Maulid; Antara Seremonial dan Keta’atan


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 25 Januari 2013

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, jarum jam tak pernah berhenti dan senantiasa berputar pada porosnya pertanda waktu terus berlaju. Tanggal demi tanggal dan bulan demi bulan terus berlalu menembus zaman. Tanpa terasa kita telah memasuki bulan Rabiul Awal 1434 H, bulan yang diyakini oleh setiap muslim sebagai bulan lahirnya Rasul mulia Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam. Para ahli sejarah sepakat bahwa Nabi lahir pada bulan Rabiul Awal namun mereka tidak pernah bersepakat tentang tanggal lahirnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam, namun sudah menjadi tradisi setiap tanggal 12 Rabiul Awal selalu saja diperingati sebagai hari lahirnya Nabi. 

Sebagaimana penulis jelaskan di paragraf pertama bahwa para ahli sejarah berselisih tentang tanggal lahirnya Nabi. Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa Nabi lahir pada tanggal 8 Rabiul Awal dan sebagian yang lain berpendapat bahwa Nabi lahir pada tanggal 9 Rabiul Awal. Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa pendapat tanggal 8 dan 9 Rabiul Awal merupakan pendapat yang kuat. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa Nabi lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal adalah pendapat yang lemah dari sisi periwayatan, demikian disebutkan oleh para ahli sejarah dalam buku dan kitab-kitab mereka.

Mencintai Nabi

Diakui ataupun tidak, ada paradigma keliru yang telah mengakar dalam benak sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Aceh, bahwa bentuk kecintaan kepada Nabi hanya dapat dibuktikan dengan perayaan maulid. Ada anggapan dari sebagian orang bahwa semakin besar prosesi maulid yang dilakukan oleh seseorang maka semakin besar pula kecintaannya kepada Nabi, demikian juga sebaliknya.

Tragisnya lagi, orang-orang yang tidak merayakan maulid justru mendapat kecaman dan dianggap sebagai orang yang tidak mencintai Nabi. Meskipun fenomena ini merupakan ocehan klasik, namun sampai dengan detik ini masih saja dihembuskan oleh sebagian masyarakat Aceh, bahkan dalam beberapa kesempatan klaim ini juga ikut dikampanyekan oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai ulama dalam khutbah-khutbah mereka.

Jika kita mau berfikir rasional dengan merujuk kepada pendapat-pendapat salaful ummah, maka anggapan bahwa perayaan maulid merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi adalah anggapan yang salah besar jika ditinjau dari dalil-dalil yang ada. Para ulama telah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka bahwa mencintai Nabi adalah dengan cara menjalankan sunah-sunnahnya, bukan sebaliknya dengan merusak syari’at yang dibawa oleh Nabi melalui logika-logika dangkal yang akhirnya membuat kebenaran menjadi kabur dan luntur akibat argumen kita yang terkadang ngawur.

Antara Seremonial dan Keta’atan

Mencintai Nabi tidak cukup hanya dengan seremonial dan syair-syair merdu yang kita lantunkan di mesjid-mesjid. Mencintai Nabi tidak “meumada” dengan menabuh rebana dipanggung-panggung seraya bernyanyi ria. Mencintai Nabi tidak akan sempurna hanya dengan membaca ‘Kitab Barzanji” di pondok-pondok dengan suara menggelegar. 

Lantas bagaimana mencintai Nabi? Mencintai Nabi adalah dengan menjalankan perintah dan sunnahnya serta meninggalkan segala yang dilarangnya. Mencintai Nabi adalah dengan cara menjadikan beliau sebagai suri tauladan (uswatun hasanah). 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita senantiasa tersibukkan dengan seremonial, slogan dan simbul-simbul tanpa makna. Sebagai contoh ketika bulan maulid kita hanya tersibukkan dengan perayaan demi perayaan, dan kadang kala kita melupakan kewajiban kita sebagai hamba Allah. 

Terkadang kita menyibukkan diri mendengarkan ceramah maulid sampai tengah malam sehingga membuat badan kita menjadi berat untuk bangun shalat Shubuh. Terkadang pula kita sibuk dengan membaca Barzanji di menasah-menasah sehingga kewajiban shalat fardhu luput dari perhatian kita. 

Ketika bulan maulid mesjid dan menasah terlihat penuh sesak dengan manusia, tetapi giliran waktu shalat fardhu mesjid dan menasah sunyi mencekam, tak ada pengunjung yang datang. Padahal dalam beberapa hadits Rasul Shallallahu 'alaihi wassalam senantiasa menganjurkan kita untuk melaksanakan shalat berjama’ah, dan bahkan Nabi mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang tidak ikut shalat berjama’ah. 

Lantas apa gunanya kita menghabiskan banyak uang untuk merayakan maulid jika dalam waktu yang sama kita justru mengabaikan kewajiban yang disampaikan oleh Rasul? 

Sampai dengan detik ini tidak ditemukan satu riwayatpun bahwa para sahabat Nabi merayakan maulid, demikian juga para Imam Mujtahid Muthlaq yang merupakan ulama mu’tabar juga tidak pernah membahas persoalan maulid dalam kitab-kitab mereka. Namun satu yang pasti; para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabu’in dan para Imam Mujtahid adalah orang-orang yang taat kepada Rasul meskipun mereka tidak merayakan maulid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keta’atan kita kepada Rasul adalah kunci dari segalanya dan merupakan bentuk kecintaan yang sebenarnya. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments