Kartini Vs Kacingieng


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 23 April 2012

Seratus tiga puluh tiga tahun lalu, tepatnya 21 April 1879 di Jepara Jawa Tengah lahir seorang wanita dari keturunan bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Wanita itu bernama Raden Ajeng Kartini. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orang tuanya. Pada saat itu dia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Ia sangat sedih dengan keadaan tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka.


Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani pembantunya. Melalui buku inilah ia tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia) sehingga timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman - temannya yang berada di negeri Belanda (http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html). 

Bagi wanita Indonesia, sosok Kartini merupakan pelopor perubahan dan pencetus emansipasi wanita. Ketika itu, wanita hanya menjadi pemuas nafsu laki-laki yang kerjanya mengurus anak, dapur dan kasur. Pada saat itu wanita yang sudah memasuki usia remaja, mereka dipingit sampai datang waktunya untuk menikah. Kehidupan wanita saat itu terbelenggu tanpa ada kebebasan sedikitpun. 

R.A. Kartini. Sumber: mobavatar.com
Ketika itu Kartini mulai melakukan pemberontakan terhadap berbagai pihak yang terus melakukan penindasan bagi wanita, baik itu penindasan fisik maupun psikis. Dengan surat-surat dan tulisannya di berbagai media Kartini menyerukan perjuangan terhadap pengekangan wanita. Dan berkat kegigihannya, Kartini mampu merubah paradigma bahwa wanita itu tidak selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki hingga sampai sekarang gaung emansipasi dan kesetaraan gender selalu menjadi senjata kaum wanita untuk mendapatkan persamaan hak (Syamsul Bahri, Meluruskan Makna Emansipasi, artikel di akses melalui http://bangka.tribunnews.com)

Aurat Wanita Bagian dari Emansipasi?

Pembahasan tentang emansipasi merupakan pembahasan yang sangat komplek dan mencakup segala aspek, baik aspek pendidikan, kesempatan kerja, kepemimpinan dan sejumlah aspek lainnya yang akan sangat panjang untuk dijelaskan satu persatu. Dalam tulisan singkat ini penulis akan mempersempit pembahasan ini dengan membatasi pembahasan pada persoalan perilaku wanita sekarang, khususnya masalah aurat.

Hampir disetiap kesempatan kita menyaksikan perilaku sebagian wanita di Indonesia, khususnya di Aceh sudah keluar dari koridor keIslaman dengan dalih emansipasi. Sebagian wanita khususnya para artis telah menjadikan auratnya sebagai komoditi untuk mencari penghasilan. Jika perilaku tersebut dilakukan oleh artis-artis Ibu Kota (mungkin) dengan sangat terpaksa masih bisa dimaklumi karena Indonesia memang negara Sekular yang cenderung memisahkan agama dengan aktivitas duniawi. Maka tidak menjadi heran ketika kita menyaksikan para artis Ibu Kota dengan tanpa rasa malu tampil dengan pakaian setengah telanjang. Dengan penuh percaya diri mereka menjadikan payudaranya sebagai bahan tontonan dan pinggulnya yang bahenol sebagai jimat untuk menyihir para penggemarnya. 

Contoh Foto "KACINGIENG". 
Namun akan sangat ironis jika perilaku tersebut ditiru oleh wanita-wanita Aceh yang kononnya mayoritas beragama Islam. Perilaku membuka aurat dan bergaya kebarat-baratan sangat tidak cocok dengan budaya Aceh dan nilai-nilai Islam. Jangan sampai dengan dalih emansipasi wanita-wanita Aceh mengingkari kodratnya dan merusak nilai-nilai Islam yang sudah diwariskan oleh nenek moyangnya. 

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh redaksi Asy Syari’ah disebutkan bahwa emansipasi tak lebih merupakan sebuah “produk gagal” dari industri peradaban Barat (Majalah Asy Syari’ah, Meninjau Ulang Emansipasi, pengantar redaksi di akses melalui http://www.asysyariah.com). Namun demikian kita berharap pada para wanita yang ada di Aceh untuk menangkap pesan – pesan yang disampaikan oleh Kartini agar wanita kembali kepada fitrahnya dan selalu berpegang pada Al – Quran dan Hadits. Al – Quran harus selalu dibaca, dipelajari dan dimengerti maknanya serta diamalkan, agar benar-benar meninggalkan kegelapan menuju cahaya. Ajakan beliau ini lebih mendasar dan tentu lebih bermanfaat daripada mengedepankan isu-isu tentang feminisme dan kesetaraan gender yang pada dasarnya merupakan konsep Barat. Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa sesuatu yang berasal dari Barat itu paling baik, justru digugat oleh Ibu Kartini sendiri (Vita Sarasi, Menelusuri Jejak Kartini, artikel di akses melalui http.eramuslim.com).

Diakhir tulisan ini penulis mengajak wanita-wanita Aceh, khususnya kaum pemudi untuk kembali kepada fitrahnya sebagaimana di amanahkan oleh Kartini yang notabene adalah pelopor emansipasi di negeri ini. Jangan sampai kita merusak nila- nilai Islam dengan meninggalkan amanah Kartini dan beralih kepada emansipasi model “Kacingieng”. Wallahu A’lam. 

Catatan: Kacingieng (bahasa Aceh) bermakna coba kamu lihat, maksud penulis adalah sikap sebagian wanita yang memamerkan auratnya sehingga membuat lawan jenis menjadi tergoda untuk melihatnya.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments