“Khanduri Nujoeh di Aceh”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 November 2014

Ilustrasi Nujoeh. Sumber: Google
Dua tahun lalu, Media Serambi Indonesia edisi Sabtu (22/09/12) memberitakan bahwa seorang khatib di Pidie diturunkan oleh jama’ah Jumat karena isi khutbahnya dianggap menyimpang dan kontroversi. Jika dicermati, aksi menurunkan khatib dari minbar bukanlah hal baru di Aceh. Sebelumnya, kejadian yang sama juga berlangsung di Keumala Pidie yang menimpa Tgk Saiful. Diberitakan Tgk Saiful babak belur dihajar massa karena isi khutbahnya dianggap menyinggung kelompok tertentu. Kejadian serupa juga pernah terjadi di tempat-tempat lain yang mungkin luput dari pemberitaan media. Pada prinsipnya hal ini merupakan konsekwensi logis yang harus diterima oleh para da’i dalam menjalankan misi sucinya.

Aksi penolakan terhadap dakwah sebenarnya bukanlah fenomena baru yang lahir di abad modern. Jauh sebelum Islam datang, kaum Yahudi sudah melakukan hal serupa dan bahkan lebih parah, sampai-sampai mereka membunuh nabi-nabi mereka. Ketika Islam datang, Nabi besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam juga dihina, dicaci, dituduh sebagai orang gila dan pernah beberapa kali kaum Jahiliyah merencakan pembunuhan terhadap Nabi, namun beliau diselamatkan oleh Allah sehingga maksud mereka tidak tercapai. 

Asal Muasal Nujoeh

Sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia bahwa khatib di Pidie diturunkan karena isi khutbahnya menyimpang dan bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di Aceh. Dalam tulisan singkat ini, tanpa bermaksud membela khatib apalagi untuk berlagak benar sendiri, penulis tertarik untuk membahas isi khutbah yang disampaikan oleh khatib di Pidie dua tahun lalu, yang berekses pada aksi penurunan khatib dari minbar. Untuk tidak memperlebar masalah sehingga keluar dari substansi, penulis membatasi pembahasan ini pada masalah kenduri arwah atau dalam istilah orang Aceh sering disebut dengan istilah nujoeh.

Nujoeh atau kenduri hari ketujuh kematian sepanjang sejarahnya tidak cuma berlaku di Aceh, tetapi juga di daerah lain dengan nama dan istilah yang berbeda. Tentang siapa yang pertama sekali mempopulerkan istilah nujoeh atau kenduri arwah, sepanjang pengamatan penulis belum diketahui identitasnya (nama dan mazhabnya). Seingat penulis, khususnya di Aceh, ketika usia kita masih remaja kita sudah mengenal nujoeh melalui pembicaraan orang tua kita. Istilah tersebut dalam pandangan penulis merupakan warisan yang disampaikan dari mulut ke mulut sehingga sampai kepada kita. Akibat tidak tercatatnya nama pencetus nujoeh dalam sejarah telah menyebabkan sulitnya untuk meneliti lebih lanjut siapa dan dari mana ajaran itu berasal. Dengan demikian sulit pula bagi kita untuk mencari landasan hukum dari nujoeh tersebut mengingat dalam literatur Islam tidak ditemukan istilah serupa. Singkatnya dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun riwayat shahih (valid) yang menceritakan tentang wujud ritual ini di masa lalu, khususnya di masa Rasul dan Shahabat. 

Untuk menuduh ajaran ini berasal dari pengaruh Hindu sebagaimana disampaikan oleh Khatib di Pidie, menurut penulis tidak sepenuhnya benar, dan perlu penelitian lebih lanjut, meskipun indikasi ke arah tersebut terbuka lebar. Namun tuduhan tersebut tidaklah bisa disebut ilmiah jika tidak didukung dengan bukti-bukti yang benar-benar otentik. Andai pun ada orang yang menyatakan bahwa nujoeh berasal dari Hindu, pada prinsipnya sah-sah saja sebagai hipotesa; bukan sebagai kesimpulan absolut. Dalam beberapa referensi diinformasikan bahwa sebelum Islam datang ke Aceh, sebagaimana disebutkan oleh beberapa penulis sejarah, orang Aceh sudah menganut kepercayaan kuno seperti dinamisme dan animisme serta ada dugaan bahwa Hinduisme juga sempat bercokol di Aceh, namun sayang untuk membuktikannya masih sangat sulit.

Pandangan Ulama

Berdasarkan pengamatan penulis, banyak ulama (untuk tidak menyebut mayoritas) yang berpendapat bahwa kenduri hari ketujuh (nujoeh) adalah perbuatan bid’ah (amalan baru yang tidak ada dasar hukum dari Al-Quran dan Hadits). Dalam tulisan ini penulis dengan memohon ridha Allah akan menyebutkan dua referensi saja untuk kita tela’ah bersama, mengingat tidak mungkin menyebutkan seluruh referensi dalam tulisan yang singkat. Dua kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang sudah lazim dipakai hampir disetiap dayah di Aceh dan bahkan di Asia Tenggara pada umumnya. Kitab dimaksud adalah Kitab Sabilal Muhtadin dan Furu’ul Masail; keduanya merupakan kitab berbahasa Arab-Melayu (jawi) yang ditulis oleh Ulama asal Asia Tenggara; bukan Ulama Saudi (Wahabiyah).

Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin menyebutkan bahwa; “(dan makruh) lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya segala manusia atas memakan dia, dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya seperti yang telah ter’adah (dan demikian lagi) makruh lagi bid’ah bagi segala mereka yang diserunya memperkenankan seruannya…” (dikutip sebagaimana aslinya dari Kitab Sabilal Muhtadin halaman 87 baris ke enam dari atas). 

Kitab Sabilal Muhtadin
Kemudian dalam Kitab Furu’ul Masail yang ditulis oleh Syaikh Daud bin Abdullah Al Fathani disebutkan; “(telah ditanya radhiallahu ‘anhu) apakah hukumnya barang yang dikerjakan oleh ahli mayit daripada mempersembahkan makanan, berhimpun manusia atasnya dahulu daripada tanam mayit dan kemudian daripadanya dan menyembelih pada kubur dan demikian lagi yang dikerjakan manusia dengan barang yang dinamakan dia dengan kafarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan awal malam kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh harinya [nujoeh] dan dua puluh dan empat puluh dan umpama yang demikian itu haramkah atau makruh atau harus? (maka dijawabnya) maka adalah segala yang tersebut itu makruh yang dicela pada syara’ karena tegah pada syara’…” (dikutip sebagaimana aslinya dalam Kitab Furu’ul Masail halaman 182-183; dimulai dari halaman 182 baris kedua dari bawah).
Kitab Furu'ul Masail

Terlepas dari pro kontra tentang hukum nujoeh, namun jika merujuk kepada referensi yang baru disebutkan, maka jelaslah bahwa apa yang disampaikan oleh khatib di Pidie bukanlah hasil olah pikiran dan hawa nafsunya, melainkan fatwa yang berasal dari Ulama Melayu yang kedua kitab tersebut sampai sekarang masih dipakai hampir di setiap dayah dan pesantren.

Demikian pula dengan tuduhan sebagian pihak di Aceh, bahwa orang yang tidak melaksanakan nujoeh dan menyatakan hal tersebut sebagai bid’ah adalah ajaran “Wahabi” merupakan tudingan yang keliru. Buktinya ajaran tersebut justru banyak terdapat dalam kitab-kitab ulama yang bermazhab Syafi’i. Tentu saja Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syaikh Daud Fathani akan keberatan jika disebut sebagai wahabi.

Dengan demikian, sangat paradoks dan aneh jika kita (masyarakat Aceh) pada satu sisi memakai kitab tersebut sebagai bahan bacaan (referensi) di dayah, namun di sisi lain kita justru membenci orang-orang yang menyampaikan isi kitab tersebut karena kebetulan isinya bertentangan dengan kebiasaan kita yang sudah mengakar. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

2 comments: