akan membunuh kucing-kucing jantan lain baik yang sudah dewasa maupun kucing yang masih bayi apabila berjenis kelamin jantan. Perilaku ini memang sudah turun-turun dan sudah menjadi tradisi dari nenek moyangnya kucing. Meskipun memiliki reputasi sebagai hewan penyendiri, kucing biasanya dapat membentuk koloni liar. Setiap kucing memiliki daerahnya sendiri (jantan yang aktif secara seksual memiliki daerah terbesar, sedang jantan steril memiliki daerah paling kecil) dan selalu terdapat daerah "netral" dimana para kucing dapat saling mengawasi atau bertemu tanpa adanya konflik teritorial atau agresi. Di luar daerah netral ini, penguasa daerah biasa akan mengejar kucing asing, diawali dengan menatap, mendesis, hingga menggeram, dan bila kucing asing itu tetap tinggal, biasanya akan terjadi perkelahian singkat. Kucing yang sedang berkelahi menegakkan rambut tubuh dan melengkungkan punggung agar mereka tampak lebih besar. Serangan biasanya terdiri dari tamparan di bagian wajah dan tubuh dengan kaki depan yang kadang disertai gigitan. Luka serius pada kucing akibat perkelahian jarang terjadi karena pihak yang kalah biasanya akan mundur setelah mengalami beberapa luka di wajah. Kucing jantan yang aktif biasanya sering terlibat banyak perkelahian sepanjang hidupnya, bahkan kucing steril pun akan mempertahankan daerah kecilnya dengan gigih (Wikipedia). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kucing juga bisa dikatagorikan sebagai monster.

Ala Fir`aun

Sebenarnya ada satu contoh lagi perilaku politik yang tidak patut di contoh dan sebisa mungkin harus dihindari. Kita semua pasti ingat dengan kisah kekejaman Fir`aun yang diceritakan dalam Al-Quran. Kisah ini di ulang-ulang dalam beberapa ayat untuk mengingatkan umat manusia agar tidak mencontoh perilaku tersebut. Adalah Fir`aun seorang raja terkejam yang memerintah di Mesir kuno. Saya Cuma ingin membahas sedikit tentang strategi politik ala Fir`aun. Diceritakan dalam Al-Quran bahwa hanya karena takut kekuasaannya akan runtuh Fir`aun mengeluarkan peraturan (zaman sekarang mungkin sejenis Kepres atau PerGub) untuk membunuh setiap bayi yang berjenis kelamin laki-laki dari bani Israil. Bayangkan hanya demi kepentingan kekuasaan hampir saja bani Israil punah dari muka bumi. Namun tanpa disadari oleh Fir`aun dengan izin Allah SWT dia dikalahkan oleh anak angkatnya sendiri (Nabi Musa As). Fakta ini menjadi bukti bahwa setiap kedhaliman dimuka bumi tidak akan kekal dan akan runtuh. Semoga saja perilaku politik Fir`aun yang kejam ini tidak dicontoh oleh aktor-aktor politik yang ada di Aceh. Tujuan saya mengangkat cerita Fir`aun ini hanya sebagai informasi pelengkap bukan sebagai referensi utama.

Nah, menyikapi perkembangan politik di Aceh saat ini banyak kita temui aktor-aktor politik yang sepertinya tertarik dan bahkan mungkin sudah mengadopsi karakteristik dari monster dan mie agam yang sudah saya jelaskan tadi. Jika para kucing mempertahankan daerahnya dengan cara membunuh kucing lain hanya karena pengaruh seksual, maka para aktor politik akan mempertahankan karir dan eksistinsi partainya dengan cara membabat habis gerakan-gerakan politik dari kelompok lain. Hal ini dapat kita lihat dari sikap beberapa pihak yang menentang kehadiran calon independen bahkan menolak keputusan MK tentang diperbolehkannya calon independen di Aceh. Penolakan ini juga merupakan implementasi dari sifat-sifat para tokoh kucing.

Ironisnya di Aceh perilaku monster ala mie agam tidak hanya dilakukan oleh aktor politik tetapi juga (maaf) sudah mulai diterapkan oleh KIP Aceh dengan pernyataan Robby Syahputra beberapa waktu lalu yang berencana memperketat verifikasi calon independen dengan agar tidak terjadi manipulasi data dukungan dan penetapan syarat tak sebatas fotocopy KTP tetapi wajib menyertakan surat pernyataan bermaterai dan verifikasi faktual data dukungan masyarakat untuk setiap calon independen pada Pilkada 2011 akan diperketat dan verifikasi dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan keabsahaan dukungan yang dibuktikan dengan surat dukungan dan lampiran KTP dilakukan satu per satu . Fakta ini membuktikan bahwa KIP Aceh sudah mulai mengadopsi trik-trik politik monster ala mie agam. Persoalan pihak KIP telah melakukan klarifikasi di Serambi Indonesia (pernyataan Ilham Saputra) yang menyatakan bahwa KIP tidak mempersulit calon independen menurut saya adalah salah satu bentuk praktek ilmu bela diri yang coba diperagakan oleh KIP Aceh. Semoga saja dugaan saya meleset. 

Seperti saya jelaskan diatas bahwa selain kucing jantan aktif (kucing jahat) para tokoh kucing jantan steril (kucing baik) juga akan mempertahankan daerah kekuasannya dari serangan kucing jahat. Sikap inilah yang dilakukan oleh Tim Advokasi Calon Independen Safaruddin SH, Ketua LSM Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh Auzir Fahlevi SH, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Rakyat Aceh Thamren Ananda, dan Sekretaris Majelis Tinggi Partai SIRA Faisal Ridha dengan menentang keputusan KIP Aceh yang hendak menyulitkan calon independen. Semoga saja penentangan terhadap kedhaliman ini yang dilakukan oleh para tokoh muda Aceh menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk lebih berani melawan kedhaliman dan ketidak adilan yang diperankan oleh tokoh-tokoh politik yang memainkan politik ala kucing.

Agar masyarakat mudah mengenal monster-monster politik ala mie agam berikut akan saya jelaskan ciri-ciri umum dari mereka di antaranya; 1) melakukan intimidasi kepada masyarakat baik secara fisik ataupun mental dalam bentuk pengancaman , 2) menyebarkan isu-isu sensitif kepada masyarakat yang hakikat isu tersebut tidak dapat dimengerti seperti memaksa masyarakat untuk memilih awak droeteuh, istilah “ awak droeteuh “ adalah istilah yang sulit diterjemahkan secara ilmiah, 3) menyebarkan slogan-slogan provokatif seperti kata-kata “bek kapileh pengkhianat”, atau istilah lain “ awak lhab darah bangsa “ entah siapa yang dimaksud pengkhianat dan awak lhab darah bangsa, saya sudah berusaha meneliti dan mencari makna istilah tersebut di kamus tetapi saya belum menemukan jawabannya sampai sekarang, 4) membuat fatwa-fatwa aneh dan tidak masuk akal seperti kata-kata “nyoe peunutoeh endatu teuh“, saya juga sudah berusaha mencari lembaga atau dewan penutoeh di beberapa tempat di Aceh tetapi sampai sekarang juga belum saya temukan, entah di mana lokasinya dan kapan penutoeh itu dibuat tidak seorang pun tahu. Semoga saja masyarakat memahami gerak-gerik monster politik ala mie agam yang sudah mulai bergentayangan menjelang Pilgub dan Pilbub 2011 mendatang. Sekian. Wallahu`a`lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

1 comment: