Menggugat Premanisme di Aceh


Oleh : Khairil Miswar 

Bireuen, 14 Mei 2011

Ada perasaan geram ketika saya membaca berita di halaman depan Harian Aceh (sabtu 14 Mei 2011) dengan tajuk “ Ghazali Abbas Diserang Sekelompok Orang “. Sebuah perilaku yang sudah mulai membudaya di Aceh dan sudah terjadi berulangkali di tempat dan waktu yang berbeda. Sebagian orang menganggap kejadian seperti ini adalah hal yang biasa terjadi didaerah yang baru saja didera konflik seperti Aceh. Namun menurut hemat saya perilaku ini bukan semata-mata lahir karena konflik, buktinya tidak semua masyarakat Aceh berperilaku bringas seperti mereka. 

Melihat perilaku tersebut tidak ada bedanya kondisi masa konflik dengan kondisi hari ini yang katanya telah aman dan damai. Rakyat belum merasakan kebebasan yang sempurna seperti bebasnya para budak dari tuannya. Seorang budak ketika telah dimerdekakan oleh tuannya dia dapat melakukan apa saja sesuai keinginannya tanpa merasa diawasi oleh sang tuan. Berbeda dengan rakyat Aceh hari ini, meskipun perang telah usai namun masih dibanyangi oleh ketakutan dan kecemasan yang terkadang muncul dengan sendirinya akibat ulah para preman yang saban hari beraksi di Aceh. 

Kejadian di Gampong Pango, Kemukiman Bambong, Kecamatan Delima, Pidie yang menimpa Ghazali Abbas hanyalah sebuah contoh kecil dari sejumlah perilaku premanisme yang saat ini berlaku di Aceh. Jika setiap kejadian premanisme di Aceh dicatat dan dikumpulkan sungguh akan melahirkan 10 jilid buku besar. Demikian beragamnya aksi premanisme di Aceh dari skala yang paling kecil hingga skala besar seperti pengeroyokan terhadap ketua PWI Pidie beberapa hari lalu. 

Aksi premanisme paling ringan adalah aksi “ blie “ (menggertak dengan membelalakkan mata kepada lawan bicara). Meskipun ringan aksi ini terbilang berhasil membuat masyarakat ketakutan dan cemas. Kemudian aksi premanisme skala menengah adalah dengan cara memaki dan mengancam jika ada masyarakat yang melawan keinginan mereka (preman). Selanjutnya jika aksi “ blie “ dan makian (ancam) tidak berhasil si preman tidak segan-segan menggunakan jurus pamungkasnya seperti yang menimpa Ghazali Abbas dan ketua PWI di Pidie. 

Merasa diri Super Hero

Aksi premanisme yang kerap kali terjadi di Aceh tidak lepas dari sikap sebagian orang yang merasa diri super hero dan memiliki kekuatan super power. Sikap fanatik yang berlebihan terhadap kelompok sendiri dan menganggap orang-orang diluar kelompok mereka sebagai budak yang bisa diatur sesuka hatinya. Mereka merasa memiliki derajat paling tinggi dan menganggap rendah orang lain. Seolah-olah bumi ini hanya diciptakan khusus untuk mereka (para preman). Mereka merasa dirinya paling benar dan paling suci. 

Ilustrasi. Sumber: kecilamass.blogspot.com
Di hadapan mereka (para preman) kita tidak lebih hanya sebagai penonton yang terkadang “terpaksa “bertepuk tangan ketika melihat mereka beraksi. Meskipun aksi mereka terkadang bertentangan dengan akal sehat namun tidak ada pilihan lain bagi kita selain tunduk kepada keputusan konyol mereka yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai aturan keramat tanpa boleh dibantah sedikitpun. 

Disadari ataupun tidak kehidupan kita belum bebas, kita masih dibayangi oleh fatwa-fatwa liar yang keluar dari mulut para preman. Hampir setiap episode kehidupan kita dipengaruhi oleh kekuatan “maop“ yang terus bergentayangan. Mata mereka terus mengawasi kita, seperti mata elang yang mengawasi mangsa. Entah sampai kapan?

Kenapa dengan Ghazali Abbas?

Diberitakan bahwa Ghazali Abbas dalam ceramahnya mengajak masyarakat untuk berhubungan baik sesama manusia, jangan membuat rusuh dimuka bumi. Dalam mendapatkan harta harus dengan jalan yang benar, tidak boleh mengutip pajak liar dari masyarakat. Kalau kalah ikut tender jangan merusak kantor, memukul Pimpro, juga jangan suka minta fee proyek kepada rekanan (Harian Aceh, 14 Mei 2011). Memangnya apa yang salah dengan ajakan Ghazali Abbas? Orang-orang yang waras tentu akan berfikir seribu kali untuk menurunkan seorang pendakwah dari podium, apalagi yang disampaikan oleh pendakwah adalah ajakan kepada kebaikan. 

Ghazali Abbas Adan. Sumber: aceh.tribunnews.com
Saya akan mencoba menjelaskan beberapa ajakan Ghazali Abbas ditinjau dari segi agama. Pertama, berhubungan baik sesama manusia, jangan membuat rusuh dimuka bumi ; ini adalah perintah Allah Swt yang termaktub dalam Al-Quran. Allah Swt sangat membenci perilaku orang-orang yang membuat kerusakan dimuka bumi. Ghazali Abbas Cuma menyeru dan menyampaikan perintah Allah Swt, jika ada pihak yang merasa keberatan itu sah-sah saja, namun keislaman mereka perlu dipertanyakan kembali. 

Kedua, dalam mendapat harta harus dengan jalan yang benar, tidak boleh mengutip pajak liar dari masyarakat ; Allah Swt dan Rasulnya Muhammad Saw senantiasa memerintahkan kita untuk memperoleh harta dengan cara yang halal dan diridhai oleh Allah Swt. Setiap harta yang kita peroleh akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt dihari perhitungan kelak. Setiap kita akan ditanya dari mana kita mendapatkan harta tersebut dan kemana kita menafkahkannya. Jadi wajar saja para pendakwah memperingatkan kita akan hal ini. Mengenai pajak liar sebenarnya Rasulullah Saw sebagai suri tauladan bagi kita telah memberikan contoh tentang tata cara pengutipan pajak. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhamamad Saw selain sebagai Rasul juga juga sebagai kepala pemerintahan di Negeri Madinah. Dalam pemerintahannya Nabi Muhammad Saw hanya mewajibkan zakat bagi kaum muslimin sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Pajak hanya berlaku kepada masyarakat non muslim sebagai bukti kepatuhan dan rasa tunduk mereka kepada pemerintahan Islam. Jagi sangat tidak wajar ketika ada sebagian orang yang mengutip pajak kepada masyarakat dengan alasan yang tidak jelas dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Ketiga, Kalau kalah ikut tender jangan merusak kantor, memukul Pimpro, juga jangan suka minta fee proyek kepada rekanan ; perilaku ini sebenarnya masuk dalam katagori melakukan kerusakan dimuka bumi. Jika setiap orang yang kalah tender merusak kantor saya yakin suatu saat tidak ada lagi kantor di Aceh. Misalnya saja satu orang kalah tender merusak satu kursi kantor, bayangkan jika setiap tahunnya ada seratus orang yang kalah tender, karena tidak ada lagi barang dikantor yang bisa dirusak akhirnya mereka merusak pagar kantor atau barang-barang lain yang berhubungan dengan kantor. Perilaku ini biasanya hanya dimiliki oleh anak kecil umur lima tahun. Ketika ayahnya tidak mau membelikan permen karet, si anak kecil tersebut biasanya akan membanting apa saja yang ada dirumah. Hanya karena permen karet yang harganya tidak lebih dari lima ratus perak semua piring, gelas, cangkir bahkan kaca lemari dirusak oleh si anak. Namun jika perilaku ini diperankan oleh anak masih bisa ditolerir karena akalnya yang belum sempurna. Tetapi coba bayangkan jika aksi seperti ini dilakukan oleh mereka yang sudah beruban, umurnya mungkin sudah lebih setengah abad, coba pikirkan apa yang kurang dari mereka? Wallahul `Alam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments