Konflik Saudara Kembar di Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 Maret 2014

Tanpa terasa, waktu terus bergulir dan tahun terus berganti. Pesta demokrasi yang dinanti-nanti oleh kontestan pun semakin dekat, hanya menghitung bulan. Atribut kampanye kian bertebaran di seantero negeri, tidak hanya di jalan raya, tapi juga di pelosok desa. Potret wajah penuh senyuman terpampang megah di spanduk dan baliho dengan slogan dan motto yang beragam – sebagian unik dan tak sedikit yang nampak “lebay”. 

Yang dulunya tak kenal dengan rakyat, sekarang sudah mulai nongkrong di warung kopi, bayar kopi sambil bagi kartu. Yang dulunya tinggal di Jakarta dan luar negeri, sekarang pulang kampung, alasan silaturahmi, padahal cari simpati. Yang dulunya pelit, mendadak jadi dermawan. Yang dulunya preman, sekarang mulai mengaji. Begitulah fenomena yang kita saksikan menjelang ritual pemilu. Fenomena ini terus berulang, setidaknya lima tahun sekali, tak hanya di Aceh, tapi juga di seluruh pelosok tanah air, Indonesia.

Di Aceh secara khusus, juga terlihat fenomena yang terbilang unik, di mana persaingan antar partai politik tidak hanya sebatas pada perdebatan politis dan adu program, tapi telah menjurus pada pertentangan fisik antar pelaku politik itu sendiri. Sebut saja konflik PA dan PNA yang dalam beberapa waktu terakhir telah menyita perhatian kita semua.

Konflik PA – PNA 

Menurut Robins (1996) sebagaimana dikutip Mufid (2009), konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat, baik pengaruh positif, maupun negatif. Sementara menurut Luthans, konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan (Mufid, 2009: 288).

Berdasarkan teori tersebut hampir dapat dikatakan bahwa ketegangan yang terjadi antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) dalam beberapa waktu terakhir telah menjurus ke arah konflik, di mana kedua pihak memiliki kekuatan masing-masing yang nampak saling bertentangan satu sama lain. Insiden demi insiden terus terjadi menjelang pelaksanaan pesta demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki parlemen. Rasanya tak perlu disebut satu persatu, karena berbagai insiden bernuansa politis yang terjadi di Aceh telah tersaji rapi dalam berbagai pemberitaan yang disuguhkan oleh media, baik lokal maupun nasional.

Pada prinsipnya, aksi-aksi anarkhis yang terjadi selama ini di Aceh, seperti penurunan bendera parpol, pemukulan terhadap lawan politik, pembakaran, perusakan alat peraga kampanye dan segudang atraksi lainnya adalah lumrah terjadi dalam dunia politik, di mana masing-masing pihak saling berseteru untuk merebut pengaruh guna memenangkan pertarungan. Namun demikian, tak ada satu dalil pun yang melegitimasi tindakan-tindakan destruktif tersebut, baik yang sajikan oleh kitab-kitab demokrasi, maupun dalil-dalil syar’i yang datang dari Tuhan.

Sebagaimana telah kita saksikan dan baca dari berbagai media, bahwa perseteruan antara PA dan PNA di Aceh, khususnya di lapisan bawah dalam beberapa waktu terakhir terus meningkat dan membuat beberapa pihak seolah menjadi “panik” akibat fenomena tersebut. Kepanikan pertama telah ditunjukkan oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Aceh, di mana Bapak Kapolda telah mengabarkan kepada Kapolri bahwa ada potensi konflik antara PA dan PNA dalam pemilu mendatang. Kepanikan kedua datang dari kalangan militer, di mana Pangdam Iskandar Muda telah menghimbau kepada kedua pihak (PA dan PNA) untuk tetap menjaga perdamaian Aceh.

Meskipun pihak Kepolisian dan militer di Aceh nampak “panik” dalam menyikapi perkembangan politik akhir-akhir ini, namun mayoritas masyarakat Aceh terlihat santai-santai saja – sebuah kondisi yang wajar, di mana masyarakat Aceh seakan telah “akrab” dengan berbagai gejolak yang terjadi di Aceh, khususnya pasca penandatangan Mou pada 2005 lalu. Sebagaimana telah kita saksikan bersama, bahwa aksi-aksi kekerasan dalam politik, baik dalam skala kecil maupun besar telah menjadi fenomena lazim dalam drama politik di Aceh yang dimulai dari Pilkada 2006, Pemilu 2009 dan Pilgub 2012. 

Satu Rahim

Ditinjau dari perspektif historis; adalah sebuah fakta yang sulit dibantah bahwa PA dan PNA terlahir dari rahim yang sama. Seluruh masyarakat Aceh, tidak hanya tau, tapi juga paham bahwa kedua partai yang terlihat berseteru tersebut terlahir dari rahim perjuangan, di mana kedua pihak (PA dan PA) didirikan oleh mantan pentolan dan combatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka (PA dan PNA) adalah saudara kembar yang memiliki karakteristik yang sama dan bahkan identik bagai pinang tak terbelah. Sejarah telah mencatat, bahwa PA dan PNA adalah anak kandung dari Paduka Tgk. Muhammad Hasan Di Tiro yang merupakan founding father Gerakan Aceh Merdeka. Namun sangat disayangkan, setelah sang ayah menghadap Ilahi, si anak kembar justru terjebak dalam pusaran konflik. Tragis.

Ilustrasi Saudara Kembar
Sebagai mantan pejuang, seharusnya PA dan PNA mampu membangun peradaban politik yang lebih baik di Aceh. Sejatinya, PA dan PNA tidak terjebak dalam pusaran kepentingan-kepentingan pragmatis dan larut dalam skenario pihak-pihak tertentu, sehingga runtuhnya harapan rakyat Aceh yang saat ini tertumpu kepada dua kekuatan besar tersebut, PA dan PNA. 

Kisah Adik Kecil

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa PA dan PNA adalah saudara kembar yang sudah mulai terjebak dalam pusaran konflik demi memperebutkan “pusaka” kepemimpinan politik di Aceh. Di sebalik itu, tentunya kita masih ingat prosesi pemilu 2009, lima tahun lalu, jauh sebelum PNA lahir dan terjun ke dunia politik. Ketika itu, telah ada dua partai politik yang juga lahir dari rahim perjuangan. Kedua partai politik tersebut bisa disebut sebagi “adik kecil” dari PA. 

Diakui ataupun tidak, partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA) yang dibentuk oleh aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) adalah adik kecil “seayah dan seibu” dari PA. Di samping itu, Partai Rakyat Aceh (PRA) yang didirikan oleh aktivis pro-demokrasi juga bisa disebut sebagai adik kecil “seayah lain ibu” dari PA. Sejarah telah mencatat, bahwa kedua partai tersebut (SIRA dan PRA), meskipun memiliki “hubungan darah” dengan PA, namun terpaksa harus menyingkir dari panggung perpolitikan di Aceh, di mana kedua partai tersebut nyaris tidak memperoleh kursi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas.

Konflik saudara tua dan adik kecil yang terjadi pada pemilu 2009 kini terulang kembali dan menjadi tontonan gratis bagi publik, tidak hanya di Aceh, tetapi juga di luar Aceh. Ketegangan antara PA dan PNA sebagai saudara kembar, jika tidak disikapi dengan bijak, maka akan terus memuncak dan nampaknya akan menuju titik klimaks pada April mendatang. 

Saling Memahami

Kalau hanya berbicara, seperti kata orang – beo pun bisa berbicara. Kritik tanpa solusi tentunya tidak akan membawa arti untuk mengubah kondisi yang terjadi. Namun demikian, setelah menyimak secebis kisah sebagaimana dikemukakan di atas yang melibatkan dua partai politik yang notabene berasal dari “satu kandang”, rasanya sulit untuk memberikan solusi, baik secara teoritis maupun praktis, mengingat kedua kubu memiliki argumen yang sama kuat dalam mempertahankan sikap politiknya.

Namun demikian, kita berharap kepada PNA, sesuai dengan semboyannya bahwa “PNA adalah partai lokal berwawasan nasional” agar dalam aktivitas politiknya dapat menghormati saudara tua (PA). Bagaimana cara menghormati, mungkin para politisi PNA lebih paham. Hal ini penting untuk mengurangi gejolak politik yang dapat berekses pada munculnya insiden-insiden yang tidak kita inginkan.

Kepada PA sebagai saudara tua, kita juga berharap agar mampu menghargai kehadiran saudara muda (PNA). Kehadiran PNA di arena perpolitikan di Aceh harusnya dipahami sebagai sebuah kemajuan dalam pentas demokrasi. Sudah saatnya kita bersikap dewasa dalam melaksanakan aktivitas politik. Ingat, rakyat Aceh masih merindukan kedamaian. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments