Koin Emas dan Mistisme di Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 26 November 2013

Beberapa waktu lalu, tepatnya 11 November 2011, Aceh dihebohkan dengan penemuan koin emas di Gampong Pande yang disebut-sebut sebagai alat tukar (uang) yang digunakan pada masa Kerajaan Aceh. Koin emas yang oleh sebagian kalangan di Aceh disebut sebagai dirham (seharusnya dinar) tersebut ditemukan oleh seorang pencari tiram. Dikisahkan bahwa koin emas seukuran kancing baju tersebut ditemukan di Kuala Krueng Geudong dalam sebuah peti keti kuno yang sudah lapuk (tribunnews.com). Pasca penemuan menghebohkan tersebut warga Aceh, baik yang di Banda Aceh maupun di luar Banda Aceh pun berdatangan ke lokasi kejadian di Gampong Pande untuk melihat secara langsung lokasi harta karun tersebut. Suasana di Aceh juga semakin heboh dengan kembali ditemukannya sepasang pedang yang diduga peninggalan VOC oleh seorang warga pada 13 November 2013.

Berbagai spekulasi pun berkembang terkait dengan ditemukannya benda bersejarah tersebut. Seorang sejarawan Aceh, DR. Husaini Ibrahim mengaku tidak terkejut dengan temuan tersebut, karena menurut beliau Gampong Pande tempat ditemukannya koin emas tersebut merupakan pusat perbengkelan dan percetakan uang pada masa Kerajaan Aceh (tribunnews.com). Di samping itu, sejarawan lainnya, Rusdi Sufi juga mengemukakan bahwa Gampong Pande merupakan pusat perakitan senjata yang pada saat itu dikerjakan oleh para ahli dari Turki sebagai peralatan perang untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Portugis (merdeka.com).

Penemuan benda-benda bersejarah seperti koin emas dan pedang VOC di Kuala Krueng Geudong beberapa waktu lalu juga mengisyarakatkan kepada kita semua bahwa Kerajaan Aceh di masa lalu merupakan sebuah kerajaan yang telah berhasil menciptakan sebuah kemakmuran yang nyata bagi rakyat. 

Koin Emas. Sumber: www.tribunnews.com
Kepercayaan Terhadap Mistis

Di sebalik penemuan benda-benda bersejarah tersebut juga sempat berkembang cerita-cerita mistis. Di antaranya adalah kesurupan yang dialami oleh seorang ibu rumah tangga warga Gampong Jawa. Pada saat kesurupan wanita tersebut mengaku sebagai Putro Canden. Si Putro Canden tersebut meminta agar barang-barang yang diambil di kuala Krueng Geudong seperti koin emas dan pedang segera dikembalikan, jika tidak maka bencana akan datang (tribunnews.com). Kisah lainnya juga diceritakan oleh seorang pemuda yang menemukan pedang VOC. Dia mengaku penemuan pedang tersebut berawal dari sebuah mimpi dan dia juga menceritakan bahwa pada saat hendak mengambil pedang tersebut sempat dikejar oleh harimau (sains.kompas.com). Di samping itu, Kepala Desa Gampong Pande juga mengungkapkan bahwa wilayah penemuan benda-benda sejarah tersebut adalah kawasan yang dianggap keramat. Bahkan dikabarkan bahwa warga di kawasan desa tersebut sempat melakukan “ritual peusijuek” (tepung tawar) terhadap pedang VOC yang ditemukan oleh warga.

Sepanjang pengamatan penulis, meskipun zaman sudah modern, namun sebagian masyarakat Aceh masih saja terpengaruh dengan berbagai fenomena mistis. Sampai dengan saat ini masih ada masyarakat Aceh yang percaya kepada kekuatan batu cincin, jimat dan juga tempat-tempat keramat. Bahkan di kampung penulis sendiri, di sebuah mesjid yang tidak jauh dari rumah penulis terdapat sebuah tiang terbuat dari kayu yang oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki kekuatan gaib. Tiang berukir kaligrafi tersebut sekarang terpancang megah di depan mesjid. Penulis pernah menyaksikan sendiri ada beberapa orang masyarakat yang melaksanakan “kaoy” (hajat) di tiang tersebut. Menurut keyakinan mereka dengan “berkat” (barakah) dari tiang tersebut doa-doanya akan terkabul.
Ditinjau dari perspektif syara’, kepercayaan kepada gaib pada prinsipnya merupakan sebuah keharusan, di mana Islam telah menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal gaib adalah bagian dari keimanan. Di antara hal-hal gaib yang harus diimani dalam Islam adalah, keberadaan alam malaikat, alam jin, azab kubur dan lain sebagainya. Namun keyakinan terhadap hal-hal gaib mestinya tidak dipahami secara keliru sehingga memunculkan kesyirikan yang tidak sadari. Di antara kekeliruan tersebut adalah meyakini bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan manfaat kepada manusia, demikian pula sebaliknya keyakinan bahwa benda-benda tersebut bisa memberikan mudharat. Keyakinan seperti ini tidak diragukan lagi adalah sebuah kesyirikan yang nyata.

Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, bahwa pada saat seorang ibu kesurupan pasca penemuan pedang VOC di Banda Aceh beberapa hari lalu, seorang yang mengaku Putro Canden yang telah merasuki tubuh ibu tersebut mengancam akan mendatangkan bencana jika barang-barang temuan tersebut tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Sebagai seorang muslim tentunya kita tidak boleh meyakini apa yang disampaikan oleh si Putro Canden tersebut karena hal tersebut merupakan sebuah kesyirikan. Sebagaimana telah kita ketahui dan yakini bersama bahwa yang mampu mendatangkan bencana hanyalah Allah, bukan malaikat, jin ataupun makhluk-makhluk lain yang tidak kita ketahui namanya. Jika pun benar terjadi bencana, maka hal tersebut berlaku atas izin dan kehendak Allah semata, karena makhluk tidak memiliki kekuatan untuk mendatangkan bencana.

Demikian pula dengan lokasi penemuan koin emas di Gampong Pande yang oleh sebagian pihak dianggap keramat sehingga orang-orang dilarang ke tempat tersebut, menurut hemat penulis adalah keyakinan yang keliru. Jika pun benar tempat tersebut keramat karena terdapat kuburan ulama, namun kita tidak boleh meyakini bahwa tempat tersebut memiliki kekuatan untuk mendatangkan musibah atau pun bencana. Orang yang telah meninggal tidaklah mampu memberikan manfaat apalagi mudharat bagi orang yang hidup karena mereka telah terputus hubungannya dengan dunia ini.

Konsisten dengan Syariat Islam

Aceh sebagai satu-satunya wilayah di Nusantara yang telah diberikan hak untuk menjalankan syariat Islam semestinya tidak lagi terpengaruh dengan persoalan mistis yang pada prinsipnya bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Penemuan benda-benda bersejarah sebagaimana terjadi di Banda Aceh beberapa waktu lalu pada prinsipnya adalah rahmat Allah sekaligus sebagai bukti bahwa Islam pernah berjaya di Aceh. Kejayaan Islam di Aceh telah mampu menjadikan Aceh sebagai daerah yang makmur di masa lalu. Sejatinya, penemuan benda-benda kuno tersebut tidak dikaitkan dengan hal-hal mistis sebagaimana telah berkembang selama ini.

Sebagai masyarakat yang terkenal fanatik dengan Islam sudah seharusnya kita membersihkan tauhid kita dari noda-noda kesyirikan dalam bentuk sekecil apapun. Sudah tidak masanya lagi kaum muslimin di Aceh terpengaruh dengan fenomena mistis yang bertentangan dengan syara’ dan logika ilmiah, seperti kepercayaan kepada batu cincin, jimat dan benda-benda keramat. Syariat Islam di Aceh jangan hanya menjadi identitas untuk “unjuk gigi”, tapi hendaknya menjadi panduan dalam beramal sesuai dengan tuntunan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink
loading...

No comments