Ketika Kursi Menjadi Tuhan


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 05 Maret 2014

Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif yang akan digelar pada April 2014 mendatang, eskalasi kekerasan di Aceh terus menanjak. Beragam kekerasan yang merupakan bentuk teror dan intimidasi dari hari ke hari terus terulang di Aceh. Aksi terakhir adalah penembakan (pemberondongan) terhadap salah seorang caleg Partai Nasional Aceh (PNA) di Aceh Selatan yang mengakibatkan korban tewas di tempat. Sebelumnya, di Kabupaten Bireuen juga sempat terjadi aksi penyerangan terhadap salah seorang kader Partai Aceh (PA) yang mengakibatkan korban menderita luka akibat sabetan pedang.

Aksi kekerasan dalam politik bukanlah hal baru di Aceh, di mana dalam berbagai ajang pesta demokrasi yang diselenggarakan di Aceh, khususnya pasca penandatanganan MoU Helsinky (2006-2014), selalu saja diiringi dengan berbagai aksi kekerasan dan intimidasi yang tidak hanya menyebabkan kerugian harta benda, tapi juga mengakibatkan sebagian nyawa terpaksa melayang sia-sia.

Disadari ataupun tidak, berbagai aksi kekerasan yang bernuansa politis akhir-akhir ini telah membuat wajah Aceh menjadi tercoreng. Gelar Serambi Mekkah yang telah disandang oleh Aceh ratusan tahun lalu, ternyata tidak mampu menjadikan Aceh sebagai prototipe politik Islami di Nusantara. Di samping itu, Aceh merupakan satu-satunya provinsi di negeri ini yang diberi hak untuk menerapkan Syariat Islam secara kaffah, namun sayang keistimewaan tersebut belum mampu merubah praktik politik Aceh yang akhir-akhir ini cenderung destruktif. 

Di sebalik itu, perdamaian Aceh yang telah terajut sejak tahun 2005 lalu pada hakikatnya merupakan anugerah Tuhan yang semestinya disyukuri oleh masyarakat Aceh. Sebagaimana telah kita lihat, bahwa kondisi perang selama 30 tahun telah menghancurkan Aceh di segala lini. Dengan demikian sudah sepantasnya masyarakat Aceh bersyukur terhadap perdamaian dengan cara mempertahankan perdamaian ini agar kekal abadi.

Terjadinya berbagai aksi kekerasan dalam politik Aceh dewasa ini secara tidak langsung merupakan sebuah bentuk “ketidaksykuran” sebagian masyarakat Aceh, khususnya tokoh-tokoh politik terhadap rahmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. Dulu, kita berusaha segenap tenaga dan berdoa agar perang selama 30 tahun di Aceh segera berakhir. Namun sayangnya ketika udara damai telah mulai menyisir tanah ini, kita justru membuat gejolak baru antar sesama komponen masyarakat Aceh. Semakin memanasnya kondisi politik Aceh hari ini merupakan satu bukti rendahnya rasa syukur kita terhadap nikmat damai yang telah berlangsung hampir sembilan tahun lamanya.

Tanpa sadar, kita telah terjebak dalam kepentingan-kepentingan pragmatis demi menurutkan nafsu syaithaniyah. Hanya karena kepentingan kursi parlemen, sahabat menjadi musuh dan musuh justru menjadi kawan. Berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Aceh hari ini merupakan sebuah bukti bahwa masih banyak pelaku-pelaku politik di Aceh yang bermental primitif. Di satu sisi kita mengaku sebagai muslim sejati, namun di sisi lain nilai-nilai Islam semakin hilang dari benak kita. 

Mencermati kondisi politik di Aceh akhir-akhir ini, nampak jelas bahwa para pelaku politik di Aceh telah dikuasai oleh nafsu angkara murka. Nyawa manusia tidak lebih berharga dari nyawa sekor ayam kampung yang bisa disembelih kapan saja. Harta benda (kantor, mobil, dll) tak lebih bernilai dari tumpukan sampah yang siap dibakar setiap hari. Udara damai di Aceh telah tercemar akibat polusi politik yang kita ciptakan dengan tangan kita sendiri. Tanpa sadar kita telah menciptakan perang baru di Aceh dengan berbagai bentuk kriminalitas yang melanggar batas-batas kemanusiaan. Kata-kata “damai” hanya menjadi slogan yang miskin makna alias pepesan kosong. Demokrasi di Aceh tak lebih hanya sebuah propaganda untuk unjuk gigi – seolah kita telah beradab, padahal jauh panggang dari api. 

Kursi Menjadi "Tuhan"

Diakui ataupun tidak, praktik politik di Aceh hari ini secara tidak langsung telah mengadopsi gaya-gaya politik kaum Khawarij di masa lalu, di mana mereka (Khawarij) mengkafirkan siapa saja yang berada di luar golongan mereka. Egoisme kelompok dan perasaan ‘Ananiyah” telah menutup mata dan hati kita sehingga dengan mudah saja kita melakukan penyerangan terhadap pihak lain. Perbedaan idiologi politik telah menghasut kita untuk saling serang satu sama lain, sebuah fenomena miris yang semestinya tidak perlu terjadi di negeri Syariat.

Ilustrasi. Sumber: indonesia.indofur.com


Ditinjau dari perspektif syara’, praktek kekerasan politik yang berlangsung di Aceh hari ini telah menjurus kepada kerusakan yang membahayakan jiwa manusia. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama menolak segala bentuk perusakan dan pembunuhan yang dilakukan tanpa hak. Agama tidak pernah melarang kita untuk berpolitik, apalagi dalam Islam, politik memiliki akar historis yang cukup kuat – di mana para pendahulu kita selain bertindak sebagai tokoh agama juga berperan sebagai tokoh politik.

Sangat ironis jika kita tega membunuh saudara kita yang notabene seagama hanya karena sebuah kursi. Berapalah harga sebuah kursi jika dibandingkan dengan nyawa saudara kita. Bagaimana hendak memakmurkan negeri, jika sebelum terpilih saja sudah bersikap arogan dan membabibuta. Tanpa sadar kita telah menjadikan “kursi” sebagai berhala dan bahkan sebagai Tuhan yang saban hari kita sembah. Penyakit “gila kursi” telah membuat hati kita menjadi batu dan rasa kemanusiaan seketika hilang di benak kita – diganti dengan nafsu kebinatangan. 

Cukuplah Rasulullah Saw menjadi contoh terbaik yang semestinya kita teladani. Kita bisa membuka kitab-kitab sejarah – bagaimana praktik politik yang dilakukan oleh Rasul yang dicatat dengan tinta emas, bahkan oleh orientalis sekali pun. Lihat bagaimana Rasul mempersatukan berbagai komunitas di Madinah menjadi satu ummah yang bersatu dan nyaris tanpa bentrok. Perbedaan idiologi politik tidaklah menjadi alasan untuk saling bermusuhan. Jangan sampai Endatu (moyang) kita menangis melihat perilaku kita yang semakin tak terkendali. Tidakkah kita malu? Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments