“Mazhab Hamok”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 24 November 2012

Jika di hitung-hitung, meskipun tidak 100% benar, bisa disimpulkan bahwa Islam sudah sangat lama bertapak di Aceh. Jika hitungannya dimulai dari abad ke 7 Masehi (di Peureulak) maka umur Islam di Aceh sudah 14 abad, hampir sebanding dengan usia kedatangan Islam itu sendiri di Tanah Arab. Demikian juga jika rumus hitungannya dimulai dari abad ke 13 (di Samudra Pasai), maka Islam di Aceh sudah berusia 8 abad. Terlepas teori mana yang kita pakai, yang jelas keberadaan Islam di Aceh sudah sangat lama dan telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.

Julukan Serambi Mekkah yang disematkan kepada Aceh, kiranya sangat layak dan patut untuk dibanggakan, mengingat Aceh adalah gerbang utama masuknya Islam ke Nusantara. Tidak cuma itu, kononnya Aceh juga pernah menjadi pusat peradaban Islam yang sangat di segani, setidaknya di Asia Tenggara. Meskipun letak Aceh dan Daulah Turki Utsmani terbilang sangat jauh, namun demikian menurut beberapa ahli sejarah, Aceh memiliki hubungan yang sangat romantis dengan Turki yang ketika itu merupakan pusat Islam di dunia. Kisah “Meriam Lada Sicupak”, meskipun oleh sebagian kalangan dianggap mitos, namun cukuplah menjadi bukti tentang eratnya hubungan Aceh dengan Turki kala itu.

Aceh Fanatik

Sikap fanatik terhadap Islam yang dimiliki oleh orang Aceh terbilang wajar-wajar saja dan memiliki landasan historis yang cukup kuat mengingat Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara di masa lampau. Sikap memuja sejarah yang diperankan oleh sebagian orang Aceh terkadang membuat mereka lalai dan terlena dalam indahnya masa lalu sehingga terkadang tanpa sengaja mereka telah melupakan pesan yang diwariskan oleh para pelaku sejarah. Rentetan peristiwa masa lalu yang mengambarkan kejayaan Aceh tidak terlepas dengan keberadaan Islam sebagai agama resmi yang dianut oleh raja dan rakyat kala itu. 

Ironisnya, terkadang sikap fanatik yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Aceh hanya menjadi semangat yang tak berwujud dan tidak didukung dengan perilaku yang sesuai dengan ruh Islam. Hal ini terbukti dengan sikap sebagian masyarakat yang meskipun di hatinya mengharapkan Syariat Islam tetap tegak, namun tidak jarang tindak-tanduk dalam keseharian mereka cenderung jauh dari misi Islam itu sendiri.

Tragedi Peulimbang

Tragedi berdarah yang terjadi di Kabupaten Bireuen – Aceh, tepatnya di Kecamatan Peulimbang beberapa hari lalu yang sempat menggembarkan Aceh kini masih menjadi topik hangat di kedai-kedai kopi. Kejadian tersebut mendapat respon yang beragam dari masyarakat Aceh, tentunya ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra dan mengutuk perilaku tersebut. Dalam pandangan penulis amuk massa yang terjadi di Peulimbang tersebut telah merusak citra Aceh dimata provinsi lain. Perilaku barbar yang terjadi di Peulimbang telah mencoreng wajah syariat Islam di Aceh. Syariat mana yang mengajarkan kita untuk membunuh dan membakar manusia hidup-hidup? 

Aksi kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Peulimbang bukanlah kejadian pertama di bumi Serambi Mekkah ini. Dulu, ketika Aceh masih dipimpin oleh para Sultan, aksi kekerasan juga sudah sering terjadi, sebagai contoh aksi pengejaran dan pembunuhan terhadap para pengikut Hamzah Fansuri setelah keluarnya fatwa sesat dari Nuruddin Ar Raniry yang ketika itu bertindak selaku Qadhi kerajaan. Dalam catatan sejarah juga disebutkan bahwa kitab-kitab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dibakar di depan Mesjid Raya.

Ilustrasi. Sumber: wartaaceh.com
Pada abad modern seperti sekarang ini, aksi-aksi kekerasan tersebut yang pada prinsipnya merupakan perilaku orang-orang primitif masih juga terjadi. Setiap ada dugaan penyimpangan yang terjadi di Aceh hampir selalu diakhiri dengan aksi pemukulan, pembakaran dan bahkan pembunuhan. Jika kita cermati secara seksama, seolah perilaku tersebut sudah “membudaya” di Aceh. Setiap ada aliran sesat, praktek dukun dan penyimpangan-penyimpangan lainnya, emosi sebagian masyarakat Aceh terlihat memuncak dan selalu saja disikapi dengan kekerasan. 

Satu hal yang aneh menurut penulis, di Aceh dan di Indoesia secara umum mungkin untuk mengajak seseorang shalat berjamaah di mesjid sangat sulit dan butuh waktu yang lama untuk meyakinkan seseorang itu akan pentingnya shalat berjamaah. Tapi untuk mengajak seseorang menggrebek pusat-pusat aliran sesat dan membakar rumah dukun penulis yakin tidak butuh waktu lama, mungkin cukup dengan sms saja orang-orang sudah berkumpul lengkap dengan senjata layaknya pasukan berani mati. Inilah yang terjadi hari ini. Islam cuma dijadikan sebagai identitas untuk membedakan antara kita dengan pemeluk agama lain. Tapi sayang, ruh Islam yang suci sering kali terabaikan sehingga kita terbelenggu dengan perilaku-perilaku Syaitan la’natillah.

Satu hal lagi yang maaf sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang Aceh dan Indonesia pada umumnya, dalam menyikapi setiap penyimpangan kita cenderung menghadapinya dengan aksi kekerasan, dalam istilah Aceh “Hamok Dile” (hantam saja dulu), persoalan benar tidaknya dugaan kita tersebut adalah urusan ke 99. 

Di akhir tulisan ini penulis mengajak seluruh kaum muslimin khususnya di Aceh untuk lebih menghayati Islam dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Sudah saatnya “Mazhab Hamok” kita tinggalkan karena tidak sesuai dengan cita-cita Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Wallahul Musta’an.

** Hamok adalah istilah dalam Bahasa Aceh, dalam Bahasa Indonesia mungkin lebih semakna dengan kata-kata “Hantam”.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments