Khatib Jangan Jadi Provokator


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Oktober 2012

Secara bebas istilah “khatib” dapat diterjemahkan sebagai pembicara, orang yang berpidato atau lebih keren mungkin bisa disebut sebagai orator. Seseorang dinamakan sebagai “khatib” karena dia melakukan kegiatan “khutbah”. Istilah khutbah itu sendiri jika merujuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 498) diterjemahkan sebagai pidato. 

Mahmud Ad- Dairi (1995: 155 ) mendefinisikan khutbah sebagai seni berbicara di depan khalayak ramai dengan pemuasan dan berisikan ajakan, khutbah adalah seni berbicara yang baik. Untuk menjadi khatib bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan oleh sembarang orang. Butuh ilmu dan kemampuan berbicara (komunikasi) untuk dapat menjalani profesi sebagai khatib. Seseorang yang menguasai materi (ilmu) tetapi miskin retorika tentunya sangat sulit menjadi khatib layaknya sebuah tabung berisi emas yang tidak memiliki lubang sehingga sulit bagi kita untuk mendapatkan emas itu. Demikian juga seseorang yang cakap dalam retorika tetapi miskin ilmu juga dapat dipastikan tidak dapat menjadi khatib, jikapun dipaksakan maka yang akan terjadi adalah pembohongan dan pemutarbalikan fakta disebabkan kegesitannya dalam berpidato sehingga orang menjadi terkagum-kagum meski yang dikatakannya adalah sebuah kebohongan.

Di samping kemampuan keilmuan dan gaya berbicara seorang khatib juga sangat dituntut untuk memiliki akhlak mulia. Akhlak merupakan poin terpenting yang tidak boleh diabaikan oleh seorang khatib. Meskipun seorang khatib lincah dalam berpidato dengan materi yang lengkap, bahasa lugas, logika cerdas, namun jika dalam penyampainnya tidak mengindahkan etika dan adab tentunya kualitas khutbahnya akan berkurang di mata umat. Perilaku tersebut sama saja dengan menyimpan madu dimulut anjing. Meskipun madu itu suci dan manis, namun karena tersimpan di bibir anjing tentunya orang-orang akan merasa jijik untuk meminumnya. 

Khatib dan Shalat Jumat

Shalat Jumat merupakan ritual mingguan yang hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki mukallaf, kecuali bagi mereka yang memiliki uzur untuk itu, seperti sakit atau musafir. Shalat Jumat sebagai ibadah mingguan dan merupakan sebuah forum berkumpulnya umat untuk beribadah kepada Allah (baca: melaksanakan Shalat) disamping itu seharusnya menjadi media untuk bersilaturrahmi dan saling menyampaikan nasehat kepada sesama. 

Ilustrasi Khatib. Sumber: gmst-nn.blogspot.com
Khatib sebagai pembicara tunggal dalam ritual Shalat Jumat memiliki fungsi dan tugas untuk menyampaikan nasehat kepada umat untuk lebih meningkatkan derajat taqwa kepada Allah. Sebagaimana penulis sebutkan diatas bahwa akhlak merupakan poin penting yang harus dimiliki oleh seorang khatib. 

Menyamakan minbar mesjid dengan minbar bebas yang lazim terlihat dalam kegiatan demonstrasi adalah kesimpulan yang salah. Hal-hal yang tidak penting dan bersifat fitnah sangat tidak pantas untuk disampaikan oleh seorang khatib di minbar mesjid. Memang dianjurkan untuk berbicara tegas dalam khutbah sebagaimana hal ini tersebut dalam hadits-hadits shahih. Namun hendaknya seorang khatib dapat membedakan antara tegas dengan kasar. Kedua kata tersebut tidak memiliki kesamaan makna dan malah keduanya saling bertentangan satu sama lain. Tidak ada seorang ahli bahasapun di dunia ini yang menyamakan antara definisi tegas dengan kasar. Praktisnya perbedaan ini bisa kita lihat sendiri dalam kamus manapun, mengingat dalam tulisan ini penulis tidak mungkin menjelaskannya secara rinci.

Fenomena Khatib di Aceh

Beberapa waktu lalu disebuah mesjid tepatnya di desa penulis di Kabupaten Bireuen, penulis melaksanakan shalat Jumat di mesjid tersebut. Ketika itu penulis datang sedikit terlambat sehingga tidak sempat mendengar pengumuman dari pengurus mesjid tentang nama Imam shalat dan khatib. Dari minbar tampak seorang khatib yang umurnya mungkin sudah tidak muda lagi. Rambutnya terlihat telah memutih. 

Pada awal pembicaraan terlihat biasa-biasa saja, namun secara perlahan gaya bicaranya agak berubah ketika sang khatib menyinggung persoalan aliran sesat Laduni yang berkembang di Aceh Barat beberapa waktu lalu. Pada saat membahas aliran Laduni sang khatib terlihat begitu bersemangat, nada bicaranya semakin berapi-api dan volume suaranya terus meledak-ledak. Para jamaah terlihat serius mendengarkan, mereka terlihat mengangguk-ngangguk sambil melihat ke arah khatib yang (maaf) lebih mirip dengan “panglima perang”. 

Dalam khutbahnya, sang khatib menyatakan bahwa punca dan pusat aliran sesat adalah dikampus-kampus. Ajaran sesat tersebut menurut khatib diajarkan oleh para dosen melalui mata kuliah umum yang ada di kampus. Tidak cuma itu, sang khatib juga menyebutkan beberapa nama dosen yang menurutnya adalah orang-orang sesat, diantaranya adalah Fuad Mardhatillah dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Fakhrurrazi dari Unimal Lhokseumawe. Penulis sedikit tercengang mendengar penjelasan dari khatib tersebut yang menurut penulis sangat tidak etis dan kurang adab.

Dalam khutbah tersebut sang khatib juga menyatakan bahwa para mahasiswa yang kuliah di Perguruan Tinggi akan menjadi kafir setelah selesai kuliah. Menurut sang khatib, ilmu agama yang benar cuma ada di dayah dan di balai pengajian. Oleh karena itu sang khatib mengajak seluruh jamaah untuk mengantarkan anaknya ke dayah dan balai pengajian.

Analisis Pernyataan Khatib

Tanpa bermaksud menyinggung pihak manapun, penulis berani berkesimpulan bahwa tipe khatib seperti penulis sebutkan diatas adalah tipe provokator dan tidak pantas menjadi khatib. Apalagi dalam khutbahnya sang khatib menuduh Perguruan Tinggi sebagai pusatnya aliran sesat. Pernyataan khatib yang tidak disertai dengan data valid tersebut tentunya akan melahirkan paradigma keliru dari masyarakat awam terhadap Perguruan tinggi serta melahirkan kecurigaan terhadap lulusan Perguruan Tinggi tersebut. 

Menurut penulis ilmu itu bisa di dapatkan dimana saja asalkan melalui proses yang benar dan didapatkan dari orang yang benar. Adalah salah besar jika sang khatib mengklaim bahwa ilmu itu cuma ada di dayah dan balai pengajian, apalagi sampai menuduh bahwa ilmu agama yang dipelajari di Perguruan Tinggi adalah ilmu sesat. Na’uzubillah. Semoga saja sang khatib segera bertaubat karena dengan sengaja telah melakukan pengkafiran terhadap sesama muslim tanpa didukung oleh bukti-bukti yang akurat. Wallahu waliyut taufiq. 

Artikel ini sudah pernah diterbitkan oleh Atjehlink



loading...

No comments