MANIS SAAT MEMEGANG PAHIT SAAT MELEPAS

( Ketakutan PA Terhadap Calon Independen )

Oleh : Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Maret 2011

Ilustrasi. Sumber: politik.kompasiana.com
Keinginan Partai Aceh untuk mengerahkan massa pendukungnya ke Banda Aceh (Harian Aceh, 26 Maret 2011) sebagai upaya untuk menolak keputusan MK tentang diberlakukannya calon independen di Aceh merupakan tindakan latah dan gerogi dalam berpolitik. Sikap latah Partai Aceh sudah terlihat sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dari beberapa masyarakat Aceh yang meminta dihapuskan pasal 256 UUPA. Sebagai partai pemenang pemilu seharusnya PA harus lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan khususnya yang menyangkut dengan pemilukada. Partai Aceh yang kononnya dilahirkan oleh para pejuang seharusnya lebih kesatria dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. 

Melihat fakta hari ini Partai Aceh bisa diibaratkan seperti seorang pemuda tampan yang dipenuhi bisul, sedikit tersenggol pasti bisulnya akan meledak, ketika meledak rasanya pasti menyakitkan. Apabila si pemuda berbisul ini tidak ingin bisulnya tersenggol lebih baik si pemuda tersebut tidak bermain dikeramaian. Kalau dia memaksakan diri bermain dikeramaian sudah pasti secara tidak sengaja bisulnya akan tersenggol oleh orang yang lalu-lalang. Nah, ketika bisul tersebut tersenggol apa pantas si pemuda tersebut menyalahkan orang lain? 

Demikianlah yang terjadi dengan Partai Aceh hari ini. Si pemuda tampan tadi saya umpamakan sebagai Partai Aceh, saya katakan tampan karena buktinya PA digemari oleh banyak orang sehingga mampu memenangkan pemilu 2009 lalu. Bisul-bisul tadi saya umpamakan sebagai sebuah kekuasaan yang hari ini dinikmati oleh elit-elit Partai Aceh, sedangkan para penyenggol bisul saya umpamakan sebagai gerakan-gerakan masyarakat pendukung calon independen. Jika memang Partai Aceh tidak mampu menahan rasa sakit atau takut bisulnya pecah lebih baik Partai Aceh jangan terlibat dalam politik. Jika PA memaksa diri untuk terlibat dalam politik praktis seperti sekarang ini seharusnya PA lebih jantan dan tidak mengeluhkan rasa sakit yang sebenarnya adalah proses alami untuk mengeluarkan darah kotor dari bisul. Biarkan para tabib (pendukung independen) membersihkan darah kotor yang sudah membeku ditubuh anda. Dengan sembuhnya bisul tersebut sudah pasti betis dan paha yang dulunya kemerahan dan mengeluarkan bau menyegat akan cerah dan indah kembali. 

Tidak pantas bagi PA untuk melawan gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para pendukung independen apalagi dengan cara mengerahkan massa ke Banda Aceh. Menolak keputusan MK yang sudah final merupakan tindakan yang lumayan konyol. Saya teringat kata-kata bijak yang diucapkan oleh orang yang sudah pasti bijak, katanya “ jika ingin menabrak gunung, jangan sayang kepada gunungnya, tetapi sayangilah kepala anda”, lebih kurang demikian kalau saya tidak salah. Lebih baik Partai Aceh mengkaji ulang keputusannya untuk menolak keputusan MK karena ditakutkan tidak akan berhasil dan akhirnya hanya membuang-buang energi.

Saya melihat ada ketakutan luar biasa dari PA dengan adanya calon independen di Aceh. Pada awalnya saya berfikir kalau PA adalah partai kuat baik dari segi ekonomi maupun dari segi kualitas para pemain. Namun setelah saya membaca beberapa komentar di media yang ada di Aceh khususnya yang dipaparkan oleh Drs. Adnan Beuransah saya menjadi ragu akan kekuatan PA. Keraguan saya tentu beralasan, sebagai contoh adalah sikap PA yang keberatan dengan keberadaan calon independen. Jika memang PA mempunyai pendukung mayoritas kenapa mesti takut dengan suara minoritas? Minoritas yang saya maksud bukan minoritas dalam arti sebenarnya tetapi minoritas dalam pandangan PA. Kalau kita buka kamus bahasa Indonesia minoritas berarti sedikit, tetapi minoritas disini adalah minoritas yang ditambah awalan (di) diminoritaskan oleh PA walaupun faktanya tidak demikian. 

Saya punya sebuah cerita mudah-mudahan masih ada hubungan dengan kisah ketakutan PA terhadap calon independen. Ketika saya hendak ke Banda Aceh saya sering menumpang bus pelangi. Biasanya saya duduk di bangku tempel bagian depan, maklum karena saya menunggu bus di jalan bukan diterminal. Yang namanya bus pelangi apalagi kalau malam sudah pasti larinya kencang. Yang membuat saya heran adalah ketika bus pelangi yang saya tumpangi melewati tikungan sisupir malah menambah kecepatan. Biasanya apabila kendaraan melewati tikungan laju kendaraannya akan diperlambat karena ditakutkan ada mobil lain yang lewat dari arah berlawanan. Akibat penasaran saya bertanya kepada pak sopir ; kenapa anda menambah kecepatan di tikungan? Apa anda tidak takut ditabrak? Dengan santai pak sopir menjawab ; “ alah moto ubit-ubit peu ye teuh “ (mobil kecil buat apa takut). Kemudian saya berfikir sejenak, benar juga jawaban pak supir. Buat apa takut kepada mobil yang ukurannya kecil, walaupun ditabrak mobil pelangi tidak akan mengalami kerusakan yang parah, yang menjadi korban biasanya mobil kecil, apalagi tinggi mobil pelangi dua kali tinggi mobil kecil.

Rupanya walaupun hanya berprofesi sebagai supir otaknya cerdas juga. Si supir percaya dengan kekuatan yang dimiliki mobil pelangi sehingga dia tidak khawatir berhadapan dengan mobil kecil. Seandainya kecerdasan si supir ini dimiliki oleh tokoh-tokoh PA sudah pasti PA tidak akan khawatir dengan hadirnya calon independen di Aceh. Tetapi fakta berkata lain, PA terbukti ragu akan kekuatannya sendiri sehingga terkecoh dan merasa takut dengan keberadaan calon independen di Aceh. 

Baiklah, saya punya satu kisah lagi yang saya angkat dari kisah hidup sahabat Nabi Saw yang berasal dari Persia, namanya Salman Al-Farisi R.a, beliau bertubuh jangkung dan berambut lebat. Dikisahkan bahwa Salman Al-Farisi sering menolak jabatan yang ditawarkan kepadanya. Pernah suatu saat Salman Al-Farisi R.a ditanyai orang ; apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan ? jawabnya ; “karena manis waktu memegangnya dan pahit waktu melepaskannya “. Jawaban penuh ketulusan yang keluar dari benak seorang Sahabat yang seluruh kehidupannya di gunakan untuk berjihad di jalan Allah Swt. Salman adalah tokoh politik dan ahli strategi perang yang tidak suka kepada jabatan. Salman menolak jabatan karena beliau takut jabatan tersebut akan membuatnya terlena dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang akhirnya akan membuatnya tidak rela melepaskannya.

Ketika kita melihat perilaku PA hari ini kita pasti akan membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Salman Al-Farisi R.a lebih kurang 1.400 tahun yang lalu. Partai Aceh takut kekuasaannya akan berakhir jika membiarkan calon independen berlaku di Aceh. Untuk mempertahankan kekuasaannya PA akan melakukan apa saja termasuk mengerahkan massa ke Banda Aceh. Diberitakan bahwa penolakan PA terhadap keputusan MK adalah “ peunutoeh “ dari Wali Malek Mahmud (Harian Aceh, 26 Maret 2011). Timbul pertanyaan, apa mungkin tokoh sekaliber Malek Mahmud mengeluarkan fatwa untuk menolak calon independen? Rasanya tidak mungkin, tetapi entahlah. 

Sangat aneh ketika PA mengancam akan mengerahkan massa untuk menolak keputusan MK apalagi dengan membawa nama rakyat. Fakta hari ini membuktikan bahwa rakyat Aceh menerima keberadaan calon independen, meskipun ada yang menolak tetapi tidak sampai melakukan gerakan massa. Rakyat faham bahwa keputusan MK adalah produk hukum yang mustahil dapat dipolitisir oleh pihak manapun. Anehnya ketika rakyat diam (sepakat) dengan keputusan MK, Partai Aceh malah mengatasnamakan rakyat untuk menolak keputusan tersebut. Sungguh aneh, “ Ka careng ureung awam ngon PA “ (masyarakat awam lebih pandai dari PA). Wallahu `Alam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh













loading...

No comments