Kartosuwiryo dan Sekularisme


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 11 September 2013

Kartosuwiryo. Sumber: ausathmedia.wordpress.com
Bila kalian ingin Indonesia ini makmur sentosa dan ridha Allah, maka lawanlah Soekarno. Bila kalian ingin Indonesia makmur sentosa tetapi dalam laknat Allah, maka tembaklah saya dan berpihaklah dengan Soekarno, mana yang kalian pilih?” (Kartosuwiryo)

Bait-bait kalimat penuh makna yang diucapkan oleh Kartosuwiryo tersebut penulis kutip dari blog http://abuqital1.wordpress.com. Bagi penulis, ucapan Kartosuwiryo tersebut, meskipun terkesan provokativ, namun memiliki makna positif jika dipahami dengan hati yang putih. Kalimat tersebut mengajarkan kita semua kepada sebuah nilai suci yang harus dipertahankankan demi tegaknya Islam di bumi pertiwi.

Menyimak kalimat di atas, secara lahiriah kita akan menyimpulkan bahwa Soekarno adalah musuh besar Kartosuwiryo. Tapi menurut penulis, pada prinsipnya yang menjadi musuh Kartosuwiryo bukanlah Soekarno dalam arti yang hakiki. Namun sebagai seorang muslim, Kartosuwiryo benci kepada konsep-konsep sekular yang dihembuskan oleh Soekarno kala itu. Perlu pula diingat, bahwa sekularisme bukan cuma musuhnya Kartosuwiryo, tapi musuh kita semua – umat Islam. 

Kartosuwiryo adalah seorang tokoh yang dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Semenjak tahun 1923, Kartosuwiryo sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya (www.globalmuslim.web.id). 

Terkait dengan keinginan mendirikan Negara Islam yang dikemudian hari dipelopori oleh Kartosuwiryo, menurut Dengel sebagaimana dikutip oleh Ausop (2011) merupakan reaksi balik atas hasil Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda. Salah satu butir perjanjian tersebut menyatakan bahwa TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat.

Penting juga untuk diketahui bahwa pra kemerdekaan ada tiga idiologi politik besar yang saling berebut pengaruh di panggung sejarah Indonesia, idiologi dimaksud adalah Islam, Marxisme dan Nasionalis Sekuler (Ausop, 2011). Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Soekarno berada dalam lingkaran Nasionalis Sekuler, sedangkan Kartosuwiryo tetap teguh pada idiologi Islam. Di samping itu idiologi Marxisme secara rapi dikampanyekan oleh orang-orang PKI.

Van Dijk sebagaimana dikutip Ausop (2011) mengisahkan bahwa pada saat sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tepatnya pada 14 Agustus 1945, Kartosuwiryo dalam waktu yang bersamaan (14 Agustus 1945) juga memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia, namun pernyataan proklamasi tersebut ditarik kembali oleh Kartosuwiryo setelah mendengar pernyataan kemerdekaan RI oleh Soekarno dan Hatta. Baru kemudian pada 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo secara resmi kembali memproklamirkan berdirinya NKA NII. Patut diketahui bahwa pada saat proklamasi NII tersebut diumumkan oleh Kartosuwiryo, daerah Jawa Barat yang merupakan basis NII sedang berada dalam keadaan vacuum of power – di mana daerah tersebut tidak dikuasi oleh Belanda dan tidak pula oleh TNI (Ausop, 2011). Dengan demikian klaim “bughah” alias pemberontakan terhadap Kartosuwiryo sangat tidak tepat – jika tidak ingin dikatakan keliru.

Pada perkembangan selanjutnya, Gerakan NII terjadi di empat wilayah, yaitu: Jawa Barat yang dipimpin langsung oleh Kartosuwiryo sebagai Imam, NII Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah, NII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar, di Kalimantan dipimpin oleh Ibnu Hajar dan NII Aceh dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh (www.sejarahkita.comoj.com). Sayangnya gerakan NII tersebut akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah, Kartosuwiryo sendiri berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, Kahar Muzakar gugur setelah ditembak pasukan TNI, sedangkan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dengan berbagai pertimbangan akhirnya turun gunung dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.

Sejarawan dan budayan Fadli Zon dalam bukunya “'Hari terakhir Kartosoewirjo“ berhasil mengungkap misteri kematian Kartosuwiryo melalui 81 foto eksekusi. Dalam buku tersebut terungkap bahwa Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu (www.merdeka.com). Eksekusi yang dilakukan terhadap Kartosuwiryo tersebut telah direstui secara sadar oleh Soekarno, padahal mereka sempat tinggal dan hidup bersama serta berguru kepada HOS Cokroaminoto. Tragis plus dilematis.

Setelah menyimak sekelumit riwayat yang telah penulis sajikan di atas, kira-kira pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah tersebut? Tentu, setiap kita memiliki jawaban yang beragam. Bagi kaum Nasionalis Sekuler, Kartosuwiryo hanyalah seorang pemberontak yang memang pantas untuk dihabisi karena dianggap membahayakan Republik ini, sedangkan bagi sahabat-sahabat kita yang pro Komunis (Marxis) tentu sangat bergembira menjelang dilakukannya eksekusi terhadap Kartosuwiryo, mengingat idiologi yang diusung oleh Kartosuwiryo bertolak belakang dan bahkan berbenturan dengan konsep Marxis-Komunis-Atheis yang diusung oleh PKI. 

Lantas bagaimana dengan kaum muslimin di negeri ini? Apa kita juga perlu bertaqlid kepada Mazhab Sekuler dan Marxis? Dalam konteks demokrasi tentunya kita berhak memilih “mazhab” mana saja yang sesuai dengan jiwa kita masing-masing. 

Namun satu hal perlu diingat, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran besar kaum muslimin yang rela mengorbankan harta, jiwa dan raga demi berkibarnya Merah Putih. Jihad yang dilakukan oleh para pejuang muslim semisal Pangeran Deponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Teungku Chiek di Tiro dan sederatan pejuang muslim lainnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Sudah sepatutnya diakui, bahwa pada prinsipnya kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaannya kaum muslimin, meskipun peran pejuang lain juga tidak bisa dipungkiri, namun kontribusi yang berikan umat Islam cukup besar.

Meskipun di satu sisi, oleh sebagian pihak Kartosuwiryo dianggap sebagai pemberontak, namun di sisi lain, nilai-nilai Islam yang dicoba wujudkan oleh Kartosuwiryo dalam gerakan NII-nya juga patut dihargai dan bahkan diapresiasi, khususnya oleh umat Islam. Penulis tidak mengajak siapapun untuk mendukung NII, tidak pula mendukung Kartosuwiryo – apalagi NII KW IX yang telah jelas-jelas menyimpang dari ajaran Kartosuwiryo dan juga ajaran Islam.

Yang perlu mendapat perhatian kita sekarang adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita dan menolak segala bentuk pelecehan dan kemungkaran yang dipaksakan oleh gembong Sekularisme dan juga antek-antek Komunis dengan berbagai isu dan semboyan semisal “Pluralisme Agama” dan semboyan-semboyan menyesatkan lainnya. Kita juga mesti secara tegas menolak segala bentuk pamer aurat yang dilakoni oleh artis-artis kita yang notabene sebagian besarnya juga beragama Islam. Kita juga tidak sepakat dengan berbagai ajang maksiat seumpama Miss World dan ajang sejenisnya yang tidak pantas berlangsung di bumi Indonesia yang telah susah payah diperjuangkan oleh kaum muslimin.

Hari ini, 12 September 2013, genap 51 tahun Kartosuwiryo meninggalkan dunia fana ini. Namun semangat Kartosuwiryo untuk mempertahankan nilai-nilai Islam tidak boleh pupus dan harus terus berlanjut serta diteruskan secara estafet dari generasi ke generasi, tentunya dalam konteks Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dulu, Kartosuwiryo berjuang melalui NII, sekarang kita berjuang dengan metode kita sendiri sesuai kemampuan kita. Wallahul Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

1 comment:

  1. Dalam NKRI yang dasarnya Pancasila WNI harus punya agama jikalau tak punya agama sudah pasti bertentangan dengan dasar negara ... tapi ketaatan terhadap agama yang dianutnya harus tidak menyimpang dari dasar negara yaitu Pancasila ... jadi jelasnya ... taat agama dan Pancasilais dari situ akan melahirkan nasionalisme ... karena PACASILAIS ADALAH KALIMAT SAKTI YANG HARUS DIRESAPI ...

    ReplyDelete