Daud Beureu-eh, Hasan Tiro dan Ritual 17 Agustus


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 14 Agustus 2014

Kedua tokoh sebagaimana tersebut dalam judul tulisan ini secara estafet pernah membuat Republik ini menjadi “panik” dan “salah tingkah”. Daud Beureu-eh pernah membuat Indonesia kalang kabut di era 1953-1962, di mana saat itu Daud Beureu-eh memproklamirkan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat dan sebagai pertanda lenyapnya kekuasaan Pancasila di bumi Aceh. Setelah pemberontakan DI TII reda, tak lama berselang, tepatnya periode 1976-2005, Aceh kembali bergolak dengan meletusnya pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikomandoi oleh Dr. Muhammad Hasan di Tiro.

Pemberontakan Daud Beureu-eh

Pemberontakan Duad Beureu-eh meletus pada 21 September 1953 bertepatan dengan diproklamirkannya Darul Islam di Aceh. Gade Ismail (1994) mengungkapkan bahwa pada awalnya Daud Beureu-eh akan memproklamirkan Darul Islam di Aceh pada 7 Agustus 1953 dengan maksud menyamai tanggal proklamasi NII yang telah ditetapkan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Isu proklamasi NII yang sedianya direncanakana oleh Abu Beureu-eh tersebut tercium oleh Pemerintah, akhirnya atas desakan Muhammad Hatta, proklamasi tersebut ditunda untuk kemudian direncanakan kembali pada tanggal 17 Agustus 1953. Namun akibat belum matangnya persiapan waktu itu, proklamasi pada 17 Agustus juga tertunda kembali dan baru terlaksana pada 21 September 1953.

Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
Menurut Hasan Saleh (1992), di antara faktor yang memicu pemberontakan Daud Beureu-eh adalah terkait dengan pembubaran Provinsi Aceh yang merupakan “pengkhianatan besar” Soekarno terhadap Aceh – di mana Soekarno telas jelas-jelas melanggar janjinya yang pernah diucapkan kepada Daud Beureu-eh. Di samping itu pasca peleburan Provinsi Aceh, juga terjadi aksi yang tidak pantas terhadap tokoh-tokoh Aceh, khususnya yang berasal dari ulama PUSA. Ketika itu di Aceh dilakukan “Razia Sukiman” dibawah satuan tugas KOTARI dengan maksud menarik seluruh senjata api dari tangan rakyat. Namun pada pelaksanaannya, gerakan tersebut dimanfaatkan oleh sebagian aparat yang pro-komunis dan juga sisa-sisa feodal (ulee balang) untuk menangkap tokoh-tokoh PUSA yang merupakan musuh bebuyutan mereka. Tragisnya lagi dalam aksi tersebut mereka juga sempat mengobrak-abrik rumah milik Daud Beureu-eh.

Daud Beureu-eh adalah seorang ulama yang menginginkan Syariat Islam tegak di Aceh dan sangat anti kepada PKI. Dalam Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII di Aceh yang dikeluarkan oleh Staf Umum Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan disebutkan bahwa Daud Beureu-eh pernah menyebut PKI sebagai “Belanda Kepala Hitam”. Tidak hanya itu, Daud Beureu-eh juga pernah mengatakan bahwa Soekarno telah menukar agama Islam dengan agama Hindu.

Namun demikian, Daud Beureu-eh sejatinya adalah seorang nasionalis yang sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya ketika terjadi agresi Belanda. Di samping itu, sebagaimana dikisahkan oleh Hasan Saleh (1992), Daud Beureu-eh secara tegas juga pernah menolak ajakan Wali Negara Sumatera Timur untuk membentuk negara bagian. Daud Beureu-eh menegaskan bahwa tidak ada perasaan kesukuan di Aceh dan “Republikan” adalah semangat orang Aceh.

Daud Beureu-eh adalah tokoh kharismatik di masanya, apabila dia mau – jangankan negara bagian, bahkan dia mampu mendirikan “Negara Aceh” seutuhnya yang berdaulat dan bebas dari rangkaian Republik (Saleh, 1992). Pemberontakan Daud Beureu-eh ketika itu didukung oleh mayoritas masyarakat dan ulama. Pihak yang tidak mendukung pemberontakan Daud Beureu-eh ketika itu hanyalah sebagian dari ulama Perti, anggota PKI dan sebagian Uleebalang. Menurut Gade Ismail (1994), di antara ulama yang tidak mendukung pemberontakan Daud Beureu-eh ketika itu adalah Tgk. Mudawali Labuhan Haji. 

Pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureu-eh hanyalah ekses dari kesalahan aparat Republik ketika itu, khusunya Soekarno yang telah melancarkan tipu muslihat terhadap Daud Beureu-eh dengan janji-janji yang tak pernah terpenuhi disertai dengan berbagai perlakuan tidak pantas yang diterima oleh Daud Beureu-eh pasca Revolusi Kemerdekaan. 

Pemberontakan Hasan Tiro

Hasan Saleh menuturkan bahwa sekembalinya dari Amerika, Hasan Tiro kembali membujuk perwira TII untuk melakukan pemberontakan dengan janji akan dikirim Dollar dan senjata. Akibatnya meletuslah pemberontakan Aceh untuk kedua kalinya atas nama PRRI yang menjanjikan memberikan status negara bagian kepada Aceh. Namun pada perkembangan selanjutnya ramai dari pemberontak tersebut yang memilih kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi (Saleh, 1992). Akhirnya, pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro kembali melakukan pemberontakan dengan memproklamirkan Acheh Sumatera Liberation Front (ASNLF) atau Acheh Freedom Movement yang lazim disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (Damanik, 2010).

Hasan Tiro. Sumber: savingmemoir.wordpress.com
Menurut Kell sebagaimana dikutip Damanik (2010), menyatakan bahwa deklarasi kemerdekaan Aceh yang dilakukan Hasan Tiro sama sekali tidak menyinggung isu agama – sebagaimana halnya Daud Beureu-eh, tetapi cenderung sekuler. Isu utama yang diangkat oleh Hasan Tiro adalah melawan “kolonialisme Jawa”. Menurut Damanik, Hasan Tiro membangkitkan rasa “Nasionalisme Aceh” yang terpisah dari Indonesia sehingga Hasan Tiro sangat pantas disebut sebagai “Bapak Nasionalisme Aceh”.

Damanik (2010) mengungkapkan bahwa pemberontakan Daud Beureu-eh mendapat dukungan penuh dari rakyat Aceh, berbeda halnya dengan pemberontakan yang digagas oleh Hasan Tiro yang pada awalnya tidak mendapat sambutan meriah dari rakyat. Namun setelah diterapkannya operasi militer oleh Soeharto pada era 1990-1998 yang mengakibatkan banyak jatuh korban, khususnya dari masyarakat sipil, akhirnya masyarakat Aceh memberikan dukungan secara bersar-besaran kepada GAM.

Ibrahimy (2001), menegaskan bahwa pada awalnya Hasan Tiro bukanlah tokoh terkenal. Dia mulai dikenal luas di Indonesia dan dunia Internasional pada September 1954. Pada saat itu Hasan Tiro muncul sebagai Duta Besar Republik Islam Indonesia di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sempat mengirimkan sebuah surat terbuka kepada Ali Sastroamidjojo yang menjabat sebagai Perdana Menteri RI ketika itu. Dia juga pernah memasukkan persoalan DI TII ke dalam forum-forum PBB agar rakyat Aceh diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination), namun sayangnya maksud tersebut gagal tercapai.

Ritual 17 Agustus

Daud Beureu-eh dan Hasan Tiro, meskipun membawa isu yang berbeda dalam pergerakannya, namun pada prinsipnya pemberontakan yang ditimbulkan oleh kedua tokoh besar tersebut merupakan ekses dari sikap “kurang bijak” Republik ini dalam memposisikan Aceh yang sejatinya merupakan daerah modal dan telah memiliki kontribusi besar dalam mempertahankan Republik Indonesia dari agresi penjajah.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 69 tahun lalu tidak terlepas dari jasa-jasa besar para pejuang Aceh, tentunya dengan tidak menafikan perjuangan rakyat Indonesia di daerah lain. Tapi patut dicatat, bahwa kegigihan masyarakat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan RI begitu terasa, khususnya ketika terjadi agresi militer Belanda – di mana ketika itu rakyat Aceh rela mengorbankan harta benda dan jiwa mereka demi mempertahankan Merah Putih agar tetap berkibar di langit Indonesia.

Ketika itu, Soekarno menantang rakyat Aceh untuk menyumbangkan sebuah pesawat terbang guna menerobos blokade udara Belanda. Uniknya, sebagaimana dikemukakan Jakobi (1992), dalam situasi genting dan sulit itu rakyat Aceh justru berhasil menyumbang dua pesawat untuk Indonesia. Di samping itu Radio Rimba Raya juga memiliki peran besar dalam menyelamatkan Republik ini dari maut dengan mencounter suara Radio Batavia, Radio Belanda di Medan, Sabang dan Hilversium di Negeri Belanda yang ketika itu menyatakan Indonesia telah koma.

Aceh memiliki saham besar dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Tanpa Aceh, mungkin ritual 17 Agustus tidak akan pernah ada di Republik ini. Hal ini bukanlah kesimpulan sepihak atau pun isapan jempol semata, tapi fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri, bukan hanya oleh ahli sejarah, tapi oleh pelaku sejarah itu sendiri. Kita berharap agar Pemerintah di Republik ini dapat menyikapi segala persoalan yang timbul di Aceh dengan langkah-langkah bijak dan cermat. Jangan sampai hanya karena “Bendera dan Lambang” lantas akan melahirkan Daud Beureu-eh dan Hasan Tiro baru di Aceh. Wallahul Musta’an. Dirgahayu Republik Indonesia!

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments