Kolonialisme


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 17 Agustus 2013

Tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia secara resmi memproklamirkan kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bebas dari penjajahan asing. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa usaha-usaha menuju Indonesia merdeka tidaklah mudah. Berbagai rintangan dan halangan dihadapi oleh para pejuang kita. Hampir seluruh usia para pendahulu kita tersita demi memperjuangkan kemerdekaan guna disumbangkan kepada anak cucunya – putra-putra Indonesia.

Berkat rahmat Allah dan kegigihan para pejuang kita, akhirnya Merah Putih dapat berkibar megah di langit Indonesia setelah sekian lama ditindas oleh bangsa asing. Entah berapa banyak pejuang kita telah gugur di medan tempur dalam memperjuangkan dan mempertahankan Republik ini. Terkadang kita larut dalam eforia kemerdekaan dan melupakan jasa-jasa para pejuang kita yang telah bersusah payah mengusir penjajah dari tanah ini.

Para pejuang kemerdekaan semisal Pangeran Deponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Kapitan Pattimura dan sejumlah pejuang lainnya tentu akan kecewa jika negara yang mereka perjuangkan di masa lalu dengan penuh pengorbanan sekarang justru menjadi lahan korupsi bagi generasi saat ini, sebuah bencana yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Seandainya para pejuang kita masih hidup, tentu mereka akan menangis melihat gadis-gadis setengah telanjang berlenggak-lenggok di panggung-panggung, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di pelosok desa telah tumbuh subur pelacuran. Nikmat kemerdekaan yang telah disumbangkan dengan tetesan darah oleh para pejuang kita telah diselewengkan oleh anak-anak negeri yang tidak tahu diri. Tragis.

Aceh dan Kolonialisme 

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali Aceh yang merupakan propinsi paling barat di tanah air. Menurut catatan sejarah disebutkan bahwa berita Kemerdekaan Indonesia baru diketahui secara meyakinkan oleh rakyat Aceh pada 15 September 1945. Terlambatnya berita kemerdekaan tersebut disebabkan karena radio-radio milik rakyat Aceh ketika itu telah disita oleh penjajah sehingga berita kemerdekaan yang disiarkan oleh Radio Australia saat itu hanya terdengar oleh sebagian kecil rakyat Aceh, namun informasinya masih simpang siur.

Ilustrasi. Sumber: indonesiakublog.blogspot.com
Para penulis sejarah Aceh menceritakan dalam buku-buku mereka bahwa rakyat Aceh sangat anti kepada kolonialisme. Maklumat perang yang dikeluarkan oleh Belanda pada tahun 1873 merupakan titik awal pertempuran jihad fi sabillah dan terus berlanjut dan tidak pernah berakhir sampai dengan datangnya Jepang pada 1942. Meskipun Istana dapat dikuasi oleh Belanda pada 1874, namun perjuangan rakyat Aceh terus berlanjut dibawah pimpinan ulama dan ulee balang. 

Kegigihan para pejuang Aceh dalam mengusir Belanda tidak lain hanyalah akibat kebencian mereka kepada kolonialisme. Pada tahapan selanjutnya ketika terjadi agresi Belanda yang ingin merebut kembali Indonesia, putra-putra Aceh berada di barisan depan dalam mengusir Belanda sehingga Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak berhasil diduduki oleh Belanda. Ketika itu, rakyat Aceh juga berbondong-bondong menuju Medan Area untuk membebaskan Kota Medan dari cengkaraman penjajah. Pengorbanan besar-besaran yang dicurahkan oleh rakyat Aceh pada saat agresi militer Belanda juga menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh sangat benci kepada kolonialisme. 

Dr. Hasan Tiro, Deklarator GAM
Pada tahun 1976 di Aceh meletus sebuah pemberontakan yang secara tidak langsung juga merupakan bentuk protes atas “kolonialisme” yang dilakukan oleh Pemerintah Republik terhadap Aceh. Namun kolonialisme dimaksud bukanlah kolonialisme dalam arti yang sudah dikenal, tetapi sebuah perilaku yang serupa dengan kolonialisme. Seiring dengan perdamaian pada 15 Agustus 2005, segala bentuk “kolonialisme” telah berakhir di Aceh dengan berdamainya RI dan GAM di Helsinky.

Melenyapkan Kolonialisme

Belanda dan Jepang telah pergi dari Aceh, pertanda kolonialisme telah berakhir. RI dan GAM-pun sudah berdamai sehingga kekerasan dan pembantaian-pun sudah berhenti. Damai Aceh telah berlangsung delapan tahun dan ketegangan secara fisik antara RI dan GAM pun secara perlahan telah memudar. Sebagaimana kita saksikan bersama bahwa perayaan 17 Agustus tahun ini juga sangat semarak dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Pangdam Iskandar Mudah bahwa pada perayaan 17 Agustus tahun ini tiga juta lebih bendera Merah Putih berkibar di seluruh Aceh.

Namun di sebalik indahnya damai di beberapa tempat di Aceh masih terlihat aksi-aksi kriminal dan premanisme yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Aksi penembakan terhadap para pekerja non Aceh (etnis Jawa) yang terjadi pada pengujung tahun 2011 jika ditilik secara seksama pada prinsipnya juga menyerupai “kolonialisme” terhadap etnis tertentu yang ada di Aceh. Di samping itu aksi pengancaman terhadap beberapa pekerja di Bireuen (etnis Jawa) baru-baru ini juga bagian dari kolonialisme gaya baru yang coba dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dalam dunia politik juga terjadi berbagai aksi premanisme dengan memunculkan ego golongan dan menganggap golongan sendiri sebagai paling benar alias pahlawan sedangkan golongan lain sebagai pengkhianat. Cap pengkhianat terhadap sesama anak bangsa bagaikan stempel tak bertuan yang terus dimainkan secara liar.

Semoga saja momentum peringatan “Delapan Tahun Damai” dan perayaan “HUT RI ke- 68” tahun ini menjadi titik awal untuk melenyapkan setiap bentuk penindasan, pembunuhan, pengancaman, premanisme, monopoli politik dan perilaku-perilaku serupa kolonialisme lainnya di bumi Aceh. Sudah saatnya Aceh bebas dari Kolonialisme. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments