DARI ABSOLUT MENUJU BULUT


Oleh :Khairil Miswar

Bireuen, 11 Februari 2011

Ilustrasi. Sumber: in.minghui.org
Keputusan Partai Aceh untuk mengusung Zaini dan Muzakkir Manaf sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh pada pemilukada 2011 mendatang kedengarannya sangat aneh dan janggal jika ditinjau dari beberapa aspek;


Pertama, sarat dengan budaya nepotisme terutama nepotisme golongan. Diakui ataupun tidak bahwa perilaku nepotisme tersebut adalah perilaku yang legalitasnya sudah diharamkan di Indonesia yang dibuktikan dengan gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 yang berbuntut pada lengsernya Presiden Soeharto. Kedua, sosok yang diusung masih diragukan kemampuannya khususnya di bidang pemerintahan yang akhirnya akan melahirkan pemerintahan yang amburadul, fakta ini sudah menjadi rahasia umum dimana beberapa kabupaten yang dipimpin oleh para kombatan tidak mampu membawa perubahan yang berarti dan malah menjadi momok bagi masyarakat seperti kasus yang dialami oleh Bupati Aceh Utara. Fenomena ini tidak akan terjadi jika Partai Aceh mengusung calon yang memang sudah teruji kemampuannya, meskipun berasal dari non PA. Ketiga, Keputusan Partai Aceh dengan menyatakan tidak akan berkoalisi dengan partai lain adalah keputusan yang sangat tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan konsekwensi yang akan lahir dari keputusan gegabah tersebut. Keempat, Pernyataan Muzakkir Manaf yang meminta Irwandi Yusuf untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai Cagub pada pemilukada 2011 adalah pernyataan yang kurang etis dan tidak pantas diucapkan oleh seorang mantan pemimpin pasukan sekaliber Muzakkir Manaf mengingat kontribusi Irwandi kepada para mantan GAM terbilang cukup besar. Kelima, Pernyataan Muzakkir Manaf yang menjelaskan bahwa langkah mengusung pasangan calon secara mandiri itu untuk menghindari dampak tidak baik yang sering muncul di kemudian hari dengan mencontohkan, bila pasangan yang diusung tidak dari kalangan yang sama, maka dalam memerintah nanti sering muncul gesekan-gesekan yang muaranya pada dis-harmonisasi di antara pemimpin tersebut. Menurut saya logika yang diuatarkan oleh Muzakkir Manaf tersebut sangat tidak logis dan jauh dari kebenaran . Keenam : KPA menilai proses pembangunan selama ini tak ada kemajuan yang signifikan. Sebenarnya pendapat ini sudah terbantahkan dengan pernyataan Irwandi bahwa selama kepemimpinannya dengan Muhammad Nazar sudah banyak perubahan di Aceh dengan adanya program JKA, BKPG, lahirnya Badan Dayah dan juga pengurangan angka kemiskinan dan sederetan keberhasilan lainnya yang mungkin luput dari pantauan Partai Aceh.

Tokoh Reformis

Pernyataan Ligadinsyah yang menolak keputusan Partai Aceh yang mengusung pasangan Zaini-Muzakir karena tidak mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi dan cenderung nepotisme merupakan pernyataan yang harusnya diberi aplus oleh masyarakat. Terlepas dari benar tidaknya pernyataan tersebut yang jelas Ligadinsyah telah menunjukkan satu kemajuan di tubuh partai Aceh. Selama ini partai Aceh terkenal dengan partai komando yang keputusannya berlaku mutlak bagi para anggotanya tanpa boleh dibantah sedikitpun. Penolakan yang dilakukan oleh Ligadinsyah membuktikan bahwa benih-benih demokrasi sudah mulai bersemai ditubuh Partai Aceh. Sangat pantas apabila Ligadinsyah disebut sebagai tokoh reformis ditubuh partai Aceh. Namun ada hal yang sangat disayangkan ketika Muzakkir manaf langsung menvonis Ligadinsyah sebagai juru bicara haram, Sungguh tidak etis dan memalukan.

Untuk mendamaikan Ligadinsyah dan Muzakkir Manaf saya akan sedikit merujuk kepada pendapat salah seorang Tokoh muslim masa lalu yang bernama Imam Qasim Bin Muhammad Bin Abu Bakar As Shiddiq (wafat 107 Hijrah), beliau berkata “ Perbedaan adalah rahmat “. Walaupun ini hanya sekedar pendapat yang mungkin saja kebenarannya masih diragukan namun jika kita tela`ah dengan pikiran yang sehat saya yakin banyak manfaat yang bisa diambil dari petuah singkat ini. Pertama, dengan adanya perbedaan pemikiran akan melahirkan ide-ide yang banyak yang akhirnya jika disatukan akan melahirkan ide yang genius. Contoh kecil adalah kopi susu yang mungkin hampir saban hari kita minum, terdiri dari dua unsur yang hakikat bentuk dan rasanya berbeda. Kopi dan susu adalah dua jenis benda yang memiliki perbedaan mecolok. Sifat dasar kopi adalah pahit, sedangkan susu sifatnya terlalu manis apabila berdiri sendiri, tetapi setelah keduanya (kopi dan susu) kita satukan maka rasanya semakin mantap. Fakta ini membuktikan bahwa perbedaan itu indah dan mutlak diperlukan. Kedua, perbedaan pemikiran akan melahirkan keberagaman dan membuka ruang demokrasi yang ketika satu pihak berbicara dan pihak lain mendengar. Situasi ini jika berlaku sesuai aturan maka akan melahirkan hubungan timbal balik antar pemimpin dan yang dipimpin. Sebuah diskusi hanya akan lahir jika pesertanya memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda. Langkah yang dilakukan oleh Ligadinsyah sudah tepat dan sesuai dengan tuntunan demokrasi dan semoga saja menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh PA lainnya. Suatu komunitas hanya akan kuat jika komunitas tersebut mengakui keberagaman, karena perbedaan adalah fitrah yang tidak bisa dihindari. 

Kekuasaan Absolut 

Keputusan PA yang menyatakan tidak akan melakukan koalisi dengan partai lain dalam pencalonan Cagub dan Cawagub pada pemilukada 2011 mendatang menurut saya adalah salah satu indikasi dari Partai Aceh yang hendak mengadopsi metode-metode dari pemimpin absolut. Dengan mencalonkan Zaini dan Muzakkir yang notabene berasal dari satu partai adalah trik-trik dari para penguasa absolut, mereka menakutkan kekuasaannya akan goyang dan runtuh jika mereka harus berkoalisi atau bekerjasama dengan partai lain. Mereka tidak mau kekuasaannya dicampuri oleh pihak lain diluar komunitas mereka. Hal ini juga tercermin dengan permintaan Muzakkir agar Irwandi tidak lagi mencalonkan diri sebagai cagub. Jika kita analisa secara seksama pernyataan tersebut bisa melahirkan beberapa penafsiran diantaranya : pihak Partai Aceh meragukan loyalitas Irwandi sebagai kader Partai Aceh. Anggapan ini mungkin saja muncul karena sosok Irwandi Yusuf tampak lebih moderat dibanding tokoh-tokoh PA lainnya, sehingga mereka menakutkan Irwandi tidak akan sepenuhnya mampu menjalankan doktrin-doktrin yang di putuskan oleh Partai Aceh. Mungkin pihak Partai Aceh juga menganggap bahwa Irwandi tidak akan menjalankan keputusan yang dihasilkan oleh internal PA secara mutlak dikarenakan Irwandi akan berkonsultasi dengan mitra-mitranya diluar PA yang menurutnya lebih berwawasan dan faham masalah. Jika ada keputusan dari PA yang menurut Irwandi tidak sesuai dengan keinginan rakyat banyak sudah pasti Irwandi akan mengabaikannya. Mungkin fenomena ini yang sangat ditakutkan oleh PA karena akan mengabaikan keputusan absolut yang diputuskan oleh internal PA. 

Egoisme.

Agar tidak dituduh tendensius untuk sementara mari kita tinggalkan PA dan sikap politiknya. Pada prinsipnya saya juga sedikit geli melihat atraksi-atraksi yang dilakukan oleh Irwandi pasca tidak dicalonkan oleh PA sebagai Cagub mendatang. Tindakan-tindakan latah yang dilakukan oleh Irwandi semakin menjadi-jadi dan kadang-kadang membuat masyarakat sedikit kebingungan. Irwandi yang oleh sebagian golongan di anggap sekuler dan jauh dari ulama sudah mulai mendekati para ulama-ulama kharismatik Aceh yang tidak lain tujuannya hanya untuk kepentingan mendulang suara pada pemilukada mendatang. Jika kita melintasi jalan-jalan di Bireuen kita bisa menyaksikan baliho yang menggambarkan kesuksesan Irwandi dengan program JKA nya, hampir tidak ada papan baliho yang kosong dengan senyuman gombal Irwandi. Fenomena ini menggambarkan bahwa Irwandi masih haus kekuasaan, meskipun tidak dicalonkan oleh PA nampaknya dia akan berusaha mencari celah siapa tahu suatu saat Tgk PA berubah sikap dan kembali menerima cinta Irwandi. Buktinya Irwandi terus menggalang kekuatan untuk memperkuat posisinya seperti pengerahan massa ke Banda Aceh yang dilakukan oleh para pendukung Irwandi. Akhirnya saya pun bingung entah apa yang dapat kita simpulkan dari tulisan singkat ini. Wallahu `Alam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Aceh


loading...

No comments