Merajut Ukhuwah di Hari Fitri


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 29 Juli 2014
Dalam Islam, istilah hari raya lebih dikenal dengan sebutan “ied”. Ada dua hari raya yang setiap tahun dirayakan oleh kaum muslimin, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa kata “ied” berasal dari ‘aada–ya’uudu yang bermakna kembali. Namun ada pula ahli bahasa yang menyatakan kata “ied” berasal dari al–‘aadah dengan bentuk jamak a’yaad yang bermakna “karena mereka membiasakannya”.


Sementara itu, Ibnul A’rabi dalam Lisanul ‘Arab mengatakan bahwa disebut dengan al–‘ied karena hari raya berulang setiap tahunnya dengan kegembiraan yang baru. Dalam Hasyiah Ibnu ‘Abidin juga disebutkan bahwa dinamakan dengan al–‘ied karena Allah memiliki berbagai macam kebaikan yang kembali kepada hamba–hambaNya di setiap harinya, di antaranya berbuka setelah dicegah dari makan (puasa), shadaqah fitrah, menyempurnakan ibadah haji dengan thawaf, ziarah dan daging sembelihan. Karena kebiasaan yang ada ini, di dalam hari raya terdapat kebahagiaan, kegembiraan dan semangat. (Bahanan, 2007: 178).

Telah menjadi kelaziman di tengah masyarakat kita, bahwa hari raya, khususnya Idul Fitri dimaknai sebagai hari untuk saling bermaafan antar sesama muslim. Selepas pelaksanaan shalat ied, kita menyaksikan orang–orang saling bersalaman seraya meminta maaf satu sama lain. Namun demikian, menurut sebagian ulama tidak ada dalil khusus tentang anjuran meminta maaf di hari raya, mengingat Islam mengajarkan kita untuk meminta maaf kapan saja kita melakukan kesalahan tanpa harus menunggu hari raya. Meskipun demikian, saling bermaafan di hari raya telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di tengah masyarakat sehingga logis saja jika tradisi tersebut dipertahankan, mengingat hari raya merupakan ritual tahunan dan sebagai media untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak kerabat.

Demikian pula dengan pemaknaan Idul Fitri juga terdapat perbedaan di kalangan umat Islam. Sebagian pihak memaknai Idul Fitri sebagai hari kemenangan, di mana mereka meyakini bahwa di hari Idul Fitri setiap muslim kembali kepada fitrah (suci) seperti bayi yang baru dilahirkan. Sementara di lain pihak (insya Allah ini yang benar), ada pula yang memamahami bahwa Idul Fitri sebagai hari untuk berbuka (ifthar) setelah sebulan penuh berpuasa dan tidak ada hubungannya dengan fitrah (suci). Untuk menyatukan dua persepsi tersebut tentunya sangat sulit, mengingat kedua pihak memiliki argumen masing-masing dalam mempertahankan pendapatnya.

Merajut Ukhuwah 

Terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, hendaknya Idul Fitri menjadi momentum bagi kita semua untuk kembali merajut ukhuwah. Dalam Alquran Allah menyatakan bahwa setiap mukmin itu bersaudara, jika ada mukmin yang berselisih, maka menjadi kewajiban bagi kita untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tersebut. Dalam banyak hadits, Rasul juga menyebutkan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa antara mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu tubuh, jika satu bagian merasa sakit, maka seluruh tubuh juga akan merasakan hal yang sama. Dari berbagai analogi yang telah disajikan dalam Alquran dan sunnah tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita untuk saling bermusuhan.

Perbedaan dalam pemahaman agama, khususnya dalam hal furu’iyah, janganlah membuat kita saling menggepal tangan dan membuang muka. Perbedaan adalah sunnatullah, agar kita bisa saling melengkapi dan saling memahami. Selama kita masih bisa bersepakat dalam hal-hal ushul, maka kita adalah saudara. Adapun perbedaan furu’iyah merupakan bagian dari keragaman dan kekayaan khazanah Islam yang tak perlu dipertentangkan. Kita boleh saja menganggap pemahaman kita sebagai paling benar, namun kita tidak patut secara tergesa-gesa menyalahkan pemahaman orang lain, apa lagi sampai menuduhnya sesat. Jika selama ini kita telah terlanjur bertegang urat saraf sesama muslim, maka jadikanlah momen Idul Fitri sebagai media untuk kembali merajut ukhuwah dan hendaknya kita menjaga ukhuwah tersebut agar tetap berkekalan.

Demikian pula dengan perbedaan pandangan politik pada Pipres 9 Juli lalu, jangan dijadikan senjata untuk mempertahankan permusuhan sesama muslim. Perbedaan pilihan politik dalam pentas demokrasi merupakan dinamika yang tak dapat dihindari. Hendaknya perbedaan tersebut menjadi ajang bagi kita untuk belajar menghargai satu sama lain, jangan justru dijadikan sebagai alasan untuk saling memutuskan silaturrahmi dan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah.

Adalah hal yang tak dapat dipungkiri, bahwa Pilpres 2014 yang baru saja usai merupakan ajang politik terpanas sepanjang sejarah Indonesia, di mana hampir seluruh pihak terlibat aktif dan terbelah ke dalam dua kubu besar. Namun pemilu sudah usai, sudah saatnya dalam momen Idul Fitri tahun ini kita merajut kembali benang-benang persaudaraan yang selama ini telah putus, jangan justru mengeluarkan berbagai statement panas yang mengakibatkan benang persaudaraan menjadi tambah kusut. Mari berjabat tangan dan saling melempar senyum. Selamat Idul Fitri 1435 H. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments