“Basinya Demokrasi di Aceh”


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 29 April 2013

Ilustrasi. Sumber: anwarsaragih.wordpress.com
Meskipun pelaksanan pemilu legislatif masih lumayan lama dan baru akan digelar pada tahun 2014 mendatang, namun dalam beberapa hari terakhir fenomena kekerasan sudah mulai muncul di Aceh. Sebagaimana dilansir oleh AtjehLink, beberapa hari lalu seorang caleg perempuan dari Partai Nasional Aceh (PNA) di Aceh Besar dipaksa untuk mundur dari caleg dan mendapat ancaman tembak. Kasus pertama ini belum terungkap, keesokan harinya AtjehLink kembali memberitakan bahwa Cekgu yang juga kader PNA ditemukan tewas dengan luka tembak. Belum lagi kasus ini tuntas, lagi-lagi diberitakan bahwa rumah seorang perempuan yang juga kader dari PNA diteror dengan peluru ketapel. 

Dua dari tiga kasus di atas; ancaman tembak dan teror peluru ketapel sudah hampir bisa dipastikan bahwa kasus tersebut berhubungan erat dengan prosesi pemilu yang akan digelar pada 2014 mendatang. Sedangkan kasus terbunuhnya Cekgu, menurut penulis masih syubhat (kabur) dan belum bisa dipastikan apakah kasus tersebut berhubungan dengan pemilu ataupun tidak. Dugaan sementara sebagaimana dilansir oleh Serambi Indonesia, pihak kepolisian menyatakan bahwa kasus kematian Cek Gu terkait dengan urusan sabu-sabu. Namun hal ini secara tegas dibantah oleh pihak PNA. Wallahu A’lam.

Berbicara masalah kekerasan menjelang pemilu di Aceh, sebenarnya bukanlah hal baru. Sepanjang pengamatan penulis, kekerasan pemilu ini marak terjadi di Aceh, khususnya pasca perdamaian. Sebelum tahun 2005 bisa dikatakan aroma kekerasan ini belum begitu populer di Aceh. Politik kekerasan ini baru tumbuh dan berkembang pasca tahun 2005. Kekerasan dalam pemilu pasca damai pertama sekali terjadi pada tahun 2006 pada saat prosesi pemilihan Gubernur Aceh yang ketika itu dimenangkan oleh Irwandi-Nazar. Kekerasan terus berlanjut pada saat pemilu legislatif tahun 2009. Tidak berhenti di situ, pada pemilukada tahun 2012 kekerasan juga ikut menghiasi prosesi pemilu di Aceh.

Setelah melihat beberapa riwayat kekerasan yang terjadi di Aceh, maka menurut penulis kekerasan yang terjadi dalam beberapa hari ini pada prinsipnya hanyalah bentuk pengulangan dari kekerasan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin para pelaku kekerasan beranggapan bahwa praktek kekerasan merupakan jurus ampuh dalam memenangkan pemilu, sehingga patut dipertahankan. 

Tentang siapa pelaku teror dan kekerasan ini, menurut penulis bukanlah hal yang penting untuk didiskusikan. Mendiskusikan pelaku kekerasan menurut penulis hanya akan membuang-buang waktu saja dan justru bisa memperluas konflik, tapi yang penting adalah bagaimana kekerasan ini bisa dihapuskan di bumi Aceh.

Berbagai bentuk teror dan intimidasi yang dilakukan oleh “mereka-mereka itu” terhadap sesama anak bangsa menurut penulis merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi yang setiap hari terucap dari bibir-bibir mereka. Hanya demi kepentingan kekuasaan mereka tidak segan-segan melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan politik.

Demokrasi yang selama ini terucap dari bibir mereka hanya menjadi selimut untuk menutup diri. Demokrasi hanya ucapan, demokrasi hanya teori yang mereka gunakan untuk mengebiri rakyat, demokrasi hanyalah tulisan untuk menghias spanduk dan poster di jalanan.

Menyikapi buruknya praktek demokrasi di Aceh, menurut penulis para pemangku kekuasaan di Aceh harus serius dalam bersikap guna membasmi praktek-praktek kekerasan khususnya di musim pemilu. Para pemimpin partai politik menurut penulis harus mampu memberi pemahaman yang komprehensif tentang makna demokrasi kepada para kadernya sehingga tidak salah kaprah dalam melakukan aktivitas politik. Setiap partai politik berhak untuk menang dalam pemilu, tetapi tentunya dengan cara-cara yang beradab dan mengindahkan nilai-nilai demokrasi. 

Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya mengaku muslim, seharusnya setiap pemimpin partai politik di Aceh juga mampu menggiring dan mengarahkan kadernya untuk tidak menginjak nilai-nilai Islam dalam kegiatan politiknya. Para pemimpin politik di Aceh harus mampu membangun politik yang berperadaban, bukan sebaliknya malah mempraktekkan jurus-jurus biadab dalam politik. 

Aksi teror dan kekerasan dalam politik merupakan cerminan dari politik biadab yang tidak semestinya dipertahankan dan harus segera dihapuskan di bumi Aceh. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar demokrasi di Aceh benar-benar berjalan, khususnya menjelang pemilu 2014 mendatang. Semoga saja demokrasi di Aceh bukan teori basi. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernaj diterbitkan di Atjehlink.com dan juga pernah dikutip oleh Gayo Nusantara.
loading...

No comments